Bencana Makanan dan Minuman Halal di Sekitar Kita

Publish

25 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
90
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Bencana Makanan dan Minuman Halal di Sekitar Kita 

Oleh: Mochamad Novi Rifa'i .MA .ME, Dosen Prodi Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Malang

Pada mulanya, konsep halal dalam Islam lahir sebagai bentuk perlindungan Ilahi terhadap manusia dari segala yang merusak, baik secara fisik maupun spiritual. Tidak sekadar menjadi aturan formal, halal adalah manifestasi dari kasih sayang Tuhan yang menghendaki kebaikan bagi hamba-Nya. Namun, dalam praktiknya, pemahaman masyarakat tentang halal sering kali terjebak pada aspek legal-formal semata, tanpa menyentuh hakikatnya yang lebih dalam, yakni thayyib yang berarti baik, bersih, dan menyehatkan.  

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 168, Allah berfirman dengan tegas: "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan thayyib yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu." Ayat ini menyandingkan halal dan thayyib sebagai dua prinsip yang tak terpisahkan. Sayangnya, di tengah gempuran industri makanan modern, banyak produk berlabel halal tidak dilengkapi informasi prinsip thayyib, baik karena kandungan bahan tambah pangan, proses produksi yang eksploitatif, maupun dampak ekologis yang merusak.  

Substansi Halal yang Terlupakan: Mengapa Thayyib Wajib Dipenuhi?  

Poin terpenting bukan sekadar cap halal pada kemasan, melainkan substansi di baliknya. Sebuah produk boleh jadi dinyatakan halal karena tidak mengandung babi atau alkohol, tetapi jika di dalamnya terkandung banyak bahan aditif, seperti tinggi bahan yang tidak alami, dan pemanis buatan berlebihan, atau diproduksi dengan cara yang merusak lingkungan, apakah ia layak disebut thayyib?  

Buya Syafii Maarif dalam bukunya 'Al-Qur'an untuk Tuhan atau untuk Manusia?' mengingatkan bahwa Al-Qur'an bukan teks sakral yang terisolasi dari realitas manusia, melainkan petunjuk hidup yang relevan bagi kemanusiaan. Misalnya, beberapa produk makanan ultra processs (UPF) yang di cap halal tetapi mengandung bahan aditif dan minim gizi, jelas bertentangan dengan prinsip thayyib (kebaikan holistik).

Lebih parah lagi, industri makanan halal modern kerap terjebak dalam paradoks konsumerisme. Label halal digunakan sebagai alat pemasaran, sementara tanggung jawab sosial ekologis serta kesehatan pada masa akan datang diabaikan. Seperti dikritik Karen Armstrong dalam The Case for God, agama kadang direduksi menjadi komoditas. Hal tersebut bisa jadi nampak dalam praktik label halal yang dianggap menjamin keamanan mutlak, padahal aspek thayyib (kebaikan holistik) bagi setiap individu itu berbeda dan sering terlupakan.

Bencana Konsumsi: Ketika Halal Tanpa Thayyib Menjadi Ancaman

Kata "bencana" sengaja dipakai karena kita sedang menghadapi krisis multidimensi akibat mengabaikan prinsip thayyib. Bencana ini tidak hanya berdampak pada kesehatan individu, tetapi juga generasi manusia masa depan, tatanan sosial dan lingkungan.  

Di satu sisi, ancaman kesehatan muncul dari beberapa makanan dalam kemasan halal. Jull et al. dalam penelitiannya mengungkanpkan bahwa konsumsi ultra-processed foods berdampak signifikan terhadap kesehatan, terutama dalam hal profil lipid serum. Makanan ini meningkatkan kadar LDL (Low Density Lipoprotein) dan trigliserida sambil menurunkan HDL (High-Density Lipoprotein), sehingga memperburuk keseimbangan lipid darah. Selain itu, ultra-processed foods juga mengubah komposisi mikrobiota usus, menyebabkan gangguan metabolisme dan memicu inflamasi. Dampaknya terhadap berat badan dan obesitas juga jelas, karena sifatnya yang hiperkalori, rendah serat, dan sangat palatable mendorong konsumsi berlebihan serta penumpukan energi.

Kandungan glikemik tinggi dalam makanan ini menyebabkan lonjakan gula darah yang cepat, memicu inflamasi dan resistensi insulin dalam jangka panjang. Tingginya sodium dan bahan aditif seperti bisfenol A (BPA) serta emulsifier berkontribusi pada peningkatan risiko hipertensi dan gangguan hormonal. Proses metaboliknya juga menyebabkan disfungsi endotel melalui stres oksidatif dan peradangan kronis.

Perubahan struktur makanan dan adanya bahan kimia dalam ultra processed foods (UPF) memengaruhi mikrobiota dan metabolisme, dengan dampak yang bisa merugikan atau menguntungkan mikrobioma usus. Selain itu, makanan ini cenderung menggantikan asupan nutrisi positif seperti buah dan sayur, mengurangi perlindungan alami terhadap penyakit kardiovaskular serta menyebabkan Gangguan fungsional terhadap saluran pencernaan, Jennifer et al tentang konsumsi UPF berkaitan dengan penyebab beberapa kanker, diabetes tipe 2, serta beberapa penyakit kronis. Dengan demikian, konsumsi ultra processed foods berlebihan dapat memperburuk berbagai aspek kesehatan metabolisme organ dalam manusia.

Nabi Muhammad SAW telah mengingatkan dalam sebuah hadis: "Tidaklah seseorang mengisi wadah yang lebih buruk dari perutnya. Cukuplah bagi manusia beberapa suap untuk menegakkan tulang punggungnya. Jika harus dilakukan, maka sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk nafasnya." (HR. Tirmidzi). Hadis ini menekankan keseimbangan dan kualitas, bukan sekadar status halal. Jika makanan halal justru merusak tubuh karena kandungan kimianya, apakah ia masih bisa layak disebut "baik"?  

Di sisi lain, eksploitasi dan kerusakan lingkungan terjadi di balik industri halal. Banyak produk halal yang diproduksi dengan cara tidak etis. Perkebunan kelapa sawit untuk minyak halal seringkali membabat hutan dan mencemari sungai. Bahkan, beberapa produk yang tidak jelas kehalalannya diberi label halal sendiri tanpa sertifikasi dari lembaga resmi demi mengejar keuntungan. Ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adl) dan keseimbangan (mizan) dalam Islam.  

Mengapa Thayyib Sering Diabaikan?

Pertama, pemahaman agama yang parsial membuat masyarakat fokus pada ritual kehalalan, seperti penyembelihan, bebas babi, darah maupun bangkai, namun mengabaikan aspek keberlanjutan kesehatan dan keadilan sosial. Padahal, Islam menekankan bahwa makanan harus tidak merugikan diri sendiri, orang lain atau alam.  

Kedua, dominasi industri kapitalistik mengubah makanan halal menjadi komoditas bernilai triliunan dolar. Bisa jadi korporasi mengorbankan prinsip thayyib demi efisiensi produksi dan keuntungan maksimal.  

Ketiga, lemahnya regulasi dan edukasi membuat sertifikasi halal di banyak negara termasuk Indonesia masih terfokus pada aspek syariah formal, belum mengarah kepada mempertimbangkan dampak kesehatan, lingkungan, atau sosial.  

Solusi: Menghidupkan Kembali Kesadaran Thayyib 

Pertama, konsumen harus lebih kritis dengan membaca label secara cermat. Jangan hanya mencari logo halal, tetapi periksa juga komposisi, kandungan gizi, dan asal-usul bahan. Memilih produk lokal juga dapat mengurangi jejak karbon dan mendukung petani atau nelayan kecil yang lebih berkelanjutan.  

Kedua, lembaga sertifikasi hendaknya memperluas kriteria halal dengan memasukkan parameter thayyib, seperti dampak konsumsi berlebihan, proses produksi ramah lingkungan, dan tidak melibatkan eksploitasi pekerja.  

Ketiga, ulama dan tokoh agama perlu lebih vokal menyosialisasikan konsep halal thayyib secara utuh. Khutbah, kajian, dan fatwa perlu menekankan tanggung jawab kesehatan individu, sosial dan ekologis dalam konsumsi, bukan hanya aspek ritual semata.

Sebagaimana diingatkan oleh Hamka dalam Tasawwuf Modern bahwa Agama bukan hanya perihal perintah shalat dan puasa, tetapi juga keharmonisan antara diri sendiri dengan semua ciptaan Tuhan. Makanan halal yang tidak thayyib adalah pengingkaran terhadap ajaran agama ini.  

Marilah kita menjadi konsumen yang cerdas dan bertanggung jawab. Tidak hanya bertanya "halalkah?", tetapi juga "thayyibkah?" Tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi juga dampaknya bagi generasi mendatang, masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian, kita tidak hanya menyehatkan diri, tetapi juga turut membangun peradaban yang lebih adil dan berkelanjutan. Sebab, halal tanpa thayyib adalah ibadah yang cacat, seperti shalat yang khusyuk, namun tangan masih korup.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Bukan 'Othak-Athik-Gathuk' Oleh: Wahyudi Nasution Orang yang tidak mengenal bahasa dan budaya Jawa....

Suara Muhammadiyah

5 November 2024

Wawasan

Oleh :  Priyono, S.HI., M.H Secara etimologi, pemuda syab (Arab), youth (Inggris) selalu diart....

Suara Muhammadiyah

14 September 2023

Wawasan

Dua Tahun Kepergian Sang Guru Bangsa Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Kemerdekaan it....

Suara Muhammadiyah

27 May 2024

Wawasan

Jalan Berliku Kesejahteraan Guru Oleh: Rizki Putra Dewantoro, Kader Muhammadiyah Kesejahteraan gur....

Suara Muhammadiyah

28 November 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Di dunia kita yang semakin sibu....

Suara Muhammadiyah

7 June 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah