Vonis Ringan Koruptor

Publish

10 December 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
269
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Vonis Ringan Koruptor

Bukan Sekadar Tidak Adil Karena Membahayakan Eksistensi Bangsa

Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (UAD)

Tempo Co 14 Oktober 2023 menurunkan berita Laporan ICW yang mencatat Ada 59 Koruptor divonis bebas dan lepas sepanjang 2023. ICW merinci pengadilan yang menjatuhkan putusan bebas dan lepas terhadap terdakwa kasus korupsi yakni: Pengadilan Negeri (PN) Makassar 15 orang, PN Tanjung Pinang 9 orang, PN Pontianak 8 orang, PN Medan 6 orang dan PN Jayapura 3 orang. Laporan ini didasarkan pada pengungkapan Kurnia Ramadhana Peneliti ICW dalam forum laporan tren vonis korupi tahun 2023 pada 14 Oktober 2024 di Jakarta.
 
Tempo Co juga menurunkan berita dengan judul; “Vonis 3 Tahun Toni Tamsil Pelaku Obstruction of Justice dalam Kasus Korupsi Timah. Berita yang dilansir pada 4 September 2024 juga diberi sub judul: Toni Tamsil divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 5 ribu. Alasan vonis ringan karena hakim menyebut dia sopan selama persidangan. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Pengadilan Negeri Pangkalpinang menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada Toni Tamsil, yang dikenal juga sebagai Akhi, dalam sidang yang digelar pada Kamis, 29 Agustus 2024. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya meminta hukuman 3,6 tahun penjara. Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan 16 tersanagka terkait dugaan korupsi besar dalam sector timah di wilayah Izin Usaha (IUP) PT Timah Tbk. Dugaan korupsi ini diperkirakan telah merugikan negara sekitar 271 triliun selama periode 2015-2022.

Sementara itu pada Jumat, 09 Agustus 2024, Kantor Berita Ekonomi dan Politik RMOD.ID menurunkan berita dengan judul; “Koruptor Divonis Ringan karena Sopan,” dengan memberi sub judul; “Alasan bersikap sopan yang menjadi salah satu pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor memvonis ringan bekas Dirut Jasamarga Jalan Layang Cikampek (JJC), Djoko Dwijono tidak bisa dibenarkan. Senada dengan sub judul itu Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil menegaskan, majelis hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara hanya karena kesopanan pelaku korupsi. "Menurut saya pikiran hakim sudah kebolak-balik. Kesopanan itu bukan dijadikan standar dalam memutuskan vonis,” kata Nasir Djamil kepada Kantor Berita Politik RMOL, (Jumat-9/8). 

RMOLD.ID dalam pemberitaan tersebut juga menyebut bahwa Djoko Dwijono dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam proyek pekerjaan pembangunan Jalan Tol Sheikh Mohammed bin Zayed (MBZ) atau Jakarta-Cikampek (Japek) II Elevated Ruas Cikunir-Karawang Barat. "Pertimbangan bersikap sopan eks Dirut Jasa Marga yang korupsi Rp 510 miliar cuma divonis 3 tahun penjara," kata Rieke yang juga Anggota Fraksi PDIP DPR. Menurut Rieke, dengan alasan sopan, ada beberapa terdakwa kasus korupsi yang vonisnya diringankan. "Benny Tjokro Saputro divonis nihil (bebas) karena sopan di persidangan," kata Rieke. “Karena sopan di persidangan dengan kerugian negara Rp 22,78 triliun? Menurut Rieke kasus korupsi Asabri sangat tidak sopan karena mengembat duit pensiunan TNI.” 

Hukum Vs. Moral?

Sungguh mengherankan memvonis bebas atau sekurang-kurangnya memvonis ringan koruptor dengan alasan terdakwa berlaku sopan dalam persidangan. Secara teoretik hal ini berseberangan dengan aliran pemikiran positivisme hukum yang dianut oleh hampir seluruh negara di dunia. Sebab itu, membahas vonis ringan terhadap para koruptor –yang akhir-akhir ini menggelegak— tidak dapat dipisahkan dari pertentangan aliran pemikiran hukum yang menekankan pada moralitas dengan pemikiran hukum yang memisahkan antara moral dengan hukum, yakni aliran pemikiran positivisme hukum. 

Ada beberapa alasan utama mengapa aliran positivisme memisahkan etika dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum. Pertama, penekanan pada obyektivitas hukum. Salah satu alasan utama munculnya positivisme hukum adalah keinginan untuk menjadikan hukum sebagai disiplin yang ilmiah, obyektif, dan terpisah dari elemen-elemen subjektif seperti moral atau etika. Dalam pandangan positivis, hukum adalah aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah (seperti negara) dan tidak memerlukan justifikasi moral agar sah. Tokoh utama dari aliran ini, adalah John Austin dan H.L.A. Hart, yang pada intinya mereka berpendapat bahwa hukum adalah "perintah" atau "aturan" yang diberikan oleh penguasa, dan harus ditaati terlepas dari nilai moralnya. Hart, misalnya, membedakan antara "hukum positif" (sebagai aturan yang berlaku) dan "moralitas" sebagai nilai-nilai yang independen dari aturan hukum.

Positivisme hukum juga dipengaruhi oleh pemikiran Jeremy Bentham, seorang utilitarianis yang menolak campur tangan moral dalam hukum. Bagi Bentham, hukum harus dinilai dari kegunaannya dalam menciptakan kebahagiaan atau kesejahteraan terbesar bagi masyarakat, bukan dari kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip moral. Hal ini menghasilkan pendekatan yang pragmatis terhadap hukum: hukum dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu yang dirumuskan oleh pembuat hukum tanpa perlu mempertimbangkan apakah tujuan itu "baik" atau "buruk" menurut standar etika 

Positivisme hukum menitikberatkan pada kepastian hukum, yaitu kemampuan hukum untuk memberikan aturan yang jelas dan dapat diprediksi. Dalam pandangan ini, melibatkan etika dalam hukum dapat menciptakan ketidakpastian karena standar etika bisa berbeda antara individu atau kelompok. Dengan memisahkan hukum dari etika, positivisme hukum bertujuan memastikan bahwa hukum yang berlaku dapat diidentifikasi secara jelas tanpa memerlukan penilaian subjektif tentang baik atau buruknya aturan tersebut. 

Pemisahan hukum dari moralitas dan budaya juga merupakan karakter dari aliran positivime hukum. Budaya sering kali terkait erat dengan nilai-nilai moral dan etika yang bersifat lokal, yang menurut pandangan positivis tidak selalu relevan dengan hukum. Para positivis hukum seperti H.L.A. Hart berpendapat bahwa hukum harus diformulasikan dalam aturan-aturan umum yang jelas, konsisten, dan berlaku untuk seluruh masyarakat. Sebaliknya, budaya yang beragam dianggap dapat mengancam universalitas hukum karena nilai-nilai budaya bisa sangat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Untuk menjaga stabilitas dan kepastian hukum, positivisme berupaya menetapkan hukum sebagai sistem yang terlepas dari variasi budaya lokal yang dianggap dapat menimbulkan ketidakpastian atau ketidakkonsistenan dalam pelaksanaannya.

Aliran Hukum Yang Menolak Positivisme

Apakah dengan dianutnya aliran positivisme hukum di dunia tidak ada lagi tempat bagi pemikiran hukum yang mendasarkan kepada moral atau etika? Sesungguhnya secara teoretik aliran pemikiran hukum yang berseberangan dengan aliran positivisme hukum banyak dan tidak kalah kuat serta jernih landasan filosofisnya. Namun sejarah pada awal munculnya positivisme hukum sekitar tahun 1825 yang dimotori oleh Saint Simon lebih populair dan diterima dibandingkan dengan aliran penentangnya. Beberapa aliran pemikiran hukum yang mendasarkan pada moral atau etika dan bersifat kontra terhadap positivisme hukum dapat diidentifikasi sebagai berikut.

Pertama, aliran Hukum Alam (Natural Law Theory). Aliran hukum alam berpendapat bahwa hukum harus sesuai dengan prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai universal yang bersifat intrinsik. Aliran hukum alam menganggap bahwa hukum yang tidak mencerminkan prinsip moral tidak dapat dianggap sebagai hukum yang sah. Diantara tokoh aliran ini adalah Thomas Aquinas dan Lon L. Fuller yang intinya berpendapat bahwa hukum harus mengandung kebaikan moral dan etika, dan hukum yang tidak memenuhi standar ini dianggap "tidak adil" atau bahkan "tidak sah." Kedua, Mazhab Sosiologi Hukum (Sociological Jurisprudence). Mazhab ini memandang bahwa, hukum harus mencerminkan nilai-nilai serta kebutuhan masyarakat. Tokohnya antara lain Roscoe Pound dan Eugen Ehrlich. Pound, dalam gagasan "social engineering," melihat hukum sebagai instrumen yang harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan sosial.

Mazhab ini berpendapat bahwa hukum yang baik adalah hukum yang efektif dalam mencapai keadilan sosial dan mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, bukan sekadar aturan formal yang dipaksakan oleh negara. Ketiga, aliran Realisme Hukum (Legal Realism). Berbeda dari positivisme yang berfokus pada norma formal, realisme hukum menekankan bahwa faktor psikologis, sosial, dan politik sering kali mempengaruhi penegakan hukum. Diantara tokoh dari aliran ini adalah Oliver Wendell Holmes Jr. dan Karl Llewellyn yang berpendapat bahwa hukum pada dasarnya adalah alat untuk menyelesaikan masalah sosial, sehingga penerapan hukum sangat bergantung pada konteks dan interpretasi subjektif dari hakim. 

Masih ada beberapa aliran pemikiran hukum yang bereberangan aliran positivisme hukum antara Teori Hukum Kritis (Critical Legal Studies/CLS) adalah gerakan yang menentang pandangan positivisme. Selanjutnya Teori Feminis Hukum (Feminist Legal Theory). Teori feminis hukum menolak pandangan positivisme yang cenderung mengabaikan pengalaman dan perspektif perempuan dalam hukum. Pemikir feminis seperti Catharine A. MacKinnon. Demikian pula teori hukum Responsif (Responsive Law) yang yang diperkenalkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, menolak pandangan positivisme yang menganggap hukum sebagai sistem yang kaku dan independen dari perubahan sosial. 

Mengapa Korupsi Harus Diberantas Tuntas

Secara keseluruhan, korupsi merupakan lingkaran setan (vicious cycle) yang memperburuk kondisi ekonomi, memperlemah institusi negara, mengurangi kepercayaan publik, dan menciptakan ketidakadilan yang memicu ketidakstabilan sosial dan politik. Dalam jangka panjang, negara yang gagal memberantas korupsi akan kesulitan bertahan dan bisa saja runtuh karena kehilangan legitimasi dan kemampuan mengurus rakyatnya. 

Secara spesifik korupsi berkaitan dengan isu-isu strategis sekaligus sensitif. Pertama, adanya kerugian ekonomi. Korupsi secara langsung menguras sumber daya negara, mengurangi pendapatan negara, dan memperlambat pembangunan ekonomi. Menurut Bank Dunia, korupsi dapat mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB) suatu negara hingga 1-2% setiap tahunnya. Korupsi yang merajalela dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah dan pejabat publik. Ketika masyarakat merasa bahwa hukum hanya berlaku bagi kalangan tertentu dan pejabat pemerintah bisa lolos dari hukum karena korupsi, legitimasi negara akan melemah.

Rakyat cenderung akan sulit percaya kepada negara atau pejabat yang korup, yang pada akhirnya memperburuk ketertiban dan ketaatan terhadap hukum. Kedua, ketimpangan sosial dan kesenjangan. Korupsi memperparah ketimpangan sosial, sebab akses terhadap sumber daya negara cenderung dikuasai oleh elit atau pihak yang memiliki kepentingan. Dalam sistem yang korup, hanya kelompok tertentu yang mendapat keuntungan, sedangkan masyarakat umum hanya menerima sisa-sisa. Ketiga, korupsi sangat mengganggu penegakan hukum. Dalam negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, aparat penegak hukum sering kali terlibat dalam praktik suap, yang mengakibatkan lemahnya penegakan hukum. Ketika keadilan bisa “dibeli,” hukum kehilangan maknanya sebagai alat untuk menjaga keadilan. Kondisi yang demikian dapat berujung pada pembiaran tindakan kriminal dan ketidakadilan sosial, dan mempercepat kehancuran tatanan sosial suatu negara. 

Ringkasnya, tulisan sederhana ini menggambarkan adanya kontradiksi berat antara landasan hukum nasional yang menganut aliran positivisme hukum, yang memandang hukum sebagai produk dari otoritas yang sah, dan terlepas dari moralitas, namun hakim-hakim itu telah memvonis ringan koruptor dengan alasan telah berlaku sopan dalam persidangan. Dengan mengaca pada fakta bekerjanya hukum dan cara berfikir hukum, perlu kiranya Bapak Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa saat ini RI memasuki darurat korupsi nasional. Pernyataan ini perlu untuk memberikan warning aparat penegak hukum agar kembali kepada sumpah jabatan yang mereka ucapkan dan amanat untuk keselamatan bangsa dan negara. Wallahu a’lamu.*


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Refleksi Milad 59 dan Revitalisasi Fungsi Kokam Oleh: Badru Rohman, Kokam Sukoharjo Sejak awal ber....

Suara Muhammadiyah

2 October 2024

Wawasan

Menggenjot Investasi Berbasis Masyarakat Oleh: Syafrudin Anhar Salah satu cara dari sekian banyak ....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (13)  Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra ....

Suara Muhammadiyah

30 November 2023

Wawasan

Kesempatan Berbuat Baik  Oleh: Amalia Irfani, Sekretaris LPP PWM Kalbar  Selalu ada ruan....

Suara Muhammadiyah

3 August 2024

Wawasan

Sekularisasi: Ancaman Bagi Pendidikan Islam Kita Oleh: Arif Rahmatullah, M.Pd.Dosen Universitas Muh....

Suara Muhammadiyah

11 September 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah