Oleh: Mohammad Fakhrudin
Sudah diuraikan di dalam “Anak Saleh” (AS) 7 bahwa keteladanan berpengaruh sangat dahsyat. Oleh karena itu, tidak hanya pasutri yang wajib menjadi teladan bagi anak, tetapi juga keluarga besar pasutri, guru di sekolah, dan orang-orang dewasa lainnya yang bergaul dengannya.
Untuk menjadi teladan diperlukan bekal yang sangat komprehensif. Dalam hubungan ini, pada AS (7) telah dikutip ayat yang berisi perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada tiap muslim mukmin agar berislam secara kaffah sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah (2): 208
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا ادْخُلُوْا فِى السِّلْمِ کَآ فَّةً ۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ ۗ اِنَّهٗ لَـکُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ
"Wahai, orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu."
Di dalam AS (8) ini disajikan uraian yang masih berkaitan dengan bekal menjadi teladan ketika anak belum lahir.
Bekal dalam Akidah
Butir (1) pada pembinaan aspek spiritual pasutri dalam rangka membina keluarga sakinah sebagaimana telah dikutip di dalam AS (7) adalah “Menginternalisasi doktrin tauhid serta nilai-nilai ketuhanan untuk dipahami, dihayati, dan diterapkan dalam perilaku.” Tiap muslim mukmin, khususnya warga Muhammadiyah, wajib memahami mengapa Muhammadiyah menempatkan pemahaman, penghayatan, dan penerapan doktrin tauhid dan nilai-nilai ketuhanan pada urutan pertama. Pasti hal itu bukan merupakan kebetulan.
Kiranya sudah menjadi pemahaman umum bahwa muslim mukmin yang benar akidahnya dapat diharapkan benar ibadahnya, mulia akhlaknya, dan baik muamalah duniawinya.
Untuk keutuhan bekal dalam akidah yang perlu dimiliki, terutama oleh pasutri, berikut ini disajikan kutipan dari Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah dalam akidah butir (1).
“Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani, berupa tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukan sehingga terpancar sebagai ibad ar-Rahman yang menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang paripurna.”
Dari butir (1) itu dapat kita ketahui bahwa tiap warga Muhammadiyah wajib mempunyai prinsip hidup dan kesadaran imani. Jika kita pahami secara utuh, sesungguhnya setiap muslim mukmin harus demikian.
Antara Perintah dan Pelaksanaan
Butir (1) itu merujuk kepada firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an pada surat dan ayat, antara lain, surat al-Ikhlas (112): 1-4
Di dalam kajian ini ayat ke-2 yang secara khusus dihubungkan dengan pelaksanaan ziarah kubur yang dilakukan oleh sebagian muslim mukmin.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
اَللّٰهُ الصَّمَدُ
"Allah tempat meminta segala sesuatu."
Dengan merujuk kepada ayat ke-2 surat al-Ikhlas semestinya muslim mukmin hanya mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun, sebagian dari mereka cukup banyak yang mohon kepada nenek moyang yang sering disebut leluhur ketika berziarah kubur. Lebih-lebih lagi, kepada orang yang dianggap sebagai orang saleh, mereka mau dan senang minta “keberkahan” meskipun di tempat yang sangat jauh dan dengan biaya yang mahal. Mereka sekadar mengikuti warisan tradisi orang tua atau sekadar mengikuti cerita dari mulut ke mulut. Mereka sudah sangat hafal juga ayat 5 surat al-Fatihah,
اِيَّا كَ نَعْبُدُ وَاِ يَّا كَ نَسْتَعِيْنُ
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan."
Idealnya terbongkarnya kasus makam "orang saleh" yang ternyata kosong menyadarkan muslim mukmin untuk berpikiran cerdas, cerah, dan berkemajuan. Boleh jadi, kasus serupa terjadi juga di tempat-tempat lain.
Selama ini cukup banyak muslim mukmin ketika akan mengkhitankan, menikahkan, mencarikan anaknya pekerjaan, dan/atau keperluan lain, mohon restu kepada almarhum dan/atau almarhumah, padahal almarhum dan/atau almarhumah shalat pun tidak pernah ketika hidup atau baru shalat dua kali setahun, yaitu ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha.
Ziarah kubur merupakan ibadah sunah. Hal itu dapat diketahui melalui sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadis-hadis, antara lain, sebagai berikut.
عن بُرَيْدَةَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِى زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الآخِرَة. [رواه مسلم وابو داود والترمذي وابن حبان والحاكم]
“Diriwayatkan dari Buraidah ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu aku pernah melarang ziarah kubur, maka telah diizinkan bagi Muhammad berziarah kubur bundanya, maka berziarahlah kubur sebab hal itu mengingatkan akhirat.” (HR Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi, Ibnu Hibban dan al-Hakim)
Sementara itu, di dalam hadis lain dijelaskan sebagai berikut.
عن أبي هريرة قال قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى تَعَالَى عَلَى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى فَاسْتَأْذَنْتُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ بِالْمَوْتِ. [رواه الجماعة]
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku memohon izin kepada Tuhanku agar aku diperkenankan memohonkan ampun bagi ibuku, maka tidak diizinkan. Lalu, aku memohon izin untuk berziarah ke kuburnya, maka diizinkan-Nya. Oleh karena itu, ziarahlah ke kubur sebab hal itu dapat mengingatkan mati.” (HR Jamaah)
Jelas bagi muslim mukmin yang benar akidahnya bahwa ziarah kubur diperintahkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tujuan agar peziarah memohonkan ampun bagi almarhum dan/atau almarhumah dan agar mengingat mati. Jadi, apakah tidak bertentangan jika ziarah dilakukan dengan tujuan mohon berkah kepada orang yang sudah meninggal?
Di antara muslim mukmin ada yang menyamakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk jika orang biasa akan memohon atau berdoa. Mereka menggunakan analogi bahwa orang biasa untuk menghadap camat, bupati/wali kota, gubernur, apalagi presiden saja perlu perantara.
Untuk menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala tentu demikian dan perantara itu adalah orang saleh, termasuk orang saleh yang sudah meninggal. Bagi mereka, orang saleh hanya meninggal jazadnya, sedangkan ruhnya hidup dan dapat melihat serta mendengar apa yang kita lakukan dan kita ucapkan. Bahkan, ruh orang saleh dapat pula membantu sebagai perantara untuk tercapainya keinginan atau harapan peziarah.
Para peziarah berdalih juga bahwa orang saleh tidak memerlukan doa dari orang biasa. Orang biasalah yang memerlukan doa dari orang saleh.
Di dalam buku "Sesat Tanpa Sadar", Mahrus Ali (bukan Ali Machrus) mengkritik orang yang berpendapat bahwa orang yang telah meninggal dapat mendengar. Beliau menyimpulkan pendapatnya bahwa hadis-hadis yang dijadikan rujukan bahwa orang yang meninggal dapat mendengar adalah lemah, bahkan, ada yang palsu sehingga tidak dapat dijadikan hujjah.
Adapun mayat orang-orang kafir yang dikuburkan di sumur Badar, yang dijadikan contoh oleh orang yang berpendapat bahwa orang telah yang meninggal dapat mendengar, dinyatakannya bersifat kasuistis pada waktu itu dan di tempat itu. Lagi pula, orang yang mengajak berbicara adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ayat yang dijadikan dasar argumen Machrus Ali untuk mengkritik adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, di antaranya, adalah surat an-Naml (27): 80
اِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتٰى وَلَا تُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَآءَ اِذَا وَلَّوْا مُدْبِرِيْنَ
"Sungguh, engkau tidak dapat menjadikan orang yang mati dapat mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang yang tuli dapat mendengar seruan, apabila mereka telah berpaling ke belakang."
Di samping itu, dikemukakannya juga firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat Fathir (35): 22,
وَمَا يَسْتَوِى الْاَ حْيَآءُ وَلَا الْاَ مْوَا تُ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُسْمِعُ مَنْ يَّشَآءُ ۚ وَمَاۤ اَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَّنْ فِى الْقُبُوْرِ
"Dan tidak (pula) sama orang yang hidup dengan orang yang mati. Sungguh, Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang Dia kehendaki dan engkau (Muhammad) tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar."
Allahu a'la