JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Sekretaris Jenderal Serikat Usaha Muhammadiyah (SUMU) Ghufron Mustaqim mengaku sangat bersyukur saat dirinya dapat berinteraksi langsung dengan Prof Dr Abd Al-Fattah pada akhir tahun 2023. Pada waktu itu, dalam genosida yang terjadi di Gaza, dirinya terdorong untuk membuka kembali arsip lama terkait Palestina. Ia pun menemukan artikel serta buku menarik yang ditulis oleh Abd Al-Fattah El-Awaisi.
Singkat cerita, pada awal tahun 2024, Ghufron kembali mengontak Prof Abd Al-Fattah untuk meminta izin berkunjung ke kediamannya dengan maksud ingin belajar langsung. Mendengar permintaan tersebut, Prof Abd Al-Fattah mengatakan, “Daripada kalian yang datang ke sini, lebih baik saya yang datang ke Indonesia,” balasnya singkat.
Setelah itu terjadi, Ghufron bersama Prof Abd Al-Fattah menyelenggarakan program Saladin Camp. Sebuah program pelatihan yang unik, inovatif, dan interaktif, membahas terkait bagaimana membebaskan Baitul Maqdis. “Saat ini sudah terjalin empat angkatan. Dan total alumninya sudah hampir seribu orang yang belajar di Saladin Camp ini,” tegasnya pada agenda Bedah Buku Spesial “Rencana Strategis Pembebasan Masjid Al-Aqsa” yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Jakarta (6/5).
“UMJ patut berbangga karena menjadi satu-satunya universitas yang menyelenggarakan kajian studi Baitul Maqdis. Semoga ilmu yang disampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua. Memberikan pembekalan ilmu dan ma’rifat yang menjadi pondasi untuk nanti kita membebaskan Baitul Maqdis,” tambahnya.
Rektor UMJ Ma’mun Murad mengatakan, berbicara soal Palestina di Indonesia menurutnya seperti berbicara soal hubungan Islam dengan negara, atau hubungan Islam dengan Pancasila. Artinya, seperti relasi yang tak ada ujungnya. Dan mungkin akan berhenti ketika Palestina sudah merdeka. “Selagi Palestina belum merdeka, saya kira akan terus terjadi relasi semacam ini,” ujarnya.
Konflik yang terjadi belakangan antara Palestina dengan Israel mempertegas bahwa masalah Palestina tidak dapat diselesaikan tanpa ada usaha untuk merdeka. Menurutnya, Palestina tidak semata urusan Fatta dan Hamas, tapi ada masalah lain yang lebih pelik, antara lain masalah geopolitik dan geoekonomi. “Terlalu banyak negara yang berkepentingan terhadap Palestina. Di sisi lain, telalu banyak juga negara di Timur Tengah yang takut kepada Israel,” tegasnya.
Fenomena ini mengingatkan Ma’mun pada tragedi perang enam hari yang terjadi pada tahun 1967. Yang mana pada waktu itu Israel berhasil mencaplok tiga kawasan milik tiga negara dalam waktu enam hari. Di antaranya Tepi Barat Yordania, Semenanjung Sinai milik Mesir, dan Dataran Tinggi Golan milik Suriah.
Kemudian juga terjadi perjanjian Camp David yang merupakan perjanjian damai antara Israel dengan Mesir pada tahun 1978.
“Kita patut bersyukur bahwa Indonesia termasuk dalam negara yang konsisten pada konteks perjuangan Palestina,” paparnya.
Menurut salah satu narasumber yang merupakan Anggota Dewan Pers Asep Setiawan, meminjam dari apa yang disampaikan Prof Abd Al-Fattah dalam bukunya “Rencana Strategis Pembebasan Masjid Al-Aqsa” bahwa permasalahan Palestina tidak dapat didekati dengan cara-cara konfensional atau secara retorika emosional. Namun pembebasan Palestina harus dimulai dari kontruksi strategi geopolitik Islam dan kesadaran epistimologis umat. Inilah yang oleh Prof Abd Al-Fattah disebut sebagai Islamic International Perspective, pendekatan hubungan internasional berbasiskan nilai-nilai Islam yang visioner dan integratif.
Oleh karena itu, dalam rangka menuju negara Palestina yang merdeka, Asep menegaskan perlunya umat Islam bersatu. Membangun kekuatan kolektif dalam bidang ekonomi melalui gerakan boikot misalnya. Di bidang media, melawan dominasi narasi Zionisme, di bidang militer, serta pertahanan strategis.
“Pentingnya kita membangun strategi power block umat Islam global yang dapat menandingi kekuatan Barat secara kolektif,” ucapnya. (diko)