Meneladani Rasul dalam Kerangka Pembaruan

Publish

4 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
74
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta 

“Muhammadiyah” bukan sekadar nama organisasi, melainkan suatu panggilan ruhani, cita-cita profetik, dan gerak dakwah yang berakar pada semangat kenabian Muhammad SAW. Dalam terang kenabian itulah, Muhammadiyah meniti jalan pembaruan (tajdid), bukan semata demi perubahan sosial, melainkan demi mengembalikan kemurnian Islam sebagaimana diturunkan kepada Nabi terakhir dan ditegakkan oleh beliau dengan penuh hikmah dan kebijaksanaan.

Gerakan ini lahir di rahim sejarah ketika umat Islam tengah dilanda kabut kejumudan dan terbelenggu oleh kebiasaan keagamaan yang lebih banyak dibentuk oleh adat daripada wahyu. KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, hadir sebagai mujadid pada awal abad ke-20 dengan membawa spirit kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah dalam bingkai tajdid, tanpa meninggalkan semangat keilmuan dan keadaban budaya. Ia bukan hanya seorang faqih, tetapi juga seorang pembaru spiritual dan sosial, yang menyatukan keimanan dengan kecendekiaan.

Dengan mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 M, yang bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H, Ahmad Dahlan hendak menyalakan kembali pelita Islam yang redup di tengah masyarakat. Ia tak hanya mengajarkan tauhid dalam kata, tetapi menjelmakan nilai-nilai Islam dalam amal nyata, dalam bentuk pendidikan, pelayanan kesehatan, kegiatan sosial, dan pembinaan umat secara menyeluruh. Muhammadiyah hadir sebagai jawaban atas kebutuhan umat yang ingin berislam secara murni dan progresif.

Jalan Tajdid: Antara Purifikasi dan Dinamisasi

Tajdid yang dipraktikkan oleh Muhammadiyah bukanlah tajdid yang liar tanpa kendali, melainkan tajdid yang terikat erat dengan nash Al-Qur’an dan Hadits serta dipandu oleh nalar rasional yang sehat. Tajdid Muhammadiyah mencakup dua dimensi: purifikasi, yakni pemurnian akidah dan ibadah dari segala bentuk khurafat, bid’ah, dan tahayul; serta dinamisasi, yakni upaya menjadikan Islam sebagai kekuatan kemajuan dan pencerahan dalam menghadapi tantangan zaman.

Majelis Tarjih dan Tajdid menjadi institusi intelektual yang memelihara semangat tajdid ini. Dengan pendekatan tarjih, Muhammadiyah berusaha mengambil pandangan hukum yang paling kuat berdasarkan dalil-dalil syar’i yang shahih dan rasional. Di sinilah letak orisinalitas Muhammadiyah: ia bukan semata-mata memindahkan pendapat ulama klasik ke ruang zaman baru, tetapi menafsirkan ulang Islam dengan semangat kontekstual, tanpa kehilangan otoritas wahyu.

Ketika umat Islam banyak terjebak dalam ritualisme yang tak lagi menyentuh realitas sosial, Muhammadiyah tampil dengan Islam yang membumi dan mencerahkan. Islam tidak diposisikan sekadar sebagai agama upacara, tetapi sebagai sistem nilai yang membentuk peradaban. Oleh sebab itu, dakwah Muhammadiyah bukan hanya melalui mimbar, tetapi juga melalui lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dan amal usaha lainnya yang tersebar luas di seluruh penjuru negeri.

Dalam pemikiran Muhammadiyah, Islam adalah agama ilmu. Oleh karena itu, berislam tidak bisa dilepaskan dari kegiatan berpikir, menalar, menimbang, dan memahami realitas secara rasional. Muhammadiyah menghindarkan umat dari jebakan taklid buta, dan mendorong lahirnya tradisi ijtihad yang sehat. Inilah cermin dari pesan Al-Qur’an dalam Surah Al-Zumar ayat 9: “Katakanlah: Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”

Ber-Muhammadiyah: Menjadi Pengikut Nabi Sepanjang Zaman

Makna "Muhammadiyah" secara harfiah adalah pengikut Nabi Muhammad SAW. Tetapi dalam makna yang lebih dalam, menjadi Muhammadiyah adalah ikhtiar untuk menghidupkan kembali spirit kenabian dalam kehidupan pribadi dan sosial. Menjadi Muhammadiyah bukanlah sekadar menjadi anggota organisasi, melainkan menjadi bagian dari gerakan ruhani yang memikul amanah dakwah, amar makruf nahi mungkar, dan transformasi masyarakat.

Ber-Muhammadiyah berarti meneladani Rasulullah SAW dalam aspek keyakinan, ibadah, akhlak, dan perjuangan sosial. Akidah tauhid ditegakkan dengan kokoh, karena tauhid adalah asas pembebasan manusia dari semua bentuk penghambaan kepada selain Allah. Ibadah dilakukan berdasarkan sunnah yang shahih, bukan berdasarkan kebiasaan atau warisan budaya yang menyimpang dari ajaran Nabi.

Muhammadiyah juga meyakini bahwa Islam bukan hanya agama yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga dengan sesama manusia dan alam semesta. Oleh karena itu, ajaran Islam harus diwujudkan dalam tindakan sosial: menyantuni fakir miskin, mendirikan rumah sakit, membina pendidikan, dan memperjuangkan keadilan sosial. Seperti yang ditegaskan dalam QS. Al-Hadid ayat 25, bahwa Allah telah mengutus para rasul-Nya dengan petunjuk dan kitab agar manusia menegakkan keadilan.

“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.”

Dalam konteks ini, pendidikan menjadi pilar penting dalam gerakan Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan menyadari bahwa umat yang cerdas adalah syarat utama bagi kebangkitan Islam. Maka didirikanlah sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan kurikulum modern yang memadukan ilmu agama dan ilmu umum. Pendidikan dalam Muhammadiyah bukanlah sekadar transmisi pengetahuan, tetapi transformasi kepribadian agar manusia menjadi abid sekaligus khalifah.

Islam Berkemajuan: Etos Kecerdasan dan Kepedulian Sosial

Muhammadiyah mengusung konsep "Islam Berkemajuan" sebagai semangat zaman. Islam Berkemajuan adalah Islam yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan, toleran terhadap perbedaan, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dan proaktif dalam menciptakan kemaslahatan. Di sinilah Muhammadiyah berbeda dengan gerakan Islam yang cenderung eksklusif dan anti-perubahan. Bagi Muhammadiyah, kemajuan bukanlah sesuatu yang asing bagi Islam, karena Islam itu sendiri adalah agama yang mendorong kemajuan.

Kemajuan bukan dimaknai sebagai sekadar perkembangan teknologi atau material, melainkan sebagai kemajuan akal, moral, dan spiritual. Muhammadiyah ingin membentuk manusia yang mutakaddim (maju), bukan mutaakhkhir (terbelakang), dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk utama kehidupan. Seperti firman Allah dalam QS. An-Nur ayat 35: “Allah adalah cahaya langit dan bumi...”, yang bermakna bahwa wahyu adalah cahaya yang mencerahkan akal dan menuntun kehidupan.

Dalam kerangka Islam Berkemajuan inilah, Muhammadiyah membangun amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Dengan ribuan sekolah, ratusan rumah sakit, dan berbagai lembaga sosial, Muhammadiyah membuktikan bahwa Islam bukanlah agama langit semata, tetapi juga hadir dalam problematika bumi.

Gerakan ini menjelma menjadi pelita yang menerangi jalan umat, terutama dalam menghadapi zaman yang penuh tantangan: era digital, sekularisasi, krisis moral, dan melemahnya solidaritas sosial. Muhammadiyah tidak mundur dari tantangan, melainkan menjawabnya dengan inovasi dan penguatan nilai.

Tantangan Zaman dan Konsistensi Jalan Dakwah

Di era disrupsi saat ini, Muhammadiyah menghadapi tantangan besar. Modernitas tidak hanya membawa kemajuan, tetapi juga krisis spiritual dan pergeseran nilai. Gelombang sekularisme, relativisme moral, dan materialisme telah masuk ke dalam kehidupan umat secara masif. Belum lagi tantangan internal seperti melemahnya semangat ideologis dan munculnya pragmatisme dalam sebagian segmen umat.

Namun, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Ali-Imran ayat 104: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Maka Muhammadiyah harus terus menjadi segolongan umat itu. Dengan konsistensi dakwah dan tajdid, Muhammadiyah dituntut untuk terus bergerak, bukan hanya memelihara tradisi, tetapi menatap masa depan dengan penuh optimisme iman.

Harapan terhadap Muhammadiyah sangat besar. Masyarakat membutuhkan Islam yang mencerahkan, bukan yang menakut-nakuti. Dunia membutuhkan Islam yang menyatukan, bukan yang memecah-belah. Dan umat membutuhkan Islam yang membebaskan, bukan yang membelenggu akal dan hati. Muhammadiyah harus hadir dengan wajah yang ramah, berilmu, dan solutif.

Muhammadiyah bukan hanya organisasi sosial-keagamaan, tetapi juga cahaya peradaban. Dalam setiap sekolahnya, mengalir semangat mencerdaskan. Dalam setiap rumah sakitnya, berdenyut kepedulian terhadap kemanusiaan. Dalam setiap keputusan tarjihnya, terpantul cermin nalar wahyu yang jernih.

Ber-Muhammadiyah adalah jalan meneladani Rasul. Menjadi pengikut Muhammad SAW bukan hanya dengan mengucap shalawat, tetapi juga dengan menghidupkan risalahnya dalam kehidupan nyata. Kita menjadi Muhammadiyah bukan karena kebetulan lahir dalam lingkungan tertentu, tetapi karena kesadaran ruhani untuk menjadikan Islam sebagai sumber cahaya dan kekuatan hidup.

Akhirnya, marilah kita renungkan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 2: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Muhammadiyah telah, sedang, dan akan terus menempuh jalan takwa itu dengan ilmu, amal, dan dakwah yang tak henti-henti membawa rahmat bagi semesta.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pendidikan dan "Gelombang Olok-Olok" di Media Sosial Oleh: Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani  Ba....

Suara Muhammadiyah

11 October 2023

Wawasan

Titah Muhammadiyah, Pelopor Gerakan Islam Modernis Oleh: Arifulhaq Atjeh, Dosen, Guru SMKN 1 ....

Suara Muhammadiyah

13 May 2025

Wawasan

Menjadi Aktivis Sekaligus Ahli di Bidangnya Oleh: Noval Sahnitri/Ketua Bidang KDI PW IPM Lampung/An....

Suara Muhammadiyah

22 April 2025

Wawasan

Urusan Makan Sebab Jalan Kesalehan atau Kezaliman Sosial Arief Juniarto: Dosen Institut Teknologi S....

Suara Muhammadiyah

14 January 2025

Wawasan

Oleh: Bobi Hidayat Pendidikan akan selalu berkembang secara dinamis dari masa ke masa. Perkembangan....

Suara Muhammadiyah

18 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah