Urgensi Komunikasi Sosial di Pondok Pesantren pada Era Disrupsi

Publish

6 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
77
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Urgensi Komunikasi Sosial di Pondok Pesantren pada Era Disrupsi

Oleh: Said Romadlan, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA, Jakarta

Saat ini perkembangan masyarakat sudah memasuki Era Disrupsi, yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti tercerabut dari akarnya. Istilah disrupsi ini diperkenalkan oleh Clayton Christensen (2018), dalam konteks bagaimana memenangi sebuah persaingan. Disrupsi dalam pengertian sehari-hari adalah perubahan yang fundamental atau mendasar yang dipicu oleh revolusi teknologi yang menyasar semua celah kehidupan manusia. Salah satu faktor utamanya adalah digitalisasi. Digitalisasi adalah proses pengubahan berbagai informasi dari format analog menjadi format digital sehingga lebih mudah digunakan. 

Era disrupsi ini ditandai dengan pengunaan teknologi informasi dan komunikasi secara sangat intensif dan massif hampir dalam semua aspek kehidupan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan. Namun era disrupsi juga memunculkan celah di mana tidak semua kebutuhan sosial individu dapat dipenuhi sepenuhnya melalui teknologi informasi dan komunikasi. Maka dari itu, dibutuhkan komunikasi sosial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial individu yang hanya dapat dipenuhi melalui komunikasi tatap muka secara langsung seperti kebutuhan pembentukan konsep diri, pemenuhan eksistensi diri, menjalin hubungan dan mendapatkan kebahagiaan.

Pada dasarnya komunikasi sosial bertujuan untuk pembentukan konsep diri, pemenuhan eksistensi diri, dan untuk kelangsungan hidup, menjalin hubungan, dan mendapatkan kebahagiaan. Di kalangan pondok pesantren, komunikasi sosial ini sangat penting karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memfokuskan pada pendidikan karakter. Salah satu unsur penting dalam pendidikan karakter adalah pemenuhan kebutuhan sosial para santri melalui komunikasi sosial di lingkungan pondok pesantren.  

Berkaitan dengan komunikasi sosial untuk membentuk konsep diri maka pertama-tama pimpinan pondok pesantren perlu menentukan terlebih dulu konsep diri apa yang hendak ditanamkan kepada para santri yang dapat merujuk pada visi dan misi pondok pesantren itu sendiri. Misalnya visi dan misi pondok pesantren adalah melahirkan santri sebagai kader ulama, pendidik, pemimpin, pengusaha, dan pendakwah bagi umat dan bangsa, maka konsep diri yang akan ditanamkan untuk para santri adalah sebagai kader ulama, pendidik, pemimpin, pengusaha, dan pendakwah. Konsep diri itu sendiri merupakan pandangan mengenai siapa diri sendiri yang diperoleh melalui komunikasi dengan orang lain yang memiliki kedekatan hubungan seperti keluarga, sahabat, dan pasangan hidup. 

Untuk mewujudkan konsep diri santri pimpinan pondok pesantren dapat menerapkan kurikulum komprehensif yang memadukan pelajaran-pelajaran kitab kuning dengan ilmu-ilmu pengetahuan moderen, dan melaksanakan berbagai program dan kegiatan bagi para santri. Konsep diri santri ini dibentuk melalui proses interaksi dengan berbagai kalangan pondok pesantren seperti dewan mudir, ustadz/ustadzah, ibu/bapak asrama, sesama santri, dan wali santri dalam kegiatan keseharian di pondok pesantren.

Komunikasi sosial juga berfungsi sebagai eksistensi diri yang diwujudkan melalui komunikasi dalam bentuk berbicara, berdiskusi, penampilan, dan lain sebagainya. Untuk memenuhi eksistensi diri para santri pimpinan pondok pesantren dapat melakukan upaya-upaya seperti melengkapi fasilitas sekolah, asrama, dan sarana prasarana penunjang, mempergiat kegiatan-kegiatan ekstrakulikuler, dan menerapkan kurikulum komprehensif di pondok pesantren. Untuk mewujudkan esksistensi diri santri, peran ustadz/ustadzah, dan sesama santri sangat penting. Interaksi di antara mereka dalam bentuk pemberian motivasi dan ruang berekspresi sangat mendukung terpenuhinya eksistensi diri santri.

Sedangkan komunikasi sosial yang berfungsi untuk menjalin hubungan berkaitan dengan komunikasi sebagai aspek fundamental dalam kehidupan, dan  mendapatkan kebahagian karena terpenuhinya kebutuhan psikologis dan sosial. Untuk menjalin hubungan dan mendapatkan kebahagiaan, maka komunikasi sosial yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren adalah melaksanakan kegiatan-kegiatan baik formal maupun informal seperti sekolah, pengajian, upacara, dan silaturrahmi. Selain itu juga melalui pengadaan sarana dan prasarana seperti lapangan-lapangan olahraga, ruang-ruang berekspresi, dan sebagainya, serta menciptakan suasana kekeluargaan di lingkungan pondok pesantren. Dalam proses menjalin hubungan dan mendapatkan kebahagiaan ini diperlukan interaksi yang melibatkan semua unsur di lingkungan pondok pesantren seperti dewan mudir, ustadz/ustadzah, ibu/bapak asrama, dan sesama santri, termasuk dengan wali santri.

Proses komunikasi sosial di kalangan pondok pesantren meliputi tahapan sebagai berikut. Pertama, pimpinan pondok pesantren sebagai komunikator bertindak berdasarkan makna yang dimiliki untuk mewujudkan visi dan misi pondok pesantren. Kedua, hasil pemaknaan yang diperoleh melalui proses interaksi diwujudkan dalam bentuk bahasa (language) dan pemikiran (thought) sebagai isi pesan yang meliputi penerapan kurikulum komprehensif, pelaksanaan program-program dan kegiatan-kegiatan yang intensif, penyediaan fasilitas (sarana/prasarana) yang memadai, dan menciptakan suasana kekeluargaan. Ketiga, isi-isi pesan tersebut kemudian disampaikan melalui sesama pimpinan pondok pesantren, ustadz/ustadzah, ibu/bapak asrama,  dan wali santri sebagai saluran atau perantaranya. Keempat, melalui saluran tersebut diteruskan kepada para santri sebagai komunikan melalui proses interaksi. 

Proses komunikasi sosial yang kelima adalah adanya hambatan-hambatan (noises) karena adanya perbedaan latar belakang santri, kurangnya motivasi santri untuk belajar dan berprestasi, keterbatasan pendanaan, fasilitas, dan SDM. Proses keenam adalah tujuan yaitu terbentuknya konsep diri santri sesuai visi pondok pesantren, terpenuhinya aktualisasi diri para santri, dan terjalinnya hubungan santri dengan lingkungan dan tercapainya kebahagiaan. Ketujuh, proses komunikasi sosial terakhir adalah adanya umpan balik (feedback) dalam bentuk saran-saran dan harapan-harapan kepada pimpinan pondok pesantren, yaitu peningkatan fasilitas santri, meningkatkan capacity building para asatidz/asatidzah, input santri perlu diperketat agar output yang dihasilkan juga berkualitas, kemampuan bahasa asing santri perlu ditingkatkan, dan perlu pengawasan agar tidak terjadi bullying di pondok pesantren.

Di era disrupsi yang serba tidak pasti seperti saat ini, penerapan komunikasi sosial yang efektif di lingkungan pondok pesantren menjadi sangat urgen (penting dan mendesak). Dengan komunikasi sosial yang baik maka kebutuhan-kebutuhan sosial para santri akan dapat terpenuhi. Dengan demikian dengan sendirinya visi dan misi pondok pesantren juga akan tercapai melalui komunikasi sosial efektif di kalangan pondok pesantren.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menakar (Baik-Buruk) Pemimpin Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Legoso,....

Suara Muhammadiyah

2 January 2025

Wawasan

Membangun Sekoci-Sekoci Perkaderan Muhammadiyah di DIY Oleh: Iwan KC Setiawan (Wakil Ketua PWM DIY....

Suara Muhammadiyah

18 September 2023

Wawasan

Menafsir Ulang Kecantikan dalam Jejak Ketauladanan Kartini dan Pejuang Perempuan Muhammadiyah Oleh:....

Suara Muhammadiyah

21 April 2025

Wawasan

Refleksi 111 Tahun Milad Muhammadiyah Oleh : Rifai Aprian Milad Muhammadiyah ke-111 tahun yang jat....

Suara Muhammadiyah

19 November 2023

Wawasan

Revitalisasi Tradisi Intelektual IMM  Oleh: M. Rendi Nanda Saputra, Sekretaris Umum PC IMM AR ....

Suara Muhammadiyah

1 March 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah