YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Salah satu laporan utama Majalah Suara Muhammadiyah di era awal kemerdekaan menyebutkan, ada sebuah usulan yang dilontarkan dari Ponorogo. Laporan tersebut mengusulkan materi kongres tentang peribadatan perempuan.
Isngadi Marwah Atmadja, Direktur Media dan Publikasi Suara Muhammadiyah mengemukakan hal tersebut saat Bedah Buku Menafsir Ulang Problem Gender, Difabel, dan Inklusi Sosial dalam Perspektif Islam Berkemajuan, Jumat (26/12) di Grha Suara Muhammadiyah Yogyakarta.
Menurut Isngadi, laporan utama itu menitikberatkan agar membahas dan melibatkan para ulama perempuan. "Jadi memang clear seperti itu usulan Ibu-ibu 'Aisyiyah di Ponorogo, Aisyiyah Ponorogo," katanya.
"Aisyiyah benar-benar menseriusi hal-hal seperti ini," tegas Isngadi. Yang inilah memang kemudian bentuk dari kewajiban dari organisasi perempuan tersebut. "Sudah tugas, kewajiban sucinya," bebernya.
Bahkan, Isngadi menegaskan, 'Aisyiyah harus memainkan peran pentingnya di era sekarang. Karena, tantangan sosial yang dihadapi masyarakat kian kompleks dan membutuhkan kehadiran gerakan perempuan yang berkemajuan.
"Memang eranya sekarang, era 'Aisyiyah yang memimpin peradaban ini. Dan memang 'Aisyiyah itu mengatur dan ikut menentukan arah bangsa ini," terangnya.

Di sisi lain, Ketua Majelis Tabligh dan Ketarjihan Pimpinan Pusat 'Aisyiyah Casmini mengetengahkan urgensi buku tersebut yang menjadi kolaborasi antara Pogram Inklusi PP 'Aisyiyah dengan Penerbit Suara Muhammadiyah.
Pertama, Ubah cara pandang dan bahasa dakwah terhadap gender, disabilitas (termasuk disabilitas alami di usia tua), dan inklusi untuk menyampaikan pesan lebih inklusif ke umat.
Kedua, pastikan ruang inklusif nyata di gerakan 'Aisyiyah. "Bukan sekadar slogan atau tempelan, melainkan menjadi ruh gerakan bersama," sebut Casmini. Ketiga, Libatkan secara mendalam, bukan simbolik. "Buku ini ajarkan keterlibatan substantif dalam gerakan 'Aisyiyah," tambahnya.
Keempat, Kuatkan kaderisasi dengan literasi Islam Berkemajuan, yang membedakan kajian gender, disabilitas, dan inklusi 'Aisyiyah dari organisasi lain berkat perspektif khas Muhammadiyah. Kelima, Jadikan amal usaha Aisyiyah teladan inklusi, khususnya disabilitas, sambil bangun dari gerakan gender yang sudah lama digelorakan. Ini ubah perilaku mubalighat dalam berdakwah.
Di lain sisi, Tri Hastuti Nur Rochimah, Sekretaris Umum PP 'Aisyiyah menguatkan substansi dari buku tersebut. "Harus dimiliki oleh para mubalig-mubalig 'Aisyiyah yang jumlahnya puluhan ribu bahkan ratusan ribu di seluruh Indonesia," tuturnya Tri.
Aisyiyah itu, tambah Tri, pemikirannya meniscayakan memuliakan perempuan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. "Makanya di Pokok-Pokok Pikiran 'Aisyiyah Abad Kedua juga sangat jelas sekali bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, yang membedakan hanya kodratnya," tegas Koordinator Program INKLUSI 'Aisyiyah ini.
Kemudian juga isu disabilitas disinggung Tri. Baik 'Aisyiyah maupun Muhammadiyah, "Punya kepedulian yang sangat tinggi sekali bagaimana kita mengomunikasikan no one left behind. Tidak seorang pun boleh ditinggalkan, termasuk saudara-saudara kita penyandang disabilitas," sambungnya.
Lebih-lebih menyangkut soal su-isu sosial yang bersifat inklusif, terutama yang menyangkut kelompok marginal, menjadi perhatian penting yang diangkat dalam buku tersebut. Hal itu mencakup persoalan saudara-saudara penyintas HIV/AIDS, perempuan korban kekerasan, serta anak-anak baik perempuan maupun laki-laki yang hidup dan menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
"Kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan itu tidak boleh diabaikan, melainkan harus menjadi perhatian bersama. Seluruh perhatian terhadap kelompok rentan tersebut, terangkum dan dibahas secara utuh dalam buku ini," tandasnya.
Bedah buku ini menghadirkan Niki Alma Febriana Fauzi, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah dan Lailatis Syarifah, Koordinasi Divisi Perkaderan Utama Majelis Pembinaan Kader PP 'Aisyiyah. (Cris)

