Ayat Riba: Perlindungan Kaum Lemah dari Eksploitasi Ekonomi

Publish

28 April 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
383
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Ayat Riba: Perlindungan Kaum Lemah dari Eksploitasi Ekonomi

Oleh: Donny Syofyan/Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

 

Tulisan ini mengulas secara mendalam ayat 279 dari Surah Al-Baqarah dalam Al-Qur`an, yang menyoroti praktik riba dan konsekuensinya. Ayat tersebut berbunyi, “Jika kamu tidak meninggalkan sisa riba itu, maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”

Satu poin krusial yang diangkat adalah bahwa ayat ini sering kali disalahpahami, mengakibatkan interpretasi yang keliru terhadap larangan riba dalam Islam. Teks ini menegaskan bahwa ayat tersebut secara tegas memberikan peringatan keras kepada individu atau entitas yang terlibat dalam pengambilan riba. Ancaman "perang dari Allah dan Rasul-Nya" menekankan keseriusan pelanggaran ini dalam konteks ajaran Islam.

Lebih jauh, ayat ini menguraikan esensi dari peringatan tersebut dengan mengaitkannya pada konteks sosial ekonomi pada masa itu. Praktik riba digambarkan sebagai bentuk penindasan terhadap kelompok masyarakat yang lemah secara ekonomi. Individu yang terdesak kebutuhan, sering kali harus meminjam uang dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, yang sering kali bersifat berlipat ganda. Hal ini menciptakan lingkaran hutang yang menjerat, yang dalam kasus ekstrem, dapat berujung pada perbudakan.

Konteks historis ini membedakan praktik riba yang dilarang dalam Al-Qur`an dari konsep pinjaman bisnis modern. Pada masa lalu, riba cenderung mengeksploitasi kerentanan individu yang putus asa. Sebaliknya, pinjaman bisnis modern, meskipun juga melibatkan bunga, berada dalam konteks regulasi dan perjanjian yang lebih formal. Dengan demikian, teks ini berupaya untuk memberikan pemahaman yang lebih akurat dan kontekstual terhadap ayat 279 Surah Al-Baqarah, menekankan bahwa larangan riba dalam Islam terutama ditujukan untuk melindungi kelompok yang rentan dari eksploitasi ekonomi.

Fenomena ini, pada intinya, adalah perwujudan ketidakadilan. Terjadi sebuah dinamika di mana kaum berada, dengan kekuasaan ekonomi yang mereka miliki, menindas mereka yang hidup dalam keterbatasan finansial melalui mekanisme pinjaman yang eksploitatif. Dalam konteks ini, Tuhan tampil sebagai pembela kaum miskin, sebuah entitas yang hadir untuk memberantas para pelaku penindasan ini. 

Ungkapan 'Allah dan Rasul-Nya' mungkin mengimplikasikan intervensi dalam bentuk kebijakan negara, yang berfungsi untuk mengatur dan menertibkan praktik pemberian pinjaman. Hal ini sejajar dengan konsep regulasi bunga dalam hukum modern, yang bertujuan untuk membatasi tingkat bunga yang dapat dikenakan dalam transaksi pinjaman.

Namun, interpretasi terhadap ayat ini sering kali menyimpang, dengan beberapa pihak mengartikannya sebagai larangan mutlak terhadap segala bentuk transaksi yang melibatkan bunga. Meskipun pandangan untuk menjauhi transaksi berbunga adalah pandangan yang banyak di anut, penting untuk mengakui bahwa penegasan yang lebih eksplisit mengenai larangan ini ditemukan dalam Hadits, bukan secara langsung dalam Al-Qur`an. Dalam Hadits, tercantum kutukan terhadap lima pihak yang terlibat dalam transaksi riba: pemberi riba, penerima riba, dua saksi transaksi, dan penulis kontrak. Hadits ini menciptakan aura ketakutan di kalangan umat Muslim, menghalangi mereka untuk terlibat dalam segala bentuk transaksi berbunga, baik sebagai pemberi, penerima, saksi, maupun penulis kontrak.

Dengan cara ini, Hadits berfungsi sebagai pengingat moral yang kuat, mengajak umat Muslim untuk tidak berpartisipasi dalam praktik yang dianggap tidak etis. Namun, terdapat perbedaan yang perlu diperhatikan antara penekanan dalam Al-Qur`an dan Hadits. Al-Qur`an, dalam konteks ayat yang dibahas, terutama menyoroti perlindungan terhadap pihak yang tertindas, yaitu mereka yang terpaksa meminjam dengan bunga tinggi. Sedangkan Hadits memperluas cakupan larangan, mencakup semua pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Maka dari itu terjadi adanya perbedaan persepsi di antara masyarakat tentang hukum riba.

Dalam konteks ini, terdapat sebuah kebenaran yang pahit, namun esensial: kita menolak untuk menjadi kaki tangan dalam sebuah kejahatan. Kita tidak akan merelakan diri kita terlibat dalam aktivitas yang melanggar batas-batas etika dan hukum, terutama dalam praktik pengambilan bunga yang jelas-jelas merugikan. Ketika seseorang terjerumus dalam perbuatan haram, dalam tindakan ilegal yang menggerogoti keadilan sosial, kita memilih untuk berdiri tegak, menolak untuk menjadi saksi bisu, apalagi terlibat dalam pembuatan kontrak yang merugikan.

Namun, di sini terletak sebuah perbedaan signifikan yang perlu kita cermati. Dalam Al-Qur`an, penekanan diletakkan pada perlindungan terhadap mereka yang terhimpit, yang menjadi korban sistem yang menindas. Al-Qur`an memposisikan Tuhan dan Rasul-Nya sebagai pembela kaum lemah, sebagai kekuatan yang melawan para kreditur yang menindas dengan bunga riba. Terjadi sebuah distorsi ketika penafsiran ini dicampuradukkan dengan Hadits, sebuah tradisi yang memperluas cakupan larangan hingga mencakup semua pihak yang terlibat dalam transaksi riba.

Sebagai akibat dari penggabungan ini, muncul sebuah ketakutan yang meresap dalam diri umat Muslim, bahkan mereka yang terpaksa membayar bunga, misalnya dalam situasi pembelian rumah melalui hipotek konvensional. Mereka diliputi kecemasan, membayangkan diri mereka sebagai target perang Tuhan dan Rasul-Nya. Namun, ketakutan ini berakar pada penggabungan dua sumber hukum, Al-Qur`an dan Hadits, yang sebenarnya memiliki fokus yang berbeda. Al-Qur`an, dalam esensinya, menyatakan perang terhadap penindas, terhadap mereka yang secara aktif mengambil bunga riba, bukan terhadap mereka yang terdesak untuk membayarnya.

Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa ayat Al-Qur`an ini telah mengalami distorsi makna, telah disalahpahami dan disalahgunakan untuk menciptakan ketakutan dan kebingungan. Diperlukan sebuah pemahaman yang jernih, yang mampu membedakan antara konteks dan fokus dari Al-Qur`an dan Hadits, untuk mencapai interpretasi yang adil dan akurat.


Komentar

Soergadi

Saya mohon organisasi Muhammadiyah berpegang teguh pada Tarjih sehingga dapat menjadi teladan bagi warganya. Dalam Putusan Tarjih juga sudah jelas, sangat jelas yg disampaikan Prof. Syamsul Anwar mengenai riba bahwa bunga bank dan semacamnya adalah riba yang diharamkan dalam Islam. Saya sebagai orang awam lebih memilih pendapat ulama yang mempertimbangkan semua dalil mengenai riba untuk menghasilkan pendapat mengenai hukum riba ketimbang hanya mengupas sebagian dalil untuk membuat kesimpulan atau hukum baru. Sehingga jelas apa yang harus saya lakukan terhadap riba dan tidak bermudah² dalam bermaksiat kepada Allah kecuali ada udzur syari

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Agar Ibadah Shalat Tidak Sia-Sia Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta Shalat merupakan amal i....

Suara Muhammadiyah

3 March 2025

Wawasan

Oleh: Karim Muhammad Perdana Kusuma. Siswa Kelas XII SMK Muhammadiyah 1 Yogyakarta Saya sangat setu....

Suara Muhammadiyah

21 September 2024

Wawasan

Peran Pemuda dalam Merawat Demokrasi Oleh: Candra Kusuma Wardana, S.E., MBA, Dosen Manajemen UMS B....

Suara Muhammadiyah

29 August 2024

Wawasan

Berdakwah dengan Santun Oleh: Suko Wahyudi. PRM Timuran Yogyakarta  Dakwah merupakan manifest....

Suara Muhammadiyah

17 July 2025

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (30) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di M....

Suara Muhammadiyah

28 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah