Anak Saleh (21)
Oleh: Mohammad Fakhrudin
"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."
Telah diuraikan di dalam “Anak Saleh” (AS) 20 akhlak tawaduk, tetapi baru bagian kecil. Masih banyak hal yang perlu dipahami oleh pasutri yang sedang membekali diri. Oleh karena iitu, di dalam AS (21) ini disajikan uraian lanjutan yang berkaitan dengan akhlak tawaduk yang diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Menggadaikan Baju Besi
Di dalam HR al-Bukhari dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjadikan baju besinya sebagai jaminan ketika beliau membeli gandum. Tentu hal itu dimaksudkan untuk memberikan contoh kerendahhatian akhlaknya dan menjadi dasar hukum gadai.
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مِنْ يَهُودِىٍّ طَعَامًا وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan (gandum) dari orang Yahudi secara tidak tunai dan beliau serahkan kepada orang Yahudi tersebut baju besinya sebagai jaminan.”
Berutang pada Pendeta Yahudi
Di samping pernah menggadaikan baju besinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang pada Zaid bin Sa'nah, pendeta Yahudi. Tindakannya yang demikian tentu dimaksudkan sebagai teladan kerendahhatiannya dan sekaligus sebagai dasar hukum utang-piutang. Bahkan, dalam peristiwa ini ada pelajaran yang luar biasa berharganya bagi muslim mukmin, yakni berdakwah.
Berikut ini disajikan sebagian percakapan Pendeta Yahudi tersebut dengan sahabat ‘Umar sebagaimana terdapat di dalam HR Ibnu Hibban.
“Hai 'Umar, seluruh tanda kenabian sudah aku lihat di wajahnya, kecuali dua tanda. Aku ingin membuktikan langsung kedua tanda itu. Kedua tanda itu adalah
يسبق حلمه جهله ولا يزيده شدة الجهل عليه إلا حلما
“Pertama, sifat santunnya mengalahkan emosinya. Kedua, makin ia direndahkan dan emosinya dipancing, ia malah makin santun.”
Dan kedua tanda itu sudah aku buktikan sendiri tadi. Oleh karena itu, saksikanlah, hai ‘Umar, aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Dan aku infakkan setengah hartaku untuk kaum muslimin.”
Dari peristiwa tersebut dapat kita petik hikmah yang sangat penting, terutama bagi pendakwah. Kerendahhatian Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam menjadi salah satu penentu keberhasilannya mengislamkan Zaid bin Sa’nah. Zaid bin Sa’nah yang semula berbicara dengan angkuh, akhirnya bersyahadat.
Oleh karena itu, sangat kontradiktif jika ada pendakwah yang sombong, baik melalui ucapan maupun perbuatannya. Sebagaimana telah dikutip di dalam AS (20) bahwa kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. Perlu ditegaskan lagi bahwa rujukan suatu ucapan dan/atau perbuatan yang dinilai merupakan kesombongan atau tidak adalah Al-Qur’an dan al-Hadis.
Jika di dalam Al-Qur’an dan al-Hadis diterangkan bahwa kita diperintah agar berbicara benar dan baik (antara lain di dalam surat al-Ahzab [33]: 70; al-Baqarah [2]: 83, dan HR al-Bukhari, nomor 6018; HR Muslim, nomor 47), semestinya kita mengamalkannya karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebenaran. Tidak mengamalkannya berarti menolak kebenaran!
Sementara itu, di dalam surat al-Hujurat (49): 11 Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang muslim mukmin mengolok-olok, maka semestinya kita meninggalkannya. Mengolok-olok orang lain berarti merendahkan orang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan kita. Beliau rendah hati, maka semestinya muslim mukmin rendah hati juga.
Untuk mawas diri kita masing-masing, di dalam AS (21) ini disajikan juga uraian tentang kesombongan iblis, keteladanan Pak A.R. Fakhrudin (selanjutnya disebut Pak A.R.), dan belajar pada sejarah .
Kesombongan Iblis
Sombong adalah watak iblis. Dia diperintah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala agar hormat pada Adam, tetapi menolak. Alasannya adalah merasa dirinya lebih baik daripada Adam karena dia dibuat dari api, sedangkan Adam dibuat dari tanah. Hal itu dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain, surat al-A’raf (7): 12
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسۡجُدَ إِذۡ أَمَرۡتُكَۖ قَالَ أَنَا۠ خَيۡرٞ مِّنۡهُ خَلَقۡتَنِي مِن نَّارٖ وَخَلَقۡتَهُۥ مِن طِينٖ
"Allah berfirman, ‘Apakah yang mengalangimu untuk bersujud (kepada Adam) pada waktu Aku menyuruhmu?’ Iblis menjawab, ‘Saya lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan saya dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”
Dari ayat tersebut kita ketahui bahwa iblis telah menolak kebenaran dan merendahkan Adam. Jadi, jika ada di antara muslim mukmin yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain, salahkah jika disimpulkan bahwa muslim mukmin itu berwatak iblis?
Keteladanan Pak A.R. Fakhrudin
Sangat banyak keteladanan Pak A.R. dalam hal akhlak tawaduk sesuai dengan akhlak yang diamalkan oleh akhlak Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kita dapat mengetahuinya melalui berbagai sumber. Berikut ini disajikan beberapa contoh.
Pernah beliau disuruh mengangkat koper oleh kemenakannya yang baru pulang dari ibadah haji. Karena mereka jarang bertemu, kemenakannya tidak mengenalnya dengan baik. Dia mengira bahwa Pak A.R. adalah Pak Djumali, orang yang sudah dikenalnya. Oleh karena itu, dia menyuruh Pak A.R. mengangkat koper-kopernya agar dibawa ke mobil. Pak A.R. pun mengangkat koper-koper itu sesuai dengan yang dikehendaki kemenakannya.
Beberapa saat kemudian, kemenakannya itu diberi tahu oleh ibunya bahwa orang yang disuruh mengangkat koper-kopernya kemungkinan bukan Pak Djumali, melainkan Pak A.R., pamannya yang tinggal di Semarang. Berkenaan dengan itu, kemenakannya melakukan konfirmasi pada Pak Djumali. Ternyata benar bahwa orang yang mengangkat koper-kopernya adalah Pak A.R.
Setelah mengetahuinya, kemenakannya itu datang ke Semarang untuk memohon maaf kepada Pak A.R. Apa jawaban beliau? “Tidak apa-apa. Kan niat saya “mangayubagyo” orang pulang haji. Bisa ikut ngangkut koper, alhamdulillah!” (Sumber: Anekdot dan Kenangan Lepas tentang Pak A.R. oleh M. Sukriyanto A.R.)
Masih banyak lagi keteladanannya dalam hal akhlak tawaduk.
Ketika menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah, Pak A.R. selalu hidup sederhana. Beliau sempat ditawari mobil untuk operasional dakwahnya, tetapi menolak. Di samping itu, beliau pernah berjualan bensin eceran sebagai ikhtiar mencukupi kebutuhan keluarganya.
Beliau ditawari jabatan menteri agama, tetapi menolaknya. Alasannya adalah bahwa jabatan menteri agama itu tanggung jawabnya berat di akhirat dan beliau tidak sanggup mengemban amanah itu.
Sungguh alasan yang "berkelas." Ada orang lain yang menolak jabatan menteri agama atau wakil menteri (agama?), tetapi dia beralasan jika menerima jabatan itu tidak dapat lagi bergerak leluasa ke mana-mana.
Pak A.R. pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) 14 Agustus 1988 hingga 1993. Kebersediaannya itu bukan atas keputusan sendiri, melainkan atas “konsultasi” dengan pimpinan yang lain. Sebagai anggota DPA, beliau memperoleh fasilitas mobil. Sesuai dengan peraturan yang berlaku pada waktu itu, mobil itu sah menjadi haknya, tetapi beliau memberikannya kepada Muhammadiyah. Hal yang sangat menarik adalah alasannya. Beliau mengatakan bahwa dirinya menjadi anggota DPA dan memperoleh mobil itu bukan karena sebagai pribadi, melainkan sebagai pimpinan Muhammadiyah.
Masyaallah! Betapa istikamahnya beliau dengan akhlak tawaduk.
Belajar pada Sejarah
Di dalam surat al-Kahfi (18): 7, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اِنَّا جَعَلْنَا مَا عَلَى الْاَ رْضِ زِيْنَةً لَّهَا لِنَبْلُوَهُمْ اَ يُّهُمْ اَحْسَنُ عَمَلًا
"Sesungguhnya, Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami menguji mereka, siapakah di antaranya yang terbaik perbuatannya."
Ayat tersebut difafsirkan secara sangat menarik oleh Prof. Dr. Hamka dalam kitabnya Tafsir Al Azhar. Dijelaskannya bahwa manusia ditakdirkan hidup di bumi. Mereka berlomba-lomba mengambil, menggali, atau mencari yang tersembunyi dari perhiasan-perhiasan di muka bumi untuk kepentingan hidupnya. Mereka berlomba-lomba mencari harta kekayaan, pangkat dan kedudukan, rumah yang mewah, kebun yang subur, kendaraan yang megah, emas dan perak. Semua itu adalah perhiasan di bumi dan tinggal di bumi. Manusia berlomba menghasilkannya, tetapi mereka diuji, siapa yang berlaku curang.
Ayat ke-7 dilanjutkan dengan ayat ke-8, yakni
وَاِ نَّا لَجٰعِلُوْنَ مَا عَلَيْهَا صَعِيْدًا جُرُزًا
"Dan Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah yang tandus lagi kering."
Ayat tersebut ditafsirkan oleh Hamka bahwa tidaklah ada yang kekal di atas permukaan bumi. Mulanya bumi tampak berhias dengan berbagai warna, tetapi akhirnya hilang. Bumi akan rata dan tanahnya akan tandus. Suatu bangsa bermegah naik, tetapi kemudian jatuh.
Satu pemerintahan mulanya kuat berkuasa, akhirnya roboh. Lalu, digantikan oleh yang lain. Manusia sehabis bersusah payah berlomba-lomba, hilang dari permukaan bumi dan tidak kembali lagi. Yang tinggal hanyalah sebutan atau kenang-kenangan kalau ada yang akan dikenang orang. Kalau tidak ada yang akan dikenang dari mereka, yang tinggal adalah tumpukan dan kuburan lama yang tidak ada lagi perbedaan di antara ulang-tulang yang tertimbun di dalamnya, entahlah dia menang ketika berlomba hidup, atau kalah!
Kiranya tafsir tersebut dapat kita pahami dengan mudah karena kita dapat menemukan peristiwa yang dijadikan bukti tafsirnya dalam kehidupan nyata. Kita dapat mempelajari sejarah bangsa-bangsa di dunia sejak zaman dulu hingga sekarang! Perubahan atau pergantian pasti terjadi, baik secara mendadak, tanpa diketahui sebelumnya maupun secara pelan, tetapi pasti.
Kita perhatikan baik-baik! Raja yang sangat berkuasa dan zalim seperti Fir’aun pun akhirnya mati. Dia dikenang sampai sekarang, tetapi dikenang karena kesombongan dan kezalimannya. Qarun orang yang sangat kaya mati juga. Namanya dikenang, tetapi karena katamakkannya! Kejadian yang menimpa pada Fir’aun dan Qarun dapat saja terjadi pada masa sekarang dan pada masa yang akan datang.
Pelajaran yang harus kita petik adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala dapat mencabut kekuasaan sewaktu-waktu sebagaimana firman-Nya di dalam surat Ali ‘Imran (3): 26
قُلِ اللّٰهُمَّ مٰلِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِى الْمُلْكَ مَنْ تَشَآءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَآءُ ۖ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَآءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَآءُ ۗ بِيَدِكَ الْخَيْرُ ۗ اِنَّكَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
"Katakanlah (Muhammad), Wahai Tuhan Pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
Memberikan kekuasaan kepada siapa pun dan mencabut kekuasaan dari siapa pun merupakan hak prerogatif. Ada yang diberi kekuasaan dengan rida-Nya. Ada pula yang diberi kekuasaan sebagai istidraj, yakni pemberian yang luar biasa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada orang kafir yang dimaksudkan sebagai ujian sehingga mereka takabur dan lupa diri kepada-Nya. Hal ini terjadi misalnya pada Fir’aun dan Qarun.
Sementara itu, cara Allah Subhanahu wa Ta’ala mencabut kekuasaan dari siapa pun sesuai dengan hak prerogatif itu. Ada yang dicabut melalui proses sesuai dengan jalan pikiranl manusia, tetapi ada pula yang dirahasiakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tiba-tiba dalam sekejap kakuasaan itu lenyap! Ada yang dicabut atas rida-Nya, tetapi ada pula yang dicabut atas murka-Nya.
Oleh karena itu, siapa pun di antara kita, saudara kita, teman kita, tetangga kita, guru kita, atau pemimpin kita, yang sedang, telah, atau akan diberi kekuasaan, wajib memahaminya dengan baik. Muslim mukmin tidak sepantasnya berperilaku seperti Fir’aun dan Qarun.
Allahu a’lam