JAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pengajian Ramadan 1446 H di Universitas Muhammadiyah Jakarta kali ini bisa dikatakan spesial. Bukan hanya soal tema yang menarik untuk dibahas, tapi juga besarnya antusiasme dari para kader Muhammadiyah potensial yang hadir dalam acara ini. Mulai dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi Brian Yuliarto, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid, beserta seluruh jajaran Wakil Menteri yang juga berasal dari Muhammadiyah.
Mengusung tema besar, “Pengembangan Wasathiyah Islam Berkemajuan” Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menjelaskan bahwa isu soal wasathiyah telah menjadi isu utama di Indonesia sejak satu dekade terakhir. Bahkan telah menjadi isu penting dunia yang terus disuarakan oleh tokoh-tokoh berpengaruh tingkat global.
Pada tahun 2018, dipelopori Prof. Dr. Din Syamsuddin bersama seluruh kekuatan keagamaan akhirnya menghasilkan deklarasi yang teramat penting, yaitu Deklarasi Bogor. Deklarasi itu menyebutkan bahwa wasathiyah merupakan sikap keislaman yang memiliki tujuh poin penting. Di antaranya, tengahan, adil, toleran, selalu mencari titik temu melalui musyawarah, selalu mengambil tindakan yang reformatif dan konstruktif untuk kehidupan bersama, selalu menawarkan inisitif mulia untuk memimpin kepada kesejahteraan bersama, dan yang terakhir, menerima NKRI dan menghargai kewarganegaraannya.
Merujuk kepada kerangka teologis ini, wasathiyah telah menjadi konsep imperatif yang tertuang di dalam QS. Al-Baqarah ayat 143. Melalui ayat ini Muhammadiyah mengambil garis yang sangat jelas bahwa warga Persyarikatan tidak memiliki kecenderungan untuk berlebih-lebihan soal beragama. Sebagaimana hal ini sesuai dengan perilaku keseharian Nabi Muhammad yang meletakkan segala hal dalam tempat yang proporsional. Bahwa Nabi shalat malam dan tidur. Nabi pun berpuasa dan berbuka. Nabi juga menikah dan berkeluarga. “Ini secara tegas merupakan pandangan keagamaan yang tengahan,” ungkap Haedar (6/3). Dalam bahasa yang lebih mudah dimengerti, Muhammadiyah sejatinya tidak condong dalam sikap beragama yang ekstrem ke kanan maupun kiri.
Selain mengambil jalan tengahan, Muhammadiyah juga harus bisa menjadi alternatif dari dua kecenderungan ekstrem tersebut. “Jadi setiap Muslim, ruhani dan duniawinya harus kuat, agar bisa menjadi alternatif dari kedua ekstrem ini,” tegasnya.
“Dari posisi ini sebenarnya, wasathiyah sudah sangat jelas. Bukan seperti pandangan orang yang nyinyir. Bahwa di tengah itu tidak jelas, tidak ke kanan dan tidak ke kiri. Karena yang memandang tidak jelas itu berada di kanan atau terlalu kanan dan berada di kiri atau terlalu kiri,” tambah Haedar.
Menurut Muhammadiyah dalam Risalah Islam Berkemajuan tahun 2022, wasathiyah dalam beragama adalah ketika kita mampu berada di dalam titik keseimbangan. Yakni memahami realitas dan prioritas dalam beragama, bernegara, bahkan dalam relasi kemanusiaan universal. Namun ada ciri yang tak kalah penting dari sikap tengahan, yaitu memajukan dan mensejahterakan masyarakat. (diko)