Imam Malik: Pengawal Tradisi Madinah

Publish

28 June 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1517
Ilustrasi Imam Malik dan Imam Syafi'i

Ilustrasi Imam Malik dan Imam Syafi'i

Imam Malik: Pengawal Tradisi Madinah

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Seusai Imam Abu Hanifah, mari kita berbicara tentang Imam Malik. Namanya diabadikan sebagai pendiri mazhab Maliki. Imam Malik bernama lengkap Malik bin Anas, Malik putra Anas.

Dia lahir di Madinah, kota Nabi Muhammad SAW, pada tahun 93H, yakni sekitar 82 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Artinya masanya masih dalam lingkaran seratus tahun dari Nabi, tetapi masih ada jarak antara dia dan Nabi. Ini berarti dia mendapatkan banyak informasi atau riwayat dari generasi sebelumnya.

Imam Malik menikmati keuntungan tinggal di Madinah sebab kota ini Nabi SAW menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya. Di sana praktik-praktik Islam menjadi mapan. Shalat dilakukan di depan umum alias terang-terangan, puasa ditetapkan, sedekah diberikan, banyak orang berangkat untuk melakukan haji terutama bersama Nabi Muhammad SA, pada tahun terakhir hidupnya.

Orang-orang Madinah tahu betul apa itu agama dan bagaimana mempraktikkannya. Mereka tahu semua detailnya, bukan dari mulut ke mulut di mana seseorang memberi tahu orang lain, tetapi dari pengalaman hidup mereka sendiri. Dan bagi Imam Malik, ini adalah bukti kuat dari apa yang kita sebut sunnah, atau apa pun yang harus diadopsi sebagai praktik umat Islam karena begitu banyak umat Islam di sana yang melakukan praktik yang sama.

Kita tahu Imam Malik adalah seorang ulama. Dia memiliki banyak murid. Lalu bagaimana gagasannya tentang hidup di Madinah dan pentingnya praktik Madinah memengaruhi pemikirannya? Beliau ada di sana dan dia melihat apa yang kita sebut praktik hidup atau apa yang dikenal sebagai al-amr al-mujtama' 'alayh—masalah yang menjadi kesepakatan di antara umat.

Karena tinggal di lingkungan itu, dia sadar bahwa kita tidak perlu terlalu bergantung pada laporan atau riwayat individu, misalnya seseorang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bertindak demikian atau mengatakan ini dan itu. Dia memiliki dasar yang lebih kuat untuk menentukan apa itu Islam dan apa yang bukan Islam, atau lebih teknisnya apa itu sunnah, apa yang bukan sunnah.

Untuk lebih jelasnya—terutama bagi mereka yang tidak begitu paham tentang semua detail yang berbeda ini di kalangan para imam dan sebagainya—menjadi pertanyaan bagaimana sesuatu diputuskan dalam Islam? Jadi kita punya Al-Qur`an. Al-Qur`an mengatakan sesuatu secara singkat. Lalu ada Hadits sebagai narasi yang melaporkan sesuatu tentang Nabi Muhammad SAW yang akan menjelaskan lebih detail. Pada zaman Imam Malik, bahkan sebelum dan sesudahnya, dan terutama setelahnya, orang-orang bingung tentang apa sebenarnya praktik-praktik Nabi SAW.

Orang tahu apa yang Al-Qur`an katakan karena umat Islam tidak ragu tentang kalam Allah ini. Tetapi kemudian elaborasi dari itu, yang ditemukan dalam Hadits, memunculkan banyak pertanyaan. Apakah Nabi bertindak seperti ini atau seperti itu? Apakah yang Anda katakan tentang sesuatu bertentangan seperti yang dilaporkan oleh berbagai individu? Bagi Imam Malik, mudah untuk menyelesaikan suatu masalah; tengoklah praktik masyarakat Madinah karena ada banyak umat Islam di kota asalnya yang semuanya bersatu dalam melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Imam Malik bisa mengandalkan cara ini.

Sementara kita akan mendapati bahwa para ulama harus mengandalkan metode lain untuk menentukan apa sebenarnya cara atau praktik yang dialkukan Nabi Muhammad SAW, yang berfungsi untuk menguraikan dan menjelaskan lebih lanjut pesan-pesan dari Al-Qur`an.

Imam Malik melahirkan Muwatta, sebuah kitab besar. Muwatta adalah kumpulan hadits, sekitar 500 riwayat dari Nabi Muhammad SAW dan ratusan dari sumber lain. Sebagai misal, dia meriwayatkan apa yang dilakukan Umar, khalifah kedua Islam. Kekhalifahan saat itu berkedudukan di Madinah. Itu juga merupakan keuntungan bagi Imam Malik karena dia tahu bagaimana hukum kasus bekerja, hal-hal berjalan dari preseden yang ada. Sesuatu dilakukan pada suatu waktu. Putusan-putusan diberikan pada suatu waktu oleh hakim dan kemudian umat mengikuti putusan itu.

Kita akan menemukan dalam pelbagai kitab kasus-kasus yang didokumentasikan. Ketika sebuah kasus diperdebatkan di pengadilan, kita bisa membaca seorang pengacara merujuk pada kasus sebelumnya. Ada kasus sebelumnya yang mirip dengan kasus tertentu dan hakim memutuskan demikian pada kasus sebelumnya. Oleh karena itu, putusan yang sama harus berlaku di sini lewat prinsip analogi. Karenanya Imam Malik memiliki keuntungan berada di tempat didirikannya kekhalifahan sebelumnya, terutama sampai zaman khalifah Utsman bin Affan.

Imam Malik bisa melaporkan penilaian yang diberikan, banyak di antaranya terjadi pada masa khalifah Umar. Ini semua menjadi preseden yang mapan. Jadi Imam Malik memasukkan penyebutan tersebut dalam bukunya, yang disebut Muwatta. Nama muwatta sebenarnya berarti jalan yang dilalui atau ditempuh. Jika suatu tanah ditimpa hujan maka ia menjadi lembab. Orang-orang yang berjalan di atasnya pada awalnya mengambil langkah hati-hati, hingga jejak langkah kaki tinggal di sana.

Semakin banyak orang berjalan di tanah yang sama, maka tanah itu akan menjadi jalan yang jelas. Jadi Muwatta itu adalah jalan yang dilalui. Kitab ini mencerminkan apa yang telah kita gambarkan tentang Imam Malik. Ia adalah jalan yang dilalui. Beginilah cara penduduk Madinah, kota Nabi, berjalan selama beberapa generasi sebelumnya. Beliau hanya mendokumentasikannya.

Kitab ini sangat dihormati. Imam Syafi'i menyebut Muwatta sebagai kitab paling otentik setelah Al-Qur`an. Saat itu kitab hadits ini tiada bandingnya dan Imam Malik berada di dalam situasi yang juga banyak dikelilingi ulama-ulama juga.

Setelah beliau wafat, orang terus merujuk kembali ke bukunya, Muwatta. Muhammad bin Hasan Shaybani, seorang murid Imam Abu Hanifa, datang ke Madinah dan mempelajari Muwatta. Kemudian dia menulis versinya sendiri tentang Muwatta dengan beberapa catatan tambahan yang sesuai dengan pemikirannya sendiri. Karyanya tu dikenal sebagai Muwatta Muhammad al-Hasan ash-Shaybani. Tetapi tentu saja sumbernya adalah dari Imam Malik sendiri. 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Ismail dalam Al-Qur`an dan Alkitab Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Anda....

Suara Muhammadiyah

18 October 2024

Khazanah

Al Ghazali dan Inkoherensi (Bagian ke-1) Oleh: Donny Syofyan Kata-kata seperti aljabar, algoritma,....

Suara Muhammadiyah

6 November 2023

Khazanah

Pengumpulan dan Penulisan Hadits Oleh: Donny Syofyan Al-Qur’an memerintahkan kita mematuhi A....

Suara Muhammadiyah

27 November 2023

Khazanah

Pemikiran Hasan Al-Banna (Bagian ke-3) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas ....

Suara Muhammadiyah

6 March 2024

Khazanah

Apa Gunanya Hadits? (Bagian ke-2) Oleh: Donny Syofyan Hadits adalah sumber penjelasan Al-Qur&rsquo....

Suara Muhammadiyah

21 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah