Anak Saleh (34)

Publish

13 March 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
195
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Saleh (34)
Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah Magelang

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang panjang dan penuh tantangan."

Ayah ibu yang sudah melatih diri mengamalkan sekurang-kurangnya tiga S, yakni salam, senyum, dan sapa tidak canggung mengamalkan tiga S itu ketika bertemu dengan tetangga, teman, apalagi saudara di jalan. Bahkan, di tempat-tempat umum seperti ruang tunggu periksa di puskesmas, rumah sakit, terminal, stasiun kereta api, atau bandara pun dengan ringan mengamalkannya.  Baginya berucap salam, tersenyum, saling sapa merupakan ibadah yang berpahala. 

Ayah ibu yang menyadari bahwa segala ucapan dan perilakunya menjadi patron bagi anaknya senantiasa berusaha berucap dan berperilaku yang pantas menjadi teladan. Mereka tidak pernah berbicara dengan nada yang merendahkan atau meremehkan orang lain meskipun kepada orang yang berstatus sosial rendah yang “mengesalkannya”. 

Ketika bertemu dengan tetangga yang pada tiap Kamis sore pergi ke makam untuk “bersih-bersih” makam keluarga (terutama orang tuanya), misalnya, mereka menyapa. Tidak ada satu pun kata sinis apalagi nyinyir yang terucap meskipun ada perbedaan pemahaman dan pengamalan dalam hal ziarah kubur.

Sementara itu, ketika sebagian muslim mukmin di lingkungannya “nyadran”, mereka tidak diundang. Bukan karena mereka dikucilkan, melainkan karena tetangga tahu bahwa ada perbedaan pemahaman dan tetangga itu menghormatinya.  

Tetangga pun menghormatinya dalam hal perbedaan penyelenggaraan “tahlilan” pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, dst. Mereka tidak mengundang dan tidak mengiriminya “berkat”. Lagi-lagi, bukan karena mereka dikucilkan, melainkan karena dihormati. Buktinya, ketika meneyelenggarakan tasyakuran pernikahan atau khitanan misalnya, tetangga memintanya agar memimpin doa. Ketika Ramadhan, ayah diberi kesempatan mengisi pengajian. Bahkan, dia diberi amanah menjadi imam shalat secara tetap termasuk shalat subuh, padahal jika menjadi imam, dia tidak "berqunut", sedangkan bagian besar makmum biasa “berqunut”.  Meskipun tanpa qunut, jamaah tidak memprotes. Mereka mengikuti shalat itu sampai selesai.

Ayah Sebagai Pemimpin di luar Rumah

Ada di antara ayah yang diberi amanah sebagai ketua RT, ketua RW, ketua takmir masjid atau musala, atau bahkan, kepala desa, lurah atau yang lain lagi. Sebagai pemimpin di dalam keluarga, bagian besar ucapannya dapat didengar dan perilakunya dapat dilihat oleh anak. Tentu saja sangat ideal jika ucapan yang didengar dan perilaku yang dilihat di rumah, yang benar dan baik, yang diketahui dan mulai ditiru oleh anaknya, tidak dirusak oleh ucapan dan perilaku di luar rumah. Dengan kata lain, baik di rumah dan maupun di luar rumah, ayah berakhlak mulia. 

Boleh jadi, ketika bermusyawarah dengan jamaah masjid atau musala, terjadi perbedaan pendapat. Sebagai remaja masjid atau musala, anak hadir dalam musyawarah itu. Jika ayah dapat menyelesaikan perbedaan pendapat itu dengan baik, niscaya hal itu merupakan praktik-baik yang menjadi pelajaran berharga bagi anak.  

Sementara itu, dari teman-temannya, anak memperoleh informasi bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang sangat dicintai sekaligus disegani, tidak hanya oleh jamaah masjid atau musala dan tetangga, tetapi juga warga kampung lain. Hal ini pun merupakan nilai tambah bagi ayahnya. Pasti nilai tambah itu berpengaruh positif terhadap anak. 

Ayah sebagai Pimpinan di Tempat Bekerja

Pada acara-acara tertentu seperti silaturahim Idul Fitri, ada tradisi ayah hadir bersama keluarga. Kesempatan ini sangat baik bagi ayah ibu untuk menunjukkan praktik-baik. Praktik-baik itu dapat berupa pengamalan salam, senyum, dan sapa. Di samping itu, ayah sebagai pimpinan, tentu mendapat penghormatan. Berkenaan dengan itu, anak dapat mendengar ucapan dan melihat perilaku ayahnya: sombong atau rendah hati. Ketika diajak berjabat tangan, apakah pandangan ayah tertuju pada orang yang mengajak jabat tangan itu atau tidak. 

Di dalam acara itu anak dapat mengamati praktik-baik makan dan minum ayah ibunya. Ketika makan dan minum, apakah ayah mengamalkan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam atau tidak. Tentu sangat disayangkan jika ayah ibu makan minum sambil berdiri dan “ngobrol”.

Ayah sebagai Warga Biasa

Teladan kebenaran dan kebaikan dapat saja berasal dari ayah yang di kampung berstatus warga biasa. Ayah sebagai warga biasa yang taat pada peraturan, warga biasa yang aktif-partisipatif dalam berbagai kegiatan kampung, dan dapat berkomunikasi dengan baik dapat pula menjadi teladan. 

Salah satu contoh partisipasi ayah dalam kegiatan kampung adalah kerja bakti. Ketika mengikuti kerja bakti, dia penuh semangat dan dapat memotivasi warga lain. Bahkan, demi kerja bakti di kampung, dia tidak menghadiri pengajian rutin tiap Ahad pagi. Baginya, kerja bakti yang bersifat insidental, apalagi dilaksanakan dalam rangka menyambut Ramadhan, dianggapnya sebagai pengamalan hasil mengaji. 

Ketika peringatan kemerdekaan RI berlangsung pada bulan Ramadhan, ayah ikut kerja bakti juga. Dia benar-benar menunjukkan bahwa berpuasa Ramadhan bukan kendala bagi muslim mukmin aktif kerja bakti. Dia dengan semangat ikut bersih-bersih lingkungan, memasang bendera dan umbul-umbul, juga hiasan lain. 

Berkunjung ke Rumah Kakek Nenek

Mengunjungi kakek nenek tidak hanya berlangsung ketika mereka sakit atau Idul Fitri. Kerinduan ayah ibu dengan kakek nenek perlu diketahui oleh anak. Hal ini sebagai praktik-baik dalam usaha menanamkan akhlak kasih sayang anak kepada orang tua. Sangat baik jika sejak rencana kunjungan anak dapat mendengar percakapan ayah ibu dengan kakek neneknya. Tambahan lagi, ketika ayah ibu menyiapkan oleh-oleh, anak pun mengetahuinya, bahkan ikut menyiapkannya.

Pada saat sampai di rumah kakek nenek, anak dapat secara langsung mengetahui praktik-baik sejak ayah ibu berucap salam, berjabat tangan, hingga masuk rumah. Semua itu dirasakannya sebagai teladan, baik dari segi tuturan yang digunakan oleh ayah ibu maupun perilakunya, termasuk bahasa tubuhnya. 

Anak melihat ayah ibunya tidak minta dilayani kakek nenek. Minum menyiapkan sendiri. Demikian juga makan. Bahkan, anak yang sudah dapat membantu menyiapkan makan minum diminta agar membantu.

Bagi anak yang tinggal jauh (misalnya di luar negeri atau di pulau yang berbeda apalagi berjauhan), tentu saja silaturahim dapat dilangsungkan melalui telepon atau video call. Sangat bagus pada saat terjadi pembicaraan tentang hal-hal yang bersifat umum, anak dapat mendengar.

Hal lain yang penting juga adalah komunikasi dengan tetangga kakek nenek lebih-lebih lagi mereka yang tinggal di tempat kelahiran ayah ibu. Ayah ibu berkomunikasi dengan mereka dengan baik. Bahkan, mereka yang rumahnya dekat dengan rumah kakek nenek pun "kebagian" oleh-oleh.

Dari sisi lain anak sadar bahwa ayah ibunya adalah orang kaya, berpangkat tinggi, dan berjabatan tinggi. Meskipun demikian, mereka tidak memamerkannya. Mereka tampil bersahaja. Ada kesadaran padanya bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang yang sombong sebagaimana dijelaskan di dalam firman-Nya, antara lain, berikut ini.

Surat al-Furqan (25): 67

وَٱلَّذِينَ إِذَآ أَنفَقُوا۟ لَمْ يُسْرِفُوا۟ وَلَمْ يَقْتُرُوا۟ وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا

Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.

Surat al-Israk (17): 26-27

وَاٰتِ ذَا الۡقُرۡبٰى حَقَّهٗ وَالۡمِسۡكِيۡنَ وَابۡنَ السَّبِيۡلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيۡرًا‏ 
الۡمُبَذِّرِيۡنَ كَانُوۡۤا اِخۡوَانَ الشَّيٰطِيۡنِ​ ؕ وَكَانَ الشَّيۡطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوۡرًا‏ 

"Dan berikanlah haknya kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya”.

Sementara itu, perintah agar hidup sederhana di dalam hadis dijelaskan, antara lain, sebagai berikut.

مَنْ ترك اللباسَ تَوَاضُعًا لله، وهو يقدر عليه، دعاه اللهُ يومَ القيامةِ على رُؤُوسِ الخَلَائِقِ حتى يُخَيِّرُهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا 

Barang siapa meninggalkan pakaian (mewah) karena merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, padahal dia mampu mengenakannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya pada hari kiamat di hadapan segenap makhluk untuk disuruh memilih jenis pakaian iman mana saja yang ia kehendaki untuk dikenakan”. (HR at-Tirmidzi dari Mu’az bin Anas Al-Juhani radiyallahu ‘anhu).

Pendek kata, ayah ibu berusaha secara serius menjadi teladan bagi anak di mana pun, kapan pun, dan bagaimana pun. Jika ayah ibu setiap keluarga demikian, harapan untuk memperoleh anak saleh pada setiap keluarga tercapai. Selanjutnya, tercapai pula harapan lahir generasi saleh! Aamiin.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Najihus Salam Kader IMM Pondok Hajjah Nuriyah Shabran Al-Qur’an sebagai Petunjuk dalam....

Suara Muhammadiyah

17 January 2024

Wawasan

Pro Kontra MBG  Oleh: Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP PWM Kalbar ....

Suara Muhammadiyah

6 February 2025

Wawasan

Menikmati Makanan Lebaran Yang Aman dan Seimbang Oleh: Saibatul Hairiyah, S.Tr.Gz, Nutrisionis Pusk....

Suara Muhammadiyah

30 March 2025

Wawasan

Hari Lahir Pancasila, Terus Apa? Oleh: Aan Ardianto, Anggota MPM PP Muhammadiyah  Pancasila y....

Suara Muhammadiyah

29 May 2024

Wawasan

Oleh: Khafid Sirotudin Ormas singkatan dari organisasi massa atau organisasi masyarakat. Sebagaiman....

Suara Muhammadiyah

10 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah