Menolong Dewan Perwakilan Rakyat
Oleh: Immawan Wahyudi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan (FH UAD)
JUDUL tulisan ini terkesan janggal. Namun tulisan sederhana ini terinspirasi oleh dua hal yang cukup mendasar. Pertama, spirit pemikiran ideal, yakni bagaimana seharusnya tolong menolong dapat dibahas dalam pespektif dunia politik nilai dan dalam pertanggungjawaban moral kolektif. Kedua, pemikiran respon dialektik terhadap realitas sosial politik berupa pertanggung jawaban konstitusional dan intelektual. Dalam kaitan ini penulis teringat hadits yang bersifat dialogis antara Rasulullah Saw dengan para Shahabat. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tolonglah saudaramu baik yang berbuat dzalim maupunn yang didzalimi.” Lalu salah seorang Shahabat bertanya, apa maksud dan bagaimana cara menolong orang yang berbuat dzalim? Beliau menjawab, “Kamu cegah dia dari berbuat dzalim, maka sesungguhnya engkau telah menolongnya.” (HR. Bukhari, no. 6952; Muslim, no. 2584). Adapun pertimbangan kedua adalah terkait ketentuan atau amanat konstitusi dimana DPR RI memiliki kekuasan untuk mengontrol Pemerintah sekaligus memiliki tugas suci untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Hadits diatas penulis kutip karena norma pesannya sangat dialektis, disamping juga sangat ideal-etis. Sayangnya hadits-hadits semacam ini kurang banyak dibahas dalam forum-forum edukasi. Kurangnya perhatian terhadap sumber ajaran yang bernilai sebagaimana hadits diatas membawa pada keadaan dimana berbagai penyimpangan cara berfikir dan cara bertindak dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan terus terjadi berulang dan berulang Kembali, tetap dianggap tidak berkaitan dengan nilai-nilai Islam
Terbukalah Dalam Menjalankan Amanat
Pemerintah dan DPR RI pada 13 Mei 2024 telah menyetujui rancangan Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 mengenai Mahkamah Konstitusi. Pembahasan tentang RUU MK itu diduga dilakukan secara diam-diam pada hari terakhir masa reses. Karena terkesan diam-diam, maka RUU MK itu menimbulkan penolakan dari berbagai kalangan. Beberapa pihak berpendapat bahwa perubahan tersebut berpotensi melemahkan independensi dan integritas Mahkamah Konstitusi. Hamdan Zoelva selaku salah satu penggagas Amandemen UUD NRI terkait kekuasaan kehakiman, menilai pihak yang paling berkepentingan untuk mengubah UU MK adalah DPR dan Pemerintah. Kedua lembaga itu terkesan tidak ingin produk UU nya ditolak oleh MK.
Paragraf diatas sepenuhnya penulis kutip dari satu Watchs App Group, karena sumber pemberitaannya didasarkan pada link sebagai berikut: https://www.youtube.com/watch?v=Oiwr9VbQcE4. Mengapa penulis percaya kemungkinan terjadinya pembicaraan diam-diam antara Pemerintah dengan DPR RI yang berujung pada persetujuan adanya rencana perubahan Undang-undang Nomor 43 tentang Mahkamah Konstitusi, karena sudah berulang kali DPR mengagendakan pembahasan RUU dengan cara kurang terbuka alias diam-diam. Demikian pula Perubahan Kedua UU KPK yang sudah dari awal dikritis oleh para akademisi dan praktisi bahwa perubahan UU KPK tersebut berpotensi untuk melemahkan KPK, dijawab baik oleh Pemerintah maupun DPR bahwa perubahan UU KPK justru akan memperkuat posisi KPK. Pada kenyataannya, UU KPK terakhir telah jelas-jelas menjadi lemah dalam melakukan tugas uci pemberantasan korupsi. Indikiasi sederhana dan kongkret adalah bahwa semakin bertanbah tahun semakin tinggi nilai nominal kropsi. Nyaris tidak ada berita korupsi dalam nominal ratusan milar rupiah karena sudah meningkat menjadi puluhan bahkan ratusan triliun rupiah.
Rakyat perlu mencurigai DPR karena reputasinya dalam membentuk undang-undang. Dalam kasus UU Cipta Kerja yang melahirkan kegaduhan itu, sehingga digugat Mahkamah Konstitusi (MK), akhirnya MK mengeluarkan putusan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Maksudnya adalah tidak terpenuhinya unsur kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dalam proses pembentukannya sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD NRI 1945. Demikian juga pembentukan undang-undang tersebut tidak sejalan dengan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 5 huruf g. Sehingga putusan MK yang memerintahkan kepada Pemerintah untuk memperbaiki pembentukan UU Cipta Kerja dalam waktu 2 (dua) tahun tidak. Namun perintah MK dilaksanakan. Sebaliknya Pemerintah malah mengeluarkan Perppu baru yang langsung direspon cepat oleh DPR RI dan disahkanlah UU MK yang baru.
Tidak dapat dihindari oleh DPR RI, dalam pembentukan undang-undang harus ada mekanisme mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi publik. Dengan menggunakan nomen klatur perwakilan rakyat maka tidak ada legitimiaasi apapun, baik secara politis, secara yuridis maupun moral, jika DPR RI tidak mengubah cara kerjanya untuk terbuka dan kembali kepada kepentingan rakyat. Artinya memberi kesempatan dan memperjuangkan aspirasi rakyat adalah tugas atas nama wakil rakyat dan atas dasar system pemerintahan demokratis.
Secara politis, jika DPR RI tidak melakukan dan tidak memiliki political will dalam pembentukan sesuai konstitui dan peraturan perundang-undangan maka lembaga negara wakil rakyat ini sedang dalam posisi di dzolimi oleh Pemerintah, pada sisi lain lembaga negara wakil rakyat ini juga sedang mendzolimi rakyat karena mengabaikan status wakil rakyat dan menundukkan diri berada dalam cengkeraman Pemerintah.
Kekacauan Pembentukan Undang Undang
Perlu kiranya masyarakat memperoleh informasai bagaimana tingkat kekacauan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini Denny Indrayana menyoroti pada saat Presiden RI Joko Widodo menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022. “Saya terus terang terkejut membaca berita Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, meskipun telah mencari ke berbagai sumber, termasuk meminta kepada pejabat tinggi yang mempersiapkannya, perppu tersebut belum tersedia untuk dibaca utuh apa substansinya. ” (https://news.republika.co.id/berita/rnxu8q385/denny-indrayana-perppu-2-tahun-2022-ciptaker-pelecehan-terhadap-mk)
Kenyataan ini menurut Denny Indrayana Presiden telah memanfaatkan konsep kegentingan yang memaksa untuk menegasikan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menguji formal dan memutuskan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. Dalam bahasa pemberitaan disebutkan “Perppu ini menggugurkan Put Dalam hal yang sama Denny Indrayana menyoroti dari aspek ketatanegaraan dengan menyatakan bahwa Presiden RI Joko Widodo menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022. “Saya terus terang terkejut membaca berita Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, meskipun telah mencari ke berbagai sumber, termasuk meminta kepada pejabat tinggi yang mempersiapkannya, perppu tersebut belum tersedia untuk dibaca utuh apa substansinya. ”(https://news.republika.co.id/berita/rnxu8q385/denny-indrayana-perppu-2-tahun-2022-ciptaker-pelecehan-terhadap-mk)
Dalam sumber yang sama Denny Indrayana juga menilai Presiden telah memanfaatkan konsep kegentingan yang memaksa untuk menegasikan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menguji formal dan memutuskan bahwa UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. Dalam bahasa pemberitaan disebutkan “Perppu ini menggugurkan Putusan MK” Artinya, Presiden telah melakukan pelecehan atas putusan dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi. Presiden tidak menghormati MK. Presiden telah melakukan "Contempt of the Constitutional Court". Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan oleh konstitusi untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Ketika dinyatakan tidak konstitusional maka pembuat undang-undang harus patuh dan melaksanakan putusan MK, bukan dengan menggugurkannya melalui Perppu.
Menolong Bagian dari Ibadah
Kembali pada spirit menolong saudara baik dalam kondisi didzolimi maupun dalam kondisi berbuat dzolim, maka rakyat NKRI punya tanggung jawab moral untuk menolong DPR RI dalam posisinya telah dikunci dengan taktik “koalisi besar”. Pada posisi ini DPR RI didzolimi oleh Pemerintah untuk selalu menyetujui apa kehendak politik Pemerintah. Pada saat bersamaan rakyat NKRI juga harus menolong DPR RI dalam pisisinya sedang berbuat dzolim yakni pada saat melakukan deal politik dengan Pemerintah yang bertentang dengan mission sacre ebagai Lembaga wakil rakyat, dengan terus menyampaikan masukan, kritik dan perdebatan publik agar ada kesadaran DPR RI Kembali ke haribaan kepentingan rakyat.
Namun ada sebagian masyarakat yang berpandangan lain bahwa, tidak akan ada kesadaran baik dari Pemerintah maupun DPR RI untuk Kembali ke haribaan kepentingan rakyat, buktinya didemo berpuluh kali tidak ada perubahan sikap apapun yang menunjukkan bahwa ikap peduli kepada rakyat ada dalam ruang pemikiran dan perasaan mereka. Jika demikian, maka cara menolong DPR RI –dan demikian juga Pemerintah—adalah dengan menyerahkan kepada Dzat Yang Maha Memiliki Kekuasaan, Allah Swt. Semua cara diatas seharusnya kita dasari dan kita sadari sebagai jalan Ibadah.