Ramadhan: Sekolah Spiritual untuk Pembersihan Jiwa
Oleh : Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Para ulama menekankan bahwa esensi Ramadhan bukan hanya menahan lapar dan haus, melainkan juga menahan diri dari segala bentuk keburukan, termasuk perkataan dusta dan perilaku tercela. Puasa Ramadhan bertujuan untuk menyucikan jiwa raga manusia secara menyeluruh, bukan sekadar menahan lapar dan haus.
Nabi Muhammad SAW bersabda, مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ (Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan pengamalannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan, HR. Bukhari). Beliau selalu menekankan bahwa Ramadhan harus menjadi momentum untuk melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu, dari nafs al-ammarah, dari hasrat semu yang menyesatkan. Nafsu tersebut, yang sayangnya justru seringkali dipacu oleh modernitas dalam pengejaran identitas dan individualitas. Hakikatnya adalah fatamorgana yang menipu, api yang membakar, dan sangat berbahaya.
Ramadhan adalah sekolah spiritual, Ia adalah retret selama sebulan dan waktu ketika kita terlibat dalam jihad batin ini. Kata Nabi, اذبحوا شهواتكم بسيوف المجاهدة (adzbaḥû syahwâtikum bi suyûf al-mujāhadah—bunuhlah keinginanmu dengan pedang mujahadah). Artinya jihad batin. Jihad akbar ini merupakan dasar dari ibadah puasa ini. Ini adalah sekolah spiritual.
Sebuah hadits yang masyhur meriwayatkan kisah Mu'adz bin Jabal yang sedang berkendara bersama Nabi Muhammad SAW. Mu'adz bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kita akan dihisab hanya karena perkataan kita?" Rasulullah SAW menegurnya dengan keras, "Wahai Mu'adz, celakalah engkau! Apakah manusia dilemparkan ke neraka karena hal lain selain ucapan lidahnya?" Rasulullah SAW menekankan betapa dahsyatnya dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh lidah, meskipun ukurannya kecil.
Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menjaga lisan, terutama di bulan Ramadhan. Seorang ulama salaf pernah berkata, "Lidahku bagaikan binatang buas. Jika kubiarkan lepas, ia akan pergi dan memangsa seseorang." Ibarat gigi yang mengurung lidah, kita pun harus menjaga lisan dari perkataan yang sia-sia dan menyakitkan. Di bulan Ramadhan ini, marilah kita kendalikan ego dan gunakan lidah untuk kebaikan.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits, seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, "Ajarkanlah kepadaku satu hal dalam Islam yang cukup bagiku, sehingga aku tak perlu bertanya kepada siapapun lagi." Nabi SAW menjawab, "Ucapkanlah, 'Aku beriman kepada Allah', lalu istiqamahlah." Sahabat itu kembali bertanya, "Apa yang harus aku waspadai?" Nabi SAW menunjuk lidahnya sendiri dan bersabda, "Jagalah ini." Umar bin Khattab RA pernah mendapati Abu Bakar RA sedang memegang lidahnya. Ketika ditanya apa yang sedang dilakukan, Abu Bakar RA menjawab, "Inilah yang sering membuatku terjerumus masalah.
Banyak bukti menunjukkan bahwa penderitaan seringkali timbul akibat ulah manusia sendiri, seperti mengumbar rahasia, memfitnah, bergosip, dan menyebar kebohongan. Budaya kita saat ini, yang diwakili oleh tabloid dan media gosip, penuh dengan hal-hal tersebut. Seakan kita sedang memakan bangkai saudara sendiri. Dalam Islam, menjaga kehormatan sesama Muslim sangatlah penting. Imam Syafi'i bahkan mengajarkan kita untuk selalu berbaik sangka, "Jika kau mencium bau minuman keras di jenggot saudaramu, anggaplah ada yang menumpahkannya di sana. Jangan langsung menuduhnya berbuat dosa."
Sikap gemar mengkritik dan menghakimi dalam hal agama juga termasuk percakapan sia-sia yang harus dihindari. Sebagai Muslim awam, sebenarnya kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk menilai benar atau salahnya suatu pendapat dalam agama. Bahkan para ulama pun memiliki perbedaan penafsiran, terutama di masa awal Islam. Imam Malik mengatakan bahwa perdebatan yang didasari ego sama sekali tidak ada hubungannya dengan agama.
Sebuah hadits juga menyebutkan bahwa kehancuran suatu kaum seringkali disebabkan oleh sikap suka berdebat dan mencari-cari kesalahan orang lain. Alih-alih merasa lebih baik dari ulama besar seperti Imam Syafi'i atau Imam Malik, seharusnya kita menyadari betapa terbatasnya ilmu dan amal kita. Sikap seperti itu hanya akan menghancurkan agama, terlebih di bulan Ramadhan yang seharusnya kita gunakan untuk mengekang ego dan memperbaiki diri.
Perbedaan pendapat (ikhtilâf) dalam masalah agama adalah hal yang wajar. Kita harusnya saling menghormati, bukan malah menikmati perpecahan seperti yang terjadi antara Barelvi dan Deobandi. Perpecahan ini justru menguntungkan pihak-pihak yang membenci umat Islam. Mari kita singkirkan perselisihan dan fokus pada ibadah di bulan Ramadhan ini. Saat kita berpuasa, sebenarnya kita juga berpuasa dari dosa-dosa lisan. Dengan begitu, di akhir Ramadhan, kita akan merasakan transformasi diri yang luar biasa, bagaikan menjadi manusia baru.
Ada kerinduan mendalam yang dirasakan setiap Muslim saat Ramadhan usai, Idul Fitri seharusnya menjadi momen kebersamaan yang tulus, bukan kepura-puraan. Janganlah kita berpelukan dengan orang yang sebelumnya kita gunjingkan di masjid. Perdebatan soal agama sebaiknya diserahkan kepada ahlinya. Hanya ego dan setan yang senang dengan perselisihan, dan Ramadhan bukanlah waktu yang tepat untuk itu.
Di bulan suci ini, mari kita kendalikan ‘binatang buas’ dalam diri kita, yaitu lidah. Sebelum berbicara, bertanyalah pada diri sendiri, “Apa yang ingin kukatakan? Mengapa aku mengatakannya? Apakah untuk pamer, mencari perhatian, atau merasa lebih hebat dari orang lain?,” Jika kita jujur, kita akan menyadari betapa buruknya sikap tersebut. Ramadhan adalah momen untuk menyucikan diri, bertaubat, dan mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk menyombongkan diri. Mari kita isi Ramadhan dengan membaca Al-Qur'an, berdzikir, dan melakukan kebaikan, serta jauhi segala hal yang bisa mengotori hati dan pikiran.
Di awal Ramadhan yang penuh berkah ini, mari kita jadikan momen ini sebagai waktu untuk muhasabah dan memperbanyak taubat. Kita perlu menyadari bahwa selama ini kita seringkali berlebihan dalam banyak hal, baik secara fisik maupun spiritual. Umat Islam saat ini sedang terpecah belah, padahal persatuan adalah hal yang sangat penting dan Rasulullah SAW sangat mencintai umatnya yang bersatu. Ramadhan seharusnya menjadi sarana untuk memperbaiki diri dan mempererat persaudaraan. Mari kita introspeksi diri, apakah tindakan kita selama ini menguatkan atau justru melemahkan umat? Perpecahan hanya akan menguntungkan musuh-musuh Islam.
Semoga di hari raya nanti, kita bisa saling berpelukan dengan tulus dan merasakan persatuan yang hakiki. Di masa-masa sulit ini, kita tidak boleh saling menjatuhkan. Hindari perdebatan yang tidak perlu dan sikap egois yang hanya akan memperburuk keadaan. Semoga Allah SWT mempersatukan umat Islam kembali, sebagaimana yang selalu didoakan oleh Nabi Muhammad SAW.
Semoga kita menjadi umat yang bersatu, menjadi saksi kebenaran bagi seluruh umat manusia, sehingga kita layak mendapatkan syafaat Rasulullah SAW di akhirat kelak. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah dan puasa kita, serta menjadikan Ramadhan ini sebagai momen peningkatan spiritual bagi kita semua, teman, tetangga, keluarga, dan seluruh umat Muslim.