Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor Universitas Al Azhar Indonesia
Hari Pendidikan Nasional yang setiap tahun dirayakan di tanggal 2 Mei merupakan bentuk penghormatan terhadap peran Ki Hadjar Dewantara dalam membangun pendidikan nasional yang mencerdaskan bangsa Indonesia dari belenggu kebodohan. Hal lain yang jarang terliput dalam dunia pendidikan adalah peran K.H. Ahmad Dahlan, melalui Organisasi Muhammadiyah, dalam mencerdaskan kehidupan bangsa terjajah dari kebodohan yang mendera.
K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang guru sejati, beliau adalah seorang pembelajar yang tekun dan gigih dalam belajar dan mengajar. Tercatat setidaknya terdapat 15 orang ulama yang pernah ia kunjungi untuk menimba ilmu, antara lain: ayahnya Kyai Abu Bakar, pamannya Kyai Muhammad Soleh, Kyai Faqih Gresik, Kyai Muchin, Kyai Abdul Hamid, Kyai Raden Dachlan, Kyai Machfud, Syekh Khayyat, Sayid Baabussijjil, hingga Kyai Soleh Darat (umo.ac.id, 2021).
Setelah menempa dirinya untuk belajar hingga ke Tanah Suci, K.H. Ahmad Dahlan aktif mengajar sebagai guru agama Islam di sekolah milik pemerintah kolonial Belanda, yaitu OSVIA. Beliau melihat pendidikan Islam juga harus melakukan proses modernisasi seperti model pendidikan Eropa. Pendidikan Eropa bukanlah sebuah hal yang buruk untuk dicontoh dan diterapkan dalam pendidikan Islam tradisional saat itu. K.H. Ahmad Dahlan mencoba memadukan antara pendidikan al-Qur’an-hadits, dengan pengajaran materi menggambar dan ilmu bumi yang berasal dari ilmu umum Eropa. K.H. Ahmad Dahlan bahkan menggunakan biola sebagai sarana dalam pembelajaran yang beliau jalankan.
Memadukan antara sistem pembelajaran Islam dengan sistem pembelajaran Eropa bukan hal yang mudah pada awalnya, banyak pihak menentang upaya tersebut. Saat itu relasi antara ilmu Islam dengan ilmu umum Eropa tidak dapat disatukan. Masih kuatnya pemahaman bahwa ilmu barat yang berasal dari Eropa dianggap kafir yang tidak cocok dengan keimanan seorang Muslim.
Pada sisi lainnya ilmu-ilmu Islam yang ketika itu diajarkan di Pondok Pesantren hanya mengajarkan pendidikan agama tanpa ilmu-ilmu umum. Tujuan penyatuan ini adalah dalam upaya membangun masyarakat pribumi terjajah yang berilmu pengetahuan luas serta memiliki keimanan yang kuat karena menguasai dua unsur ilmu, yaitu Islam dan barat. Ahmad Dahlan melihat bahwa dikotomi bahkan segregasi antara ilmu Islam dan timur ini juga merupakan strategi pemerintah kolonial Belanda dalam memecah belah, sehingga masyarakat pribumi tetap bodoh dan terbelakang (muhammadiyah.or.id, 2021).
K.H. Ahmad Dahlan melihat adanya resistensi kuat masyarakat Islam kala itu dengan hadirnya pendidikan moderen ala barat telah menghambat kaum pribumi terjajah dalam perebutan akses mendapatkan pekerjaan di sektor pemerintah dan industri. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pribumi di sektor tersebut akibat dari tidak adanya kapasitas ilmu yang mencukupi guna memahami sektor industri. Untuk itu warga pribumi harus mengatasinya dengan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin moderen (umsida.ac.id, 2020).
Melihat realitas tersebut, K.H. Ahmad Dahlan segera mendirikan sekolahnya sendiri yang memadukan konsep Barat dan Islam di teras rumahnya sendiri. Hanya ada 8 orang murid yang bersedia bergabung dengan sekolah yang ia dirikan, karena adanya tentangan dari masyarakat. Beliaupun menyiapkan peralatannya sendiri, mulai papan tulis, meja kursi, hingga kapur. Perlahan tapi pasti murid-muridnya mulai bertambah banyak, hingga mencapai 20 orang pada enam bulan berikutnya.
Organisasi Boedi Oetomo juga ikut mendukung gagasan memadukan sekolah agama Islam dan umum ini dengan mengirimkan seorang guru yang bernama Kholil, untuk mengajar pada mata pelajaran umum di sekolah milik Ahmad Dahlan ini. Mengingat bahwa jumlah muridnya kian hari kian bertambah, maka beliau mendirikan Madarasah Diniyah Islamiyah pada tanggal 1 Desember 1911 yang kelak menjadi embrio dari lahirnya perguruan Muhammadiyah (Republika.co, 2018).
Lebih dari 100 tahun berikutnya modernisasi pendidikan yang memadukan ilmu akhlak melalui pendidikan Islam, dengan ilmu barat yang moderen kini telah berdampak besar bagi pendidikan warga bangsa Indonesia. Perguruan Muhamamdiyah terbukti memiliki andil yang sangat besar dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang berakhlak sekaligus memiliki kecerdasan intelektual (Hermawanti & Nisrokha, 2020). Kerja keras K.H. Ahmad Dahlan telah menghasilkan puluhan ribu manusia terdidik dari lembaga pendidikan Muhammadiyah dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang beliau lahirkan.
Gagasan KH Ahmad Dahlan dengan memodernisasi pendidikan Islam telah berbuah manis. Berdasarkan data Majelis Dikdasmen Muhammadiyah tercatat 163 perguruan tinggi, 554 sekolah menengah kejuruan, 558 sekolah menengah atas, 1128 sekolah menengah pertama, dan 1094 taman kanak-kanak telah berhasil didirikan oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang dicetuskan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Pendidikan yang berkualitas bagi masyarakat pribumi yang mencerdaskan dan selalu diimpikan oleh Beliau kini telah terwujud. Modernisasi pendidikan Islam yang dilakukan oleh K.H. Ahmad Dahlan melalui perguruan Muhammadiyah tidaklah sekedar mengikuti dan membebek pada konsep pendidikan barat. Pendidikan yang dijalankan adalah pendidikan moderen dengan tetap menggulirkan nilai-nilai moralitas Islam kepada para para pembelajarnya.
Pendidikan Muhammadiyah tidaklah bersifat eksklusif, melainkan inklusif. Banyak siswa dan mahasiswa yang berasal dari saudara-saudara non-muslim termasuk ribuan mahasiswa asal mancanegara yang belajar di Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam konteks pendidikan nasional, K.H. Ahmad Dahlan menjadi salah satu tokoh kunci dalam pendidikan nasional Indonesia dengan bukti nyata telah berkiprah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui perguruan Muhammadiyah yang didirikannya.