Toleransi Dibalik Narasi Moderasi Beragama
Oleh Badru Rohman, Kokam Solo Raya
Dalam konteks keIndonesiaan, moderasi beragama dapat dijadikan sebagai strategi kebudayaan untuk merawat Indonesia yang damai, toleran dan menghargai keragamaan. Moderasi beragama adalah cara hidup rukun, saling menghormati, menjaga dan bertoleransi tanpa harus menimbulkan konflik karena perbedaan yang ada.
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih didapati umat Islam yang memahami makna toleransi dengan tidak tepat. Umat Islam dari berbagai kalangan, baik kalangan awam, akademisi, influencer, juga yang dianggap sebagai tokoh agama menyamakan makna toleransi dengan makna pluralisme, yaitu dengan mudahnya mengatakan bahwa semua agama itu benar.
Pluralisme mengajarkan paham semua pemeluk agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di sana. Selebihnya masih ditemukan pula sebagian kalangan umat Islam yang menganggap bahwa ikut acara-acara ritual non-muslim tidaklah mengapa, malah mereka menjadikan itu sebagai wujud toleransi. Sebagian kalangan melakukannya lantaran ingin dianggap paling toleran.
Hal yang tersebut di atas, bisa jadi dikarenakan toleransi dengan maknanya yang salah sekarang sedang menjadi tren di masyarakat. Akibat tren tersebut, ketika umat Islam yang tergiring oleh tren tersebut melihat saudara muslimnya yang menjaga batasan dalam bertoleransi sesuai ajaran Islam malah dilabeli ekstrim dan berlebihan dalam beragama.
Tulisan ini dibuat berangkat dari keresahan penulis yang melihat adanya umat Islam yang mudah sinis ke saudara seimannya. Sejatinya Islam itu sudah moderat, tapi sekarang ini seolah-olah masyarakat digiring untuk percaya bahwa Islam moderat hanya terbatas pada golongan tertentu yang malah terkadang merujuk kepada golongan yang berpaham pluralisme.
Oleh karena itu, konsep toleransi yang berdasar pada ajaran Islam itu penting sekali untuk dikaji dan ditelusuri agar dapat memahami makna toleransi hakiki, sehingga tidak menimbulkan kebablasan toleransi dalam kehidupan beragama. Sebagai penutup, penulis sampaikan Moderasi Beragama dalam Perspektif Muhammadiyah.
Moderasi Beragama Tanpa Makna
Dalam beberapa tahun terakhir, moderasi beragama menjadi tema penting dalam menyikapi apa yang disebut oleh sebagian orang sebagai menguatnya arus radikalisme atau lebih tepatnya ekstrimisme beragama. Penggunaan term moderasi beragama lebih sebagai upaya untuk mengambil “jalan tengah” (tawasuth) dalam menyikapi beragama terkait persoalan keberagamaan.
Moderasi berasal dari bahasa Inggris “moderation”, yang berarti sikap sedang atau sikap tidak berlebih-lebihan. Penggunaan term moderasi beragama lebih menggambarkan sikap yang mencoba menjadi penengah (wasath, wasit), memberi solusi, dan jalan tengah di antara dua titik ekstrem. Istilah moderasi beragama dalam Islam sebenarnya sudah lama adanya.
Istilah moderasi dalam Islam dikenal dengan “wasathiyah”, bahkan umatnya mendapat julukan ummatan wasathan, yaitu umat pilihan yang selalu bersikap menengahi atau adil. Pijakan moderasi beragama berujuk pada dalil naqli dalam QS. Al-Baqarah : 143 :
“Dan demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu...”. Ayat ini menegaskan posisi umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat pertangahan).
Dalam ayat tersebut terdapat istilah ummatan wasathan, di mana kata wasath oleh banyak mufassir diartikan sebagai sikap pertengahan, moderat, jalan tengah, seimbang antara dua kutub ekstrim. Jadi ummatan wasathan adalah sikap umat yang berpikiran dan berperilaku moderat (tawasuth), seimbang, tidak zhalim, dan adil (proporsional).
Merujuk pada tafsir QS al-Baqarah : 143 tersebut, semestinya moderasi beragama juga menonjolkan sisi moderat, sikap tengah, dan tidak berlebihan (ekstrem) atau tatharruf dalam menyikapi radikalisme atau ekstrimisme. Sebaliknya, penggunaan term deradikalisasi justru mempunyai kecenderungan mengambil posisi ekstrim lainnya yang berdiri saling berseberangan.
Berbeda dengan moderasi beragama yang mencoba mengambil “jalan tengah”, merangkul, dan mendamaikan, maka kerja-kerja deradikalisasi justru cenderung saling berhadapan (vis a vis) antara mereka yang dicap sebagai radikal atau ekstrem dengan mereka yang menyebut diri mencoba melakukan kerja-kerja deradikalisasi.
Upaya untuk melakukan deradikalisasi tidak berbeda jauh dengan mereka yang diberi label radikal, yaitu sama-sama mengambil titik (bipolar) ekstrem yang saling berseberangan dan vis a vis. Realitas yang terjadi di Indonesia saat ini, yang menyebut kelompok moderat (tawasuth), justru terkadang cenderung berhadapan kelompok yang dimoderasi.
Moderasi Beragama di balik Proyek Islam Moderat
Kementrian agama menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Beragama. Pada saat yang sama, Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun Moderasi Internasional (The International Year of Moderation). Moderasi beragama dijadikan jargon sebagai ruh dan yang harus menjiwai seluruh program pelayanan keagamaan di Kementerian Agama.
Sebagaimana dinyatakan oleh Profesor Amy L. Friedman : “Setelah serangan teroris 11 September 2001, pemerintah AS mulai menyadari bahwa mereka perlu memahami dan mempengaruhi sikap dunia Islam terhadap AS. Tujuan utama pemerintah AS di bawah Presiden George W. Bush adalah untuk melawan tantangan ‘Islam Radikal’ yang berpotensi menjadi teroris.
Untuk menumbuhkan sikap yang lebih hangat terhadap AS, serta untuk mendorong demokrasi dan hak asasi manusia, pemerintah AS berusaha menciptakan dan menguatkan jaringan ‘moderat’ untuk melawan ‘Islam Radikal’. Sehingga pemerintah AS berupaya mendukung ‘Islam Sipil’, yaitu kelompok masyarakat atau ormas Islam yang menyerukan ‘moderasi’ dan ‘modernitas’.
Di negara-negara seperti Indonesia, Mali, dan di tempat lain, USAID mendanai proyek-proyek serupa untuk perdamaian dan pembangunan. Tujuan utamanya adalah mendukung interpretasi Islam moderat. Dengan menggaet pihak ketiga- yaitu negara-negara Muslim Moderat, yayasan dan kelompok-kelompok reformis- untuk mempromosikan nilai demokrasi, hak perempuan, dan toleransi. (Amy L. Freedman, “Civil Society, Moderate Islam, and Politics in Indonesia and Malaysia”, dalam Journal of Civil Society, vol. 5, no.2 (2009), hlm. 110).
Di Indonesia, proyek ‘Islam Moderat’ mulai digulirkan setelah peristiwa ledakan bom di Bali pada 2002. Pemerintah SBY menjadikannya sebagai salah satu prioritas kebijakan luar negerinya (Donald Weatherbee, 2013). Pasca pengesahan UU No.15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, pemerintah AS memberikan berbagai bantuan kepada satgas antiteror, termasuk kucuran dana sebesar US$150 juta dolar kepada pemerintah Indonesia (David Capie, 2004).
Melacak media ditemukan bahwa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengucapkan selamat hari raya kepada komunitas Baha’i. Hal ini kemudian menuai kecaman dan dinilai melakukan offside. Pembelaan disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Agama, Ishfah Abidal Aziz yang menyebutkan bahwa langkah Menag selama ini berjalan sesuai perintah peraturan perundang-undangan yang berlaku (CNNIndonesia 29/7/21).
Sementara itu detikNews (30/7/21) mewartakan koalisi yang terdiri YLBHI, Paritas Institute, LBH Jakarta, Yayasan Inklusif, HRWG, CRCS UGM, Ulil Abshar Abdalla, dan Ahmad Suaedy, menilai adanya kontroversial perihal komunitas Baha’i ini, mengharapkan agar pemerintah dapat melindungi dan memenuhi hak-hak kelompok minoritas sebagai warga negara yang sama.
Mengutip kumparan tertanggal 7 April 2021, Menteri Agama Yaqut Cholil Choumas menjadi perbincangan publik setelah usulan yang dirasa kontroversial yaitu doa lintas agama. Menurutnya doa lintas agama didasari karena Kementerian Agama tidak hanya menaungi agama satu saja, dan hal sebatas saran internal di lingkungan Kemenag saja. Dikutip dari Antara, Rabu (7/4) usai mengisi seminar pemikiran di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, Jawa Timur.
Kemudian, sekitar bulan September di tahun 2022 pemerintah menaikkan anggaran program Moderasi Beragama menjadi Rp 3,2 Triliun. Hal itu disampaikan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, pada Malam Peluncuran Aksi Moderasi Baragama yang diselenggarakan Kementrian Agama (Kemenag) secara daring dan luring.
Jumlah tersebut berarti naik delapan kali lipat dibanding anggaran tahun 2021 yang hanya 400 Miliar. Peruntukan dana sangat besar ini menandakan bahwa proyek moderasi beragama di negeri ini merupakan proyek yang sangat penting hingga masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Sejumlah buku pedoman dan panduan Moderasi Beragama pun telah diluncurkan oleh Menteri Agama saat itu Lukman Hakim Saifuddin pada 8 Oktober 2019 dan Menteri Agama Yaqul Cholil Qoumas pada 22 September 2021. Dikatakan bahwa Moderasi Beragama adalah proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang.
Cara seseorang beragama harus selalu didorong ke jalan tengah, harus senantiasa dimoderasi, karena ia bisa berubah menjadi ekstrem, tidak adil, bahkan berlebih-lebihan. Menurut Kemenag, pemahaman dan pengamalan agama dianggap ekstrem jika ia melanggar tiga hal, pertama, nilai kemanusiaan, kedua, kesepakatan bersama, dan ketiga, ketertiban umum (Lihat: tanya jawab Moderasi Beragama, Badan Litbang dan Diklat Kemenag, 2019, hlm 8).
Kegaduhan dan polarisasi keberagaman yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggambarkan adanya ikhtiar untuk melakukan moderasi beragama. Yang ada dan terjadi justru adanya rivalitas yang saling berhadapan antara kelompok ekstrem atau radikal yang satu berhadapan dengan kelompok ektrem atau radikal lainnya.
Pemerintah dalam hal ini justru berperan sebagai salah satu pihaknya. Sebagaimana kegaduhan yang ditimbulkan oleh Jenderal Dudung Abdurrachman yang menyebut bahwa “Tuhan bukan orang Arab”, pendapat yang demikian sulit kiranya disebut sebagai sikap moderat dalam beragama. Sebaliknya, pernyataan tersebut justru merupakan pencerminan dari sikap seorang yang radikal atau ekstrem dalam beragama.
Jika mencermati fenomena radikalisme atau ekstremisme yang terjadi di Indonesia secara determinan bukan disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang radikal atau ekstrem, akan tetapi lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dan politik yang diciptakan dan dipertontonkan secara demonstratif oleh sebagian elit politik dan segelintir orang yang kerap disebutnya sebagai kaum oligark, baik oligarki ekonomi maupun oligarki politik.
Sumber-sumber ekonomi di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang. Sementara rakyat kebanyakan hanya bisa menguasai sedikit sumber-sumber ekonomi. Kebiasaan buruk yang dilakukan oleh para pejabat kita untuk mengeruk kekayaan negara, saat ini sudah dianggap sebagai hal yang lazim. Praktik politik juga berlangsung sangat liberal dan berbiaya malah, setarikan nafas dengan penguasaan ekonomi yang kapitalistik dan korup oleh kaum oligark.
Toleransi bukanlah mencampuradukkan semua simbol agama, sebagaimana budaya salam lintas agama yang dikembangkan dan disosialisasikan. Secara prinsip kerja-kerja moderasi beragama tak mungkin akan saling berhadapan dengan kerja-kerja yang dilakukan oleh kaum radikalis, baik yang berada pada kubu ekstrim kiri maupun kanan.
Akan tetapi yang ada justru sebaliknya, berusaha menengahi (menjadi penengah), merangkul, mengayomi, dan memberi penyadaran dengan cara-cara yang bijaksana (hikmah) dan perkataan yang baik (mauizatul hasanah). Ketika moderasi beragama justru menimbulkan ketegangan dan saling berhadapan, maka sulit untuk menyebutnya sebagai moderasi beragama.
Namun demikian, jika pun memaksa untuk disebut sebagai moderasi beragama, maka itu tak lebih hanya propaganda politik identitas yang membutuhkan nama moderasi beragama.
Moderasi Beragama dalam Perspektif Muhammadiyah
Wacana toleransi terus bergulir tiada henti, seolah negeri ini darurat intoleransi. Seolah umat di negeri ini intoleransi tingkat tinggi, mirisnya isu toleransi ini terus menyasar umat Islam. Menjelang pergantian tahun Masehi di bulan Desember, isu perdebatan toleransi di antara umat Islam selalu berulang, mulai dari ucapan Selamat Natal, berdoa bersama di gereja, memfasilitasi, pam keamanan dengan melibatkan ormas Islam, dan bahkan cenderung keikutsertaan kaum muslimin semakin menguat, merasa tidak berdosa, dan tidak malu menghadiri perayaan Natal dan agama lain.
Istilah moderasi beragama memang sangat populer, disamping ada istilah terkenal lainnya seperti deradikalisasi sebagai counter violence extrimism. Mengutip Laman Resmi Muhammadiyah.OR.ID.Yogyakarta, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti dalam pengajian Tarjih dengan tema Refleksi Milad Muhammadiyah ke-109. Moderasi Beragama dalam Perspektif Muhammadiyah berpendapat bahwa Muhammadiyah sejak awal sudah konsisten menggunakan istilah moderasi beragama.
Mu’ti menerangkan bahwa Islam wasathiyyah diambil dari kata wasatha dalam al-Qur’an yang disebut lima kali dengan segala derivasinya, yaitu: 1) wasatna (QS. Al-Adiyat: 5), yakni tengah atau yang terbaik; 2) wasathan (QS. Al-Baqarah: 143), artinya adil dan pilihan; 3) awsith (QS. Al-Maidah: 89), yaitu tidak ekstrem dan tidak berlebih lebihan; 4) awsathu (QS. Al-Qalam: 28), maknanya bijaksana; dan 5) wustha (QS. Al-Baqarah: 238), ini berkaitan dengan waktu waktu salat, “hendaknya kamu menjaga waktu waktu salat dan salat wustha..”.
Dari konsep ini, Muhammadiyah memahami konsep moderat meliputi tiga dimensi, di antaranya: pertama, wasatha itu berarti sesuatu yang sangat baik yang karena itu seringkali disamakan dengan khair. Imam Al-Qurthubi menyamakan wasatha dengan oase di tengah gurun; kedua, wasatha yang berkaitan dengan sikap, tidak ekstrem dan tidak pula berlebih-lebihan baik dalam ibadah ataupun dalam hal muamalah; ketiga, berperilaku sesuai dengan ilmu dan hukum sehingga seringkali wasath itu adalah sikap adil yang menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Memaknai toleransi terhadap non muslim dalam pandangan Muhammadiyah adalah toleransi sebagai bentuk persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Pemahaman Muhammadiyah ini didasarkan pada al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13, yakni bahasa lita’arafu (supaya saling mengenal). Secara tekstual, pemahaman ini diputuskan dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 47 tahun 2015 di Makasar, bahwa : “Muhammadiyah memandang bahwa ukhuwah insaniyah sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 menjunjung tinggi kemanusiaan universal tanpa memandang latar belakang etnis, agama dan unsur primordial lainnya sebagai bagian penting dari ajaran Islam. Kehadiran Islam merupakan rahmat bagi semesta alam”.
Kepentingan yang mendasari pemahaman Muhammadiyah tentang toleransi terhadap non-muslim dipengaruhi oleh kepentingan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam Moderat yang berkemajuan. Sedangkan sebagai kritik ideologi, pemahaman Muhammadiyah tersebut merupakan kritik atas pandangan kelompok Islam radikal bahwa non-muslim adalah kaum kafir yang harus dijauhi, dimusuhi, dan disingkirkan. Bahkan dalam beberapa kasus ditindas dan dibinasakan. Di sisi yang lain, pemahaman Muhammadiyah mengenai toleransi terhadap non-muslim juga dapat menjadi kritik atas praktik-praktik toleransi yang kebablasan oleh kelompok kelompok Islam liberal. Misalnya merayakan hari raya bersama, ibadah bersama, dan lain sebagainya, yang dapat mengganggu aqidah seorang muslim.