Oleh: Turrachman, PPM Zaenab Masykur JPSM Indonesia
Hujan di sore hari di Kota Malang baru saja reda. Ketika ustad Arif Hidayat Direktur BTM Artha Surya Kabupaten Tegal call saya. "Assalamualaikum, maaf ustad besok bisa kirim tulisan untuk buletin pemuda Muhammadiyah?" tanya beliau.
Waktu itu saya masih rebahan di kamar Rusunawa UMM setelah seharian diskusi dengan teman-teman di ruang kuliah. Sambil menunggu giliran mandi karena sedang dipakai teman satu kamar. Saya jawab "Insyaallah". Sambil mikir kira-kira nulis tentang apa ya?
Tiba-tiba saya ingat kalimat yang disampaikan oleh Prof Ahmad Farid, dosen mata kuliah Multidisipliner PAI. Ketika membahas tentang makna pembelajaran Pendidikan Agama Islam. "Bapak dan Ibu maaf ya, saya pernah sharing dengan almarhum Prof. Dr. Malik Fajar beliau mengatakan atsarus sujudi itu bukan sekedar yang kelihatan di dahi kita. Tapi apa yang kita perjuangkan selama ini (membesarkan UMM) adalah contoh kongkrit tanda dari sujud seseorang."
Tanda dari sujud itu bersifat menggerakkan. Sehingga siapa saja yang "mengaku" bahwa sujud sudah menjadi kebutuhan. Harus dibuktikan dalam ranah aksiologi. Bukan diawang-awang. Sehingga keberadaannya sangat ditunggu-tunggu. Sebab memunculkan banyak kebahagiaan dan harapan. Itulah berkah. Yaitu bertumbuhnya kebaikan atas segala sesuatu.
Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan bahwa, "Siapa yang mau melihat, pasti di situ ada cahaya." Melihat yang dimaksud tentunya bukan sekedar melihat hanya dengan mata secara fisik. Akan tetapi melihat dengan hati. Sebab kita seringkali sama-sama melihat tukang becak yang sedang mengayuh becaknya diterik matahari.
Atau melihat seorang ibu yang sudah tua sedang mendorong sepedanya yang penuh dengan sayur mayur, lauk pauk dan jajanan yang dikonsumsi sehari-hari. Atau bahkan kita sedang melihat ada seorang laki-laki paruh baya. Yang sedang menjual minuman es teh dan mineral di tengah-tengah jamaah pengajian Akbar. Dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah apakah yang muncul dalam hati dan pikiran kita sama? Maka jawabannya belum tentu. Sebab ada yang tergerak untuk membeli atau sekurang-kurangnya mendoakan supaya tukang becak atau para penjual itu laris dagangannya. Tapi juga ada yang melewatkan kesempatan yang baik itu berlalu. Bahkan ada yang "membully".
Atsarus Sujudi akan selalu "turun ke hati". Kalau dia seorang kepala rumah tangga. Makan akan peduli dengan pendidikan anak-anaknya. Dengan memberikan teladan untuk hidup yang dengan cara yang solih. Yaitu memahami bahwa tarbiyah itu bukan hari ini. Tapi sebuah proses yang akan memberikan hasil kepada siapa saja. Kalau dia seorang pimpinan. Maka Atsarus Sujudi nya adalah menjadi pemimpin yang visioner. Mentransformasi nilai-nilai dalam lingkungan yang dipimpinnya. Selalu berkomitmen dengan apa yang sudah disepakati (amanah). Bersikap inklusif terhadap berbagai masukan dan bahkan kritik.
Realitas yang kita temui. Banyak sekali orang yang mudah terprovokasi. Dengan sebuah tulisan judul berita yang belum dibaca dengan teliti. Maka berlomba kirim berita yang belum dibaca. Yang penting judulnya "bombastis" dan sesuai dengan misinya. Maka pasti kita share dengan penuh semangat buta.
Tanda sujud itu ada. Manakala kita mampu menahan diri. Lebih senang Tabayyun dan tidak senang "mempermalukan orang lain". Baik di hadapan jamaah bumi maupun jamaah Maya atau netizen.
Orang yang terus belajar akan menjadi pemilik masa depan. Orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Masa depan hakiki kita adalah kasih sayang Allah (Rahmat). Begitu banyak ayat atau tanda yang sudah dihadirkan atau ditampakkan kepada kita. Seperti waktu yang terasa begitu cepat. Transaksi jual beli yang sangat muda dan lain sebagainya. Apakah tidak cukup menjadi sebuah sinyal kepada kita? Atau sebenarnya kita selama ini tidak"sujud?" Saya jadi ingat sebuah Nasehat Rasulullah. Agar kita segera berbuat baik. Karena akan datang fitnah seperti gelapnya malam. Wallahu'alamm