Anak Saleh (20)

Publish

5 December 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
233
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Anak Saleh (20)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."

Di dalam “Anak Saleh”  (AS) 19 telah diuraikan dua hal pokok, yaitu (1) iri yang dibolehkan dan (2) beberapa tipe muslim mukmin ketika menghadapi masalah keistiqamahannya. Perlu kita sadari baik-baik bahwa kendala dalam perawatan keistiqamahan yang dihadapi oleh muslim mukmin yang satu tidak selalu sama dengan kendala yang dihadapi oleh muslim mukmin yang lain. Kendala yang kita hadapi tidak selalu sama dengan kendala yang dihadapi oleh muslim mukmin yang lain. Tambahan lagi, sikap terhadap kendala yang sama pun dapat berbeda.

Oleh karena itu, langkah strategis yang kita terapkan tidak selalu sama. Langkah strategis yang cocok bagi kita belum cocok juga bagi muslim mukmin yang lain. 

Ada empat tipe muslim mukmin yang bermasalah dengan keistiqamahannya yang telah dikemukakan di dalam AS (19). Di samping keempat tipe itu, kiranya masih ada lagi, yakni muslim mukmin yang mudah tersinggung. 

Di dalam kenyataan ada muslim mukmin yang tidak istiqamah misalnya dalam akidah dan beribadah, tetapi sangat tersinggung ketika diberi tahu tentang kekurangan dalam keistiqamahannya. Jika bertanya di dalam majelis taklim dan diberi penjelasan, dia merasa dipermalukan. Lalu, dia tidak lagi hadir di majelis taklim.

Sangat mungkin ada pasutri yang sedang membekali diri dapat menyadari bahwa dirinya mudah tersinggung. Jika termasuk suami atau istri yang mudah tersinggung, sebaiknya tidak bertanya di dalam majelis taklim. Bersilaturahim atau berkomunikasi secara pribadi dengan muslim mukmin berilmu dan menguasai metode dakwah merupakan solusi yang sangat baik.  

AS (20) ini berisi uraian tentang akhlak tawaduk (dari bahasa Arab تَوَاضَعٌ) yang artinya rendah hati. Akhlak tawaduk sangat penting diketahui oleh pasutri yang sedang membekali diri. Boleh jadi, gegara tidak berakhlak tawaduk, hubungan mereka, baik antara suami dengan istri, antara mereka dengan keluarga besar, maupun antara mereka dengan masyarakat lingkungannya tidak harmonis.

Perintah Tawaduk

Tawaduk merupakan wujud kesadaran pada setiap muslim mukmin bahwa semua kenikmatan berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ketika tertimpa kemudaratan, mereka mohon pertolongan hanya kepada-Nya sebagaimana dijelaskan di Al-Qur’an surat an-Nahl (16): 53

وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ ۝٥٣

“Segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah. Kemudian, apabila kamu ditimpa kemudaratan, kepada-Nyalah kamu memohon pertolongan.”

Akhlak tawaduk seseorang dapat diketahui melalui bahasa yang digunakan (bahasa verbal) dan perilakunya (bahasa nonverbal, bahasa tubuh). Di dalam kajian pragmatik terdapat topik percakapan, yang salah satu subtopiknya adalah prinsip kesantunan. Realisasi prinsip itu berupa bidal (pengindonesiaan dari maxim)  yang berisi nasihat bagi para peserta percakapan. Satu di antara bidal itu adalah bidal kerendahhatian (modesty maxim). 

Bidal itu berisi nasihat agar penutur memberikan nilai yang rendah pada kualitas dirinya. Bidal ini dimaksudkan sebagai upaya kerendahhatian penutur agar terhindar dari kesombongan. Bidal itu dikemukakan oleh Geoffrey Leech di dalam Principles of Pragmatics (1983:132) dan The Pragmatics of Politeness (2014:94).

Tidak berlebih-lebihan kiranya jika dikatakan bahwa bidal itu sesuai dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akhlak tawaduk. Tentu saja ajaran beliau sebagai uswah hasanah jauh lebih sempurna. 

Di dalam contoh berikut ini terdapat kata-kata yang diucapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku …. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah Abdullah wa Rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).” Kata-kata tersebut terdapat di dalam HR al-Bukhari. 

لاَ تُطْرُوْنِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ، فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ، فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ.

“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani telah berlebih-lebihan memuji ‘Isa putera Maryam. Aku hanyalah hamba-Nya, maka katakanlah, ‘‘Abdullah wa Rasuluhu (hamba Allah dan Rasul-Nya).” 

Dari kata-kata beliau tersebut kita dapat memahami dengan mudah betapa beliau berakhlak rendah hati. Beliau orang paling mulia, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, maksum, dijamin masuk surga paling atas, tetapi sangat tawaduk.

Hadis tersebut dijadikan rujukan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di dalam buku Tanya Jawab Agama Jilid 6 (2010:147) dalam konteks menjelaskan hal salawat dan kitab berzanji. Dijelaskannya bahwa di dalam kitab berzanji terdapat pujian yang berlebih-lebihan misalnya “nur” Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dinyatakan telah berwujud sebelum ada wujud-wujud yang lain dan adanya segala makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala karena adanya nur” Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu. Pujian yang demikian dinilainya berlebih-lebihan sebab tanpa rujukan ayat Al-Qur'an dan al-Hadis.

Kerendahhatian dapat diwujudkan juga melalui bahasa nonverbal misalnya cara berjalan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Al-Qur’an surat Luqman (31):18 berikut ini.

       “وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ"

“Dan janganlah engkau memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Dari ayat tersebut kita ketahui bahwa kita dilarang memalingkan muka (karena sombong) dan dilarang berjalan dengan angkuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa memalingkan muka ketika diajak bicara atau bertemu dan berjalan dengan angkuh merupakan tanda kesombongan. Karena dilarang berperilaku sombong, berarti kita diperintah agar tawaduk. 

Lazimnya bahasa verbal dan bahasa nonverbal menyatu sebagai akhlak. Ketika anak muda berbicara kepada orang tua misalnya, “Saya masih harus banyak belajar pada Bapak. Pengalaman saya belum banyak” tentu disertai dengan sikap hormat. Tidak mungkin dia berbicara demikian sambil berkecak pinggang sebab posisi tangan yang demikian merupakan bahasa tubuh yang bermakna merendahkan orang lain. 

Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimana terdapat di dalam HR Muslim,

       لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
      
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji zarrah dari kesombongan.”

Dari hadis itu kita ketahui bahwa orang yang sombong tidak akan masuk surga. Hal itu berarti bahwa agar masuk surga, muslim mukmin harus tawaduk.

Untuk mengetahui tanda orang yang tawaduk, kita dapat memperhatikan ciri orang sombong sebagaimana dijelaskan di dalam HR Muslim berikut ini.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً. قَالَ : إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

“Dari Abdullah bin Mas’ud, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Tidak akan masuk surga orang yang ada kesombongan seberat biji sawi di dalam hatinya. Seorang laki-laki bertanya, Sesungguhnya, semua orang senang bajunya bagus, sandalnya bagus, (apakah itu kesombongan?) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, Sesungguhnya, Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”  

Berdasarkan hadis tersebut kita ketahui bahwa kesombongan ditandai dengan sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain. Dengan demikian, muslim mukmin yang tawaduk ditandai dengan sikap menerima kebenaran dan menghormati orang lain. Tentu saja rujukan kebenaran dan cara menghormati orang lain bagi muslim mukmin adalah Al-Qur’an dan al-Hadis.

Keteladanan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai teladan umat Islam adalah orang yang sangat tawaduk. Kerendahhatiannya diwujudkan dengan ucapan dan perilaku, antara lain, sebagai berikut.

     Berucap Salam kepada Orang yang Tidak Dikenal

Tidak hanya kepada orang yang sudah dikenalnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berucap salam, tetapi juga kepada orang yang tidak dikenalnya. Hal itu dapat kita ketahui dari HR al-Bukhari berikut ini.
 
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ: “تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ“.

"Abdullah bin ‘Amr radiyallahu ‘anhuma menuturkan, Seseorang pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Praktik berislam seperti apakah yang terbaik? Beliau menjawab, Berilah makan (orang lain) dan ucapkanlah salam kepada yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” 

    Berucap Salam kepada Anak Kecil

Betapa tawaduknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepada anak kecil pun, beliau berucap salam lebih dulu. Di dalam HR al-Bukhari berikut ini hal itu dapat kita ketahui.

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: “أَنَّهُ مَرَّ عَلَى صِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ“ وَقَالَ: “كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ“.

“Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu pernah melewati sekumpulan anak kecil, lalu beliau memberi salam kepada mereka. Beliau berkata, Demikianlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukannya.” 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berucap salam kepada anak kecil dijelaskan juga dalam HR Muslim berikut ini.

صحيح مسلم ٤٠٣٢: و حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْوَلِيدِ قَالَا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ سَيَّارٍ قَالَ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَحَدَّثَ ثَابِتٌ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَعَ أَنَسٍ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ وَحَدَّثَ أَنَسٌ أَنَّهُ كَانَ يَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَرَّ بِصِبْيَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ

“Dan telah menceritakan kepadaku 'Amru bin 'Ali dan Muhammad bin Al Walid keduanya berkata, Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Sayyar. Ia berkata, Aku pernah berjalan bersama Tsabit Al Banani. Kemudian, kami melewati anak-anak kecil. Dia (Tsabit) memberi salam kepada mereka. Setelah itu, (Tsabit) bercerita bahwa dia pernah berjalan bersama Anas, kemudian melewati anak-anak kecil dan dia mengucapkan salam kepada mereka. Demikian juga Anas bercerita bahwa dia pernah berjalan bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian melewati anak-anak kecil. Lalu, beliau mengucapkan salam kepada mereka.”

     Mengerjakan Pekerjaan Rumah

Keteladanan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam memang luar biasa. Keteladanan beliau tidak hanya menjadi rujukan muslim mukmin. Banyak orang non-Islam pun akhirnya bersyahadat setelah mempelajari akhlaknya. Di dalam HR Ibnu Hibban berikut ini dijelaskan,

عن عروة قال قُلْتُ لِعَائِشَةَ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ أي شَيْءٌ كَانَ يَصْنَعُ رَسُوْلُ اللهِ  صلى الله عليه وسلم  إِذَا كَانَ عِنْدَكِ قَالَتْ مَا يَفْعَلُ أَحَدُكُمْ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ يَخْصِفُ نَعْلَهُ وَيُخِيْطُ ثَوْبَهُ وَيَرْفَعُ دَلْوَهُ

“Urwah berkata kepada Aisyah, Wahai Ummul Mukminin, apakah yang dikerjakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika beliau bersamamu (di rumahmu)? Aisyah berkata, Beliau melakukan (seperti) apa yang dilakukan oleh salah seorang dari kalian jika sedang membantu istrinya. Beliau memperbaiki sendalnya, menjahit bajunya, dan mengangkat air di ember.” 

    Tidak Suka Disambut Berlebih-lebihan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika tiba di suatu majelis tidak menyuruh agar disambut dengan berdiri. 

ما كان شخص أحب إليهم رؤية من النبي صلى الله عليه وسلم
وكانوا إذا رأوه لم يقوموا إليه لما يعلمون من كراهيته لذلك

“Tidak ada seorang pun yang lebih mereka (para shahabat) cintai saat melihatnya selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, jika melihat beliau, mereka tidak pernah berdiri karena mereka mengetahui kebencian beliau atas hal itu.” (HR al-Bukhari, At-Tirmizi, Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, dan Abu Ya’laa)

    Tidak Berkenan Dipuji Berlebih-lebihan

Dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas menyalin uraian yang diberinya judul “Anjuran Bershalawat dan Larangan Ghuluw dan Berlebih-Lebihan dalam Memuji Nabi.” Di dalam uraian itu dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkenan dipuji berlebih-lebihan. Hal itu dapat kita ketahui dari HR Ahmad berikut ini.

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَهْوِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ، أَنَا مُحَمَّدٌ، عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ، مَا أُحِبُّ أَنْ تَرْفَعُوْنِيْ فَوْقَ مَنْزِلَتِي الَّتِيْ أَنْزَلَنِيَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ.

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh setan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)-ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan kepadaku.”

Dari hadis-hadis tersebut kita ketahui dengan jelas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat tawaduk. Namun, mengapa ada di antara muslim mukmin bukan nabi, bukan sahabat, tidak dijamin kemaksumannya, bukan kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak dijamin surganya, tetapi menolak kebenaran dan merendahkan orang lain? 
 
Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Buya Hamka dan Pancasila Oleh: Fokky Fuad Wasitaatmadja, Associate Professor, Universitas Al Azhar ....

Suara Muhammadiyah

2 June 2024

Wawasan

Sebuah Alasan untuk Tetap Semangat Berkarya Oleh: Heriyanti, Kepala SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta, ....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Perdebatan Etika dalam Islam Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andal....

Suara Muhammadiyah

2 August 2024

Wawasan

Jihad Ekonomi Muhamadiyah Kalbar Oleh: Amalia Irfani Selalu banyak kebaikan yang akan di dapat saa....

Suara Muhammadiyah

1 October 2023

Wawasan

Oleh: Afghan Azka Falah, Mahasiswa Magister Bioetika UGM Bioetika adalah disiplin ilmu yang mengkaj....

Suara Muhammadiyah

2 December 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah