Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik?
Muhammad Zakaria Darlin, Lc., M.A., Ph.D, Dosen Bahasa dan Sastra Arab Universitas Ahmad Dahlan dan Alumni Universitas Al-Azhar As-Syarif dan Liga Arab Cairo
Sontak banyak orang terkejut dengan istilah baru yang disebutkan oleh Ustadz kondang yang memiliki jutaan pengikut, Ustadz Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A. Lulusan Bahasa dan Sastra Arab dari Tripoli Libya ini selain dikenal aktif berdakwah dengan media sosial beliau juga aktif dalam persyarikatan sebagai Wakil Ketua I Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Dalam salah satu potongan video dakwah nya yang viral, beliau menyebutkan dalam Bahasa yang mudah difahami oleh umat, bahwa Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) dapat diartikan sebagai Surah Para Pemusik.
Banyak pihak terkejut dengan pemaknaan ini, ada yang kecewa, berhenti mengikuti bahkan yang paling brutal ada yang sampai mengkafirkan UAH karena telah menghalalkan musik. Bagi mereka yang keras, musik apapun jenisnya dianggap secara general sebagai dosa dan maksiat layaknya zina dan minum khamar. Hadits yang dipakai sebagai dalil pengharaman adalah hadits umum yang sering diangkat tentang akan munculnya di akhir zaman kelak, suatu kaum dari umat islam yang akan menghalalkan zina, mabuk-mabukan, memakai sutra dan alat musik. Padahal jelas dalam Fiqih, permasalahan musik ini adalah ranah ikhtilaf Ulama.
Para Ulama sedari awal memang sudah berbeda pendapat tentang keharaman alat musik secara pasti, disebabkan tidak ada lafaz jelas (shorih) yang mengharamkan alat musik layaknya khamar, zina dan riba yang sudah pasti keharaman nya. Kata Musik (Al-Musiqo) merupakan kata baru di dalam nash agama Islam dan tidak pernah disebutkan secara gamblang (Shorihan) di Al-Quran maupun Sunnah tentang kehalalan ataupun keharaman nya. Kata yang sering kita dengar mengenai pengharaman musik hanya membawa kata ”Lahwul Hadits” (kalimat senda gurau) yang disebutkan dalam surah Luqman ayat 6, kemudian kata "Al-Ma’azif" (alat-alat yang menyebabkan senda gurau dan kelalaian) yang disebutkan di dalam hadits yang sama tentang pengharaman zina, khamar, dan sutera.
Musik di Era Jahiliyah, Shodrul Islam, Umawiyah dan Abbasiyah
Musik yang dikenal hari ini dengan berbagai genre-nya, bukan datang secara tiba-tiba. Di zaman Jahiliyah (200 tahun sebelum Islam datang), bahkan orang Arab Jahiliyah yang masih menyekutukan Allah dengan berhala, sudah mengenal istilah Al-Hida’. Al-Hida’ merupakan salah satu jenis nyanyian sederhana yang dipakai oleh Qofilah (rombongan orang Arab yang sedang safar dengan unta) memakai jenis bahar ( ketukan nada) yang dipercaya selaras dengan hentakan kaki unta. Ketukan nada ini bernama Bahar Rajaz. Bahar atau Buhur merupakan istilah dalam Ilmu Arudh dan Qawafi (salah satu cabang ilmu Bahasa Arab) yang mempelajari ketukan-ketukan nada dalam syair Arab.
Syair Arab yang mengandung unsur nada Buhur dan Qafiyah dan bisa diiringi oleh musik ini ternyata tidak pernah diharamkan dalam Islam. Bahkan Nabi Muhammad SAW sendiri memiliki penyair pribadi yang bernama Hassan bin Tsabit, Ka’ab bin Zuhair dan Ka’ab Bin Malik yang sedia membela Nabi dari serangan verbal berupa syair celaan (Hija’) dari orang Kafir Quraisy. Kepada Ka’ab bin Malik Nabi pernah menghadiahkan sorban nya sebagai tanda terima kasih atas syair burdah (pujian) nya untuk Nabi. Rasulullah SAW juga pernah memuji penyair wanita bernama “Khansa” sebagai penyair terbaik yang pernah ada yang dijelaskan dalam sebuah hadits. Siti Fatimah RA, anak perempuan yang paling dicintai Nabi, pun juga pernah membuat syair kesedihan (Ar-Ritsa’) untuk Baginda Nabi setelah wafatnya beliau.
Tradisi baik ini berlanjut hingga ke zaman kekhalifahan, setiap khalifah bahkan memiliki penyair pribadi nya masing-masing. Di zaman Umawiyah dan Abbasiyah berkembang pesat ilmu kepenyairan hingga muncul tokoh-tokoh penyair besar beberapa penyair yang paling terkenal seperti Akhthol, Farazdaq, Jarir, Ibnu Rumi, Al-Mutanabbi, dan Abu Nawas.
Bukan hanya membolehkan syair Arab, bahkan Nabi pernah membolehkan mizmar (jenis alat musik tiup) di dalam rumah beliau yang digunakan oleh beberapa anak perempuan saat hari raya. Nabi juga tidak mempermasalahkan syair yang diiringi alat musik, di saat Nabi datang ke Madinah untuk pertama kali, pun disambut oleh Kaum Anshar dengan genderang gendang syair pujian “Thola’al Badru ‘Alaina”, Nabi tidak mengharamkan nya. Bahkan ketika ada walimah di Madinah dalam keadaan senyap, Nabi pernah bertanya kepada para wanita di sana :”kenapa tidak dibunyikan nyanyian padahal orang Madinah sangat menyukai nyanyian?” (HR. Bukhari). Nabi justru merasa heran, di saat resepsi walimah yang berbahagia di Madinah saat itu, kenapa malah tidak ada musik?
Islam tidak sulit dan sesempit tempurung hingga mengharamkan sesuatu tanpa alasan. Islam sudah sejak lama menyentuh aspek-aspek baik di setiap unsur kehidupan yang bahkan belum terfikirkan oleh kita sebelumnya. Terlepas dari ikhtilaf Ulama dalam hukum fiqih nya, secara istilah kata musik (Al-Musiqo) sudah dipakai sejak zaman Abbasiyah dalam kitab Ibnu Sina “Asy-Syifa (Ar-Riyadhiyat) : Jawami’ Ilmu Musiqo”. Dasar-dasar pembolehan syair sejak zaman Nabi hidup sampai zaman Kekhalifahan Abbasiyah, (baik dengan musik ataupun tanpa alat musik), merupakan dalil terbesar yang pernah ada untuk membolehkan mendengarkan syair, selama itu baik, tidak mengandung maksiat dan tidak melalaikan dari mengingat Allah SWT.
Jadi bukanlah sebuah hal yang baru apabila Surah Asy-Syu’ara (Surah Para Penyair) diartikan oleh UAH secara kontekstual menjadi (Surah Para Pemusik), karena memang pada dasarnya syair-syair Arab itu memang memiliki unsur “musiqo syi’ir” atau musik syair tersendiri, yaitu ketukan nada pada Bahar dan Qawafi nya. Sehingga bukanlah syair Arab apabila tidak ada unsur musiknya, dan tidak akan tercipta musik dalam dunia Islam tanpa adanya syair Arab. Keduanya bagaikan dua sisi koin yang tidak dapat dipisahkan, dan siapapun yang membaca sejarah akan dapat melihatnya.