Benarkah Orang yang Tidak Religius Lebih Sukses?
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Mengapa orang yang tidak religius seringkali tampak lebih sukses? Tidak sedikit yang berbuat jahat atau buruk namun masih menikmati apa yang mereka inginkan—uang, prestise, teman, keluarga, dan sebagainya. Ini adalah pertanyaan yang sangat menarik dan merupakan pengamatan umum bahwa orang yang tidak religius kelihatan lebih sukses secara material atau duniawi.
Namun, jika Anda melakukan survei di seluruh dunia, Anda akan menemukan hal itu terjadi pada kedua sisi. Ada orang religius yang sukses, ada mereka yang tidak religius juga sukses. Ada orang-orang religius yang tidak memiliki banyak materi. Begitu juga ada mereka yang tidak religius tidak memiliki banyak materi. Kombinasi itu bervariasi dan semua kombinasi mungkin terjadi.
Ada yang berpikir bahwa orang religius seharusnya memiliki kehidupan yang lebih baik. Tuhan seharusnya menyuguhkan mereka hal-hal yang lebih baik karena mereka religius. Mereka setia kepada Tuhan. Tuhan harus memberi mereka kompensasi dengan beberapa cara. Asumsi seperti ini kerap bersembunyi dalam pikiran banyak orang.
Kita perlu menyadari bahwa sering kali mereka yang mengejar agama memiliki sedikit waktu atau minat terhadap hal-hal duniawi. Alkitab bahkan mengatakan bahwa “Jangan mencintai dunia.” Orang cenderung bersikap sederhana ketika mereka beralih ke agama, beralih ke Tuhan. Bagi umat Islam, ada keyakinan yang kuat tentang kehidupan setelah kematian. Harapan utama kita adalah memiliki kehidupan lebih baik di akhirat, bukan menumpuk-numpuk kekayaan dalam kehidupan dunia ini, meskipun kita berdoa untuk keduanya (QS 2: 201).
Seorang Muslim tentu dihadapkan dengan pilihan untuk bekerja, yang menuntut keputusan mana yang lebih perlu didahulukan. Katakanlah Ramadhan tiba dan umat Islam berpuasa. Mereka yang tidak berpuasa selama Ramadhan boleh jadi sibuk mengumpulkan kekayaan duniawi atau melakukan apa pun untuk mendapatkan lebih banyak uang. Seorang Muslim tentu meninggalkan pekerjaan pada hari Jumat dan datang ke masjid untuk shalat Jumat. Padahal orang lain mungkin sedang bekerja waktu itu. Seorang Muslim kehilangan upah satu setengah jam.
Namun bagi seorang Muslim, ini semua sepadan karena harapan utamanya adalah kehidupan setelah kematian. Jadi bukan karena mereka kekurangan seolah-olah Tuhan menghukum mereka atau jahat kepada mereka, padahal mereka adalah hamba Tuhan yang baik, setia, dan baik. Orang-orang membuat pilihan dan Tuhan memberi mereka apa yang pada akhirnya akan paling bermanfaat, yaitu kebaikan di akhirat.
Sukar dipungkiri bahwa hal-hal duniawi sebenarnya dapat mengalihkan seseorang dari mencintai akhirat dan Allah. Tak jarang seseorang menjadi terikat pada hal-hal dunia ini. Semakin banyak yang dimiliki, maka semakin banyak yang diinginkan. Semakin banyak yang dibutuhkan, maka semakin banyak kebutuhan untuk melindungi aset yang dipunyai.
Saat membayangkan seseorang yang hidup sekadar mencari sesuap nasi, kita boleh jadi menduga ini adalah profil ideal, setiap Muslim harus menginginkan hidup seperti ini. Gambaran hidup seperti ini tak perlu repot-repot memikirkan aset untuk dilindungi. Tapi ada yang juga sinis bahwa orang-orang ini belum memiliki keamanan. Mereka mungkin khawatir tentang apa yang akan dimakan esok.
Tetapi banyak yang telah mencapai tahap tawakkal (pasrah dan percaya) kepada Allah sehingga mereka tidak khawatir. Mereka yakin bahwa makan, minum atau rezki berikutnya akan disediakan Tuhan. Seorang Muslim percaya “wallâhu khairur râziqîn”—Allahlah sebaik-baik pemberi rezeki. Muslim memiliki kepercayaan bahwa Tuhan akan menyediakan rezki bagi mereka.
Singkatnya, tidak ada rumus yang mengatakan jika seseorang tidak religius maka dia akan sukses secara duniawi. Atau sebaliknya jika seseorang religius maka dia tidak akan sukses secara duniawi. Rumusnya bekerja pada dua arah. Orang-orang yang mengejar dunia terkadang tidak pernah menemukannya. Adakalanya mereka memiliki dunia untuk sesaat tetapi kemudian kehilangannya. Terkadang mereka kehilangan begitu banyak sehingga menjadi putus asa, bahkan ada yang melakukan bunuh diri. Karenanya, kita perlu melihat keseluruhan persoalan secara bersamaan.
Ada empat kemungkinan berbeda. Pertama, beragama dan tetap sukses dalam arti duniawi. Kedua, beragama namun tidak berhasil dalam arti duniawi, tetapi mereka masih puas dan bahagia dengan apa yang mereka miliki. Ketiga, ada orang-orang yang tidak religius tapi tampak sukses dalam arti duniawi, namun mereka boleh jadi kehilangan apa yang mereka miliki sehingga mendarat dalam masalah yang lebih besar.
Keempat, ada yang tidak religius dan juga tidak berhasil secara duniawi, terlepas dari seberapa keras mereka berusaha. Kemungkinan atau pilihan terbaik dari semua ini tentu menjadi religius dan menyerahkan selebihnya kepada Allah, tetapi pada saat yang sama berusaha untuk mendapatkan kebaikan maksimal di dunia. Sama seperti kita berdoa untuk kebaikan hidup ini dan kebaikan akhirat.
Penting dicermati bahwa Al-Qur`an serta Hadits menekankan bahwa seseorang akan hidup bahagia menikmati karunia Allah selama dia taat dan memenuhi perintah-Nya. Namun demikian, banyak orang yang menikmati kehidupan mewah dengan nyaman seraya terus-menerus berbuat dosa dan maksiat.
Allah berfirman, “Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS 16: 97) dan “Maka ketika mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu (kesenangan) untuk mereka. Sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka secara tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam putus asa” (QS 6: 44)
Bahkan Nabi SAW bersabda
إذا رأيت الله تعالى يعطي العبد من الدنيا ما يحب وهو مقيم على معاصيه فإنما ذلك منه استدراجا
“Jika engkau melihat Allah Ta'ala memberikan kepada seorang hamba hal-hal duniawi yang dia sukai sementara dia tetap berbuat maksiat, maka ketahuilah itu hanyalah istidraj (jebakan) dari Allah Ta'ala.” (Musnad Ahmad, Vol. 4, Hal. 145).