Anak Saleh (23)

Publish

26 December 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
188
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Anak Saleh (23)

Oleh: Mohammad Fakhrudin

"Anak saleh bukan barang instan. Dia diperoleh melalui proses yang sangat panjang dan penuh tantangan."

Kajian "Anak Saleh" (AS) 23 ini masih berkaitan dengan akhlak tawaduk. Materi kajian ini kiranya sangat penting tidak hanya bagi pasutri yang sedang membekali diri.

Contoh Praktik-Baik

Sangat banyak contoh muslim mukmin berpendidikan tinggi, berstatus sosial tinggi, berharta melimpah yang tawaduk. Di dalam “Menanggapi Kritik Tanpa Dendam” (Suara Muhammadiyah, 13 Januari 2022) dikemukakan contoh orang-orang tawaduk. Di antara mereka, ada dua contoh yang perlu  kita perhatikan kembali, yaitu seorang guru besar salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta yang berkelas internasional berterima kasih kepada mahasiswa pascasarjana yang memberikan kritik (masukan) atas draf buku yang sedang ditulisnya. Bahkan, profesor itu memberinya nilai A. 

Contoh praktik-baik berikut ini pun sangat menarik. Ada pejabat publik yang berlatar belakang akademisi. Di antara mereka, ada yang bergelar akademik Ph.D. Bahkan, di kampus dia berjabatan akademik profesor. Namun, dia istikamah  dalam menghadapi kritik, olok-olok, celaan, dan fitnah dengan kelapangan hati dan pikirannya.
 
Dia selalu berusaha merujuk kepada akhlak Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mengatakan, “Beliau adalah Nabi. Orang yang sempurna, tetapi dikritik, diolok-diolok, bahkan disebut orang gila. Apalagi saya! Orang biasa! Tidak sempurna!” 

Fenomena yang Berbeda

Di dalam kehidupan nyata tentu ada fenomena yang sebaliknya. Baru menjadi kepala sekolah saja, ada yang tidak mau bermain tenis dengan guru-guru. 

Ketika ada guru yang bertanya, “Bapak tidak bermain?” Dia menjawab, “Nanti tidak ada bedanya.” 

Mungkin sikap kepala sekolah yang seperti itu dimiliki juga oleh pimpinan di instansi lain atau pimpinan organisasi tertentu, apalagi yang tingkatannya lebih tinggi. Sikap yang demikian dapat disebabkan oleh anggapan bahwa jika orang yang berstatus sosial tinggi bergaul dengan orang yang berstatus sosial rendah menyebabkan kewibawaan atau harga dirinya turun. Sikap tersebut jelas bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 13

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Sikap kepala sekolah tersebut bertentangan pula dengan salah satu pesan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khotbah wada, yakni bahwa semua manusia, tanpa memandang ras, suku, atau status sosial, adalah saudara seiman yang setara di hadapan Allah. Tidak ada kelebihan atau keunggulan seseorang, kecuali dalam kebaikan dan ketakwaan. 

Tawaduk di dalam Shalat Berjamaah

Di dalam shalat berjamaah terdapat pendidikan akhlak tawaduk. Hal itu dapat kita ketahui misalnya melalui syarat-syarat imam dan konsekuensinya bagi makmum.

Imam shalat ditunjuk. Penunjukan terhadap seseorang menjadi imam shalat merujuk kepada ketentuan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat di dalam HR Muslim berikut ini.

 يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَائَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَ فِي رِوَايَةٍ: سِنًّا، وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ وَلاَ يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ.]

“Yang mengimami suatu kaum, hendaklah yang paling baik bacaan kitab Allah (Al-Qur’an)-nya. Jika di antara mereka itu sama, hendaklah yang paling tahu tentang sunnah, dan apabila di antara mereka sama pengetahuannya dalam sunnah, hendaklah yang paling dahulu berhijrah, dan apabila di antara mereka sama dalam berhijrah, hendaklah yang paling dahulu memeluk Islam. Dalam riwayat lain disebutkan “Yang paling tua usianya. Janganlah seorang maju menjadi imam shalat di tempat kekuasaan orang lain, dan janganlah duduk di rumah orang lain di kursi khusus milik orang tersebut, kecuali diizinkan olehnya”. 

Dari hadis tersebut dapat kita ketahui bahwa orang yang boleh menjadi imam shalat adalah (1) individu yang paling baik bacaan dan pengetahuannya tentang Al-Qur’an; (2) kalau bacaan dan pengetahuannya tentang Al-Qur’an sama, maka ditentukan yang paling banyak pengetahuannya terhadap as-Sunnah; (3) kalau pengetahuan terhadap as-Sunnah sama, ditunjuklah yang lebih dahulu hijrah, barangkali untuk sekarang yang lebih banyak atau dahulu perjuangannya; (4) kalau dalam hijrahnya sama, maka dipilihlah imam yang usianya lebih tua.

Jelas sekali syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang boleh ditunjuk menjadi imam shalat. Berkenaan dengan syarat-syarat tersebut, orang buta atau anak yang mumayyiz pun boleh menjadi imam.

Berdasarkan hadis itu pula dapat kita ketahui bahwa orang yang berpangkat dan berjabatan setinggi apa pun tidak boleh ditunjuk menjadi imam jika tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Presiden sekalipun jika tidak memenuhi syarat itu semestinya tidak ditunjuk menjadi imam shalat. Di pihak lain, jika dipaksa juga oleh jamaah, semestinya dia “tahu diri”. Bukan demi pencitraan sebagai pejabat publik, jamaah shalat memaksanya dan dia pun mau menjadi imam shalat.  

Kiranya penerapan syarat-syarat menjadi imam shalat perlu juga dijadikan “rujukan” di dalam penerapan peraturan perundang-undangan pada pemilihan atau penunjukan pejabat publik termasuk dalam kehidupan bernegara. Jika untuk menjadi pejabat publik telah ditetapkan syarat-syarat normatifnya, semestinya syarat-syarat itu diterapkan secara konsisten. Hanya orang yang memenuhi syarat yang diusulkan, bukan ketentuannya yang diubah. Di pihak lain, orang yang tidak memenuhi syarat itu harus “tahu diri’.

Ketawadukan Makmum

Muslim mukmin yang rajin mengerjakan shalat berjamaah di masjid atau di musala tentu terkondisikan benar-benar sadar bahwa orang yang paling mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah orang yang paling bertakwa. Berpendidikan setinggi apa pun, berpangkat dan berjabatan setinggi apa pun, berharta sebanyak berapa pun, jika menjadi makmum dalam jumlah lebih dari seorang, jamaah laki-laki harus berada di belakang imam. Jika berada pada saf kedua, mereka berada di belakang makmum yang berada pada saf pertama.

Konsekuensi ketentuan baku saf tersebut adalah ketika rukuk, mereka yang berada pada saf pertama lurus di belakang imam, posisi kepalanya di dekat pantat imam. Posisi kepala makmum pada saf kedua berada di dekat pantat makmum pada saf pertama. Demikian seterusnya makmum yang berada pada saf yang ketiga, keempat, dan selanjutnya.

Ketika sujud, posisi kepala makmum yang berada pada saf  pertama dan lurus di belakang imam, di dekat telapak kaki imam. Makmum yang berada pada saf kedua kepalanya berada di dekat, malahan hampir menyentuh telapak kaki makmum yang berada pada posisi saf pertama. Hal ini jelas-jelas mengondisikan muslim mukmin yang mengerjakan shalat berjamaah menyadari bahwa muslim mukmin wajib berakhlak tawaduk. Dengan kesadaran yang demikian, shalat berjamaah berlangsung khusyuk. Implementasi nilai akhlak tawaduk dari shalat berjamaah dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, di kantor, maupun di tempat lain adalah setiap muslim mukmin wajib berakhlak tawaduk; tidak boleh sombong! 

Masyaallah! Begitu bagusnya nilai pendidikan akhlak tawaduk yang terdapat di dalam shalat berjamaah. Lalu, siapa atau apa yang dijadikaan rujukan jika ada muslim mukmin yang sudah rutin mengerjakan shalat berjamaah di masjid atau musala, tetapi sombong?


Allahu a’lam


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Ibrah dari Perang Badar (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Ma....

Suara Muhammadiyah

4 September 2024

Wawasan

Oleh Muhammad Abadi Kader Muda Muhammadiyah Asal Kota Banyuwangi, Menetap di Kauman, Bojonegoro, Ja....

Suara Muhammadiyah

14 September 2024

Wawasan

Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif Ketua PD Muhammadiyah Jakarta Timur Dakwah kultural menjadi top....

Suara Muhammadiyah

19 March 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan. Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mari kita lanjutkan perjalanan ....

Suara Muhammadiyah

6 November 2024

Wawasan

Fajar Pencerahan dari Kampung Kauman Oleh: Rumini Zulfikar,Penasehat PRM Troketon, Klaten "Di kala....

Suara Muhammadiyah

15 June 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah