Kemiskinan yang Dicaci Sekaligus Dikomodifikasi
Oleh: Mansurni Abadi, Mantan Pengurus divisi Riset IMM Malaysia 2023-2024
“Minggir Lu miskin” begitulah bentak Ishowspeed, youtuber asal amerika yang dikenal sebagai fans fanatik Cristiano Ronaldo saat mengunjungi Yogyakarta beberapa waktu lalu, yang direspon dengan gelak tawa mereka yang mengerubungi Youtuber yang bernama asli Darren Jason Watkins Jr.
Netizen pun merespon ajaran sesat yang disangka oleh Darren sebagai kalimat yang positif untuk menegur setiap orang yang mengerubunginya itu dengan meme- meme lucu bernuansa kritik sosial.
Persoalan Miskin di Indonesia memang tidak pernah tuntas, apalagi saat ini kita dihebohkan dengan penurunan populasi kelas menengah akibat resesi ekonomi,yang artinya bertambah pula kemiskinan. dan sekali lagi dan lagi pemerintah sebagai pihak yang seharusnya bertanggung jawab mengatasi kemiskinan itu, dicap sebagai pihak yang paling disalahkan.
Mayoritas kita menilai kemiskinan ada pada kesalahan individu. Biasanya label malas, bodoh, bahkan jauh dari Allah SWT akibat kurang ikhtiar dianggap menjadi alasan utama terjadinya kemiskinan bahkan anggapan ini semakin diperkuat dengan banyaknya public figure termasuk motivator didalamnya yang menjadikan kemiskinan objek penghakiman.
Padahal persoalan kemiskinan, tidak sesederhana itu. Saya pernah menginap 2 hari di Rumah seorang teman yang berada di tengah-tengah pemukiman kumuh di Ibu Kota, yang mana orang tua dari teman saya itu yang seorang pemulung bahkan bangun jam 3 pagi bersama beberapa orang lainnya untuk memulai rutinitas memulung sampai larut malam. Rumah yang hampir rubuh di pinggir sungai yang selalu dilanda banjir setiap musim penghujan, hanya menjadi persinggahan beberapa jam untuk kembali beranjak mempertahankan hidup di Ibukota yang memang lebih kejam dari Ibu tiri itu.
Dalam Islam, kemiskinan memang dipandang sebagai suatu hal yang negatif karena berpotensi mendekatkan umat pada kemungkaran. Namun persoalan kemiskinan, tidak sesedarhana terletak pada kesalahan individual ada faktor struktural, sebagaimana yang juga tengah viral baru-baru ini.
Persoalan kesenjangan, budaya KKN, dan terbatasnya peluang merupakan tiga dari sekian banyak hal yang masuk dalam persoalan struktural yang menghalangi seseorang untuk keluar dari jurang kemiskinan apalagi di zaman digital yang banyak konten ini, kemiskinan menjadi objek menarik untuk dimonetisasi bukan untuk di selesaikan penyebabnya.
Komodifikasi kemiskinan memang sudah berlangsung lama, bahkan menjadi objek pariwisata sewaktu saya tinggal di Bangkok dahulu ada sebuah wilayah kumuh bernama Klong teoy
wilayah ini persis seperti wilayah kumuh di kota Jakarta, sama-sama terletak di pinggiran sungai yang kotor dengan rumah-rumah seng yang berdempatan dan sampah bertebaran dimana-mana namun yang membedakannya dengan wilayah di Jakarta.
Klong teoy menjadi objek pariwisata bagi mereka yang ingin merasakan suasana kemiskinan, penduduk di wilayah tersebut juga merasa senang dan menadah tangan kepada setiap yang datang. tentu saja ini ironis, bagaimana penderitaan yang harusnya bisa diselesaikan malah dijadikan objek tontonan.
Kisah Klong Teoy di Thailand hamper sama dengan kisah pemukiman kumuh di wilayah Tondo, Manila yang juga menjadi objek pariwisata meskipun Kedua pemerintah di negara tersebut, tidak menyarankan turis untuk datang di Kedua lokasi itu. Di Indonesia, sampai saat ini setidaknya sependek pemahaman saya, belum ada satu wilayah yang viral yang dijadikan objek pariwasata yang tergolong sebagai dark tourism itu, tetapi setidaknya persoalan kemiskinan itu sudah menjadi objek monetisasi oleh banyak pembuat konten dalam bentuk pemberian bantuan yang di belakang layar ternyata ada rekayasa perihal besaran yang bakal didapat oleh si miskin.
Sebenarnya kalau kita telaah lebih jauh, kasihan sekali mereka yang berada di garis kemiskinan itu sudah keterjebakan mereka di jadikan hinaan secara sosial melalui stigma dan diksriminasi, dimanfaatkan pula untuk bahan hiburan, seperti pepatah sudah jatuh tertimpa tangga.
Melihat kemiskinan secara kritis
Kalau menurut Glen Bramley dalam analyzing social policy- nya dikatakan jika kemiskinan dan kesengsaraan sosial itu sebagian besar disebabkan oleh struktur sosial, yaitu bagaimana masyarakat berfungsi secara makro.
Pendapat gley, selaras dengan kajian dari Wachtel di tahun 1971 berjudul Looking At Poverty From a Radical Perspective. Review of Radical Political Economic yang berpendapat kalau kemiskinan adalah kondisi masyarakat, maka kita harus melihat ke lembaga-lembaga masyarakat untuk menemukan penyebab kemiskinan daripada tertumpu pada karakteristik individu sebagai penyebab utamanya.
Apalagi, Fakta sosial membuktikan beberapa masalah sosial, seperti rasisme, seksisme, dan segregasi, terus-menerus menyebabkan disparitas pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan bagi kelompok yang terpinggirkan.
Sewaktu mengikuti kuliah bersama Slavoj Zizek , intelektual Slovakia yang nyentrik itu berkata kemiskinan pada dasarnya adalah ketidakmampuan untuk memiliki pilihan dan kesempatan yang adil . jadi ada pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia sehingga mereka tidak dapat kesempatan untuk menciptakan pilihan-pilihan yang sama atau setara.
Karena kurangnya kesempatan maka kurang jugalah kapasitas dasar mereka untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Yang terjebak kemiskinan itu, tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memberi makan dan pakaian keluarga mereka , tidak mampu mengakses sekolah atau klinik untuk dikunjungi ketika sakit , tidak memiliki tanah untuk menanam makanan atau pekerjaan untuk mencari nafkah, apalagi tidak memiliki akses kepermodalan.
Jika kita telah sadar dan tahu sebagaimana viralnya topic tentang kemiskinan struktural yang nyata adanya itu, sudah selayaknya kita melawan segala bentuk narasi yang menjadi kemiskinan hanya berhenti pada konten apalagi alat politik yang terus menerus di pelihara. Teologi Al-maun yang di usung oleh Muhammadiyah sudah jelas melawan kemiskinan sampai ke akar-akarnya, bukan sebatas memberi bantuan namun menciptakan peluang dan kesempatan yang adil bagi mereka yang miskin itu untuk dapat memperoleh kehidupan yang lebih baik.