Perbedaan Zaman: Buya Hamka dan KH Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
34
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Perbedaan Zaman: Buya Hamka dan KH Ahmad Dahlan dalam Muhammadiyah

Oleh Bayu Madya Chandra, SEI, Pengajar Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut

KH Ahmad Dahlan (1868–1923) dan Buya Hamka (1908–1981) merupakan dua tokoh sentral dalam sejarah Muhammadiyah, organisasi Islam modernis yang didirikan pada 1912 di Yogyakarta. Perbedaan zaman mereka mencerminkan evolusi Muhammadiyah dari fase pendirian di era kolonial awal (KH Ahmad Dahlan) ke fase penguatan dan ekspansi di era kemerdekaan dan Orde Lama (Buya Hamka). KH Ahmad Dahlan fokus pada pembaruan dasar Islam dan pendirian fondasi organisasi, sementara Buya Hamka lebih menekankan pengembangan intelektual, sastra, dan dakwah melalui tulisan. Berikut penjelasan komprehensif, termasuk peran mereka dan tulisan-tulisan terkait Muhammadiyah.

Latar Belakang dan Perbedaan Zaman

KH Ahmad Dahlan (Era Kolonial Awal, 1868–1923): Lahir di Kauman, Yogyakarta, sebagai Muhammad Darwis, ia menjadi Haji Ahmad Dahlan setelah haji pertama. Terinspirasi oleh pemikir reformis seperti Muhammad Abduh, ia mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 untuk memurnikan ajaran Islam dari bid'ah dan takhayul, sambil memadukan pendidikan modern. Zaman Dahlan ditandai oleh tantangan kolonial Belanda, di mana Muhammadiyah awalnya dibatasi sebagai organisasi sosial-pendidikan, bukan politik. Ia memimpin hingga wafatnya pada 1923, meletakkan fondasi seperti madrasah dan amal usaha.

Buya Hamka (Era Kemerdekaan, 1908–1981): Lahir di Maninjau, Sumatra Barat, sebagai Abdul Malik Karim Amrullah, Hamka adalah putra ulama Muhammadiyah Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Ia bergabung Muhammadiyah pada 1925 di usia muda, setelah belajar di Yogyakarta dan Pekalongan dari tokoh seperti Ki Bagus Hadikusumo dan AR Sutan Mansur. Zaman Hamka mencakup perjuangan kemerdekaan, revolusi fisik, dan pasca-kemerdekaan, di mana Muhammadiyah berkembang menjadi gerakan nasional. Hamka aktif hingga akhir hayatnya, termasuk sebagai Ketua MUI pertama (1975–1981), dan dianugerahi Pahlawan Nasional.

Perbedaan zaman ini memengaruhi peran mereka: Dahlan sebagai "pembuka jalan" di tengah represi kolonial, sementara Hamka sebagai "pengembang" di era yang lebih terbuka, dengan fokus pada intelektualisme dan nasionalisme Islam.

Peran dalam Muhammadiyah

Kedua tokoh ini saling melengkapi: Dahlan mendirikan, Hamka memperluas. Berikut perbandingan peran utama:

Aspek Peran: KH Ahmad Dahlan (Pendiri, 1912–1923)

Fokus Utama: Pembaruan ajaran Islam (tajdid), pendidikan modern, dan amal sosial dasar (madrasah, rumah sakit awal). Menghadapi kritik keras dari kalangan tradisionalis.

Kontribusi Organisasi: Mendirikan Muhammadiyah sebagai badan hukum (1912), membentuk struktur awal seperti Taman Pustaka. Memimpin ekspansi ke Jawa dan Nusantara.

Dampak Sosial: Memerangi bid'ah, mempromosikan ilmu pengetahuan (guru, insinyur). Dianggap Pahlawan Nasional (1961).

Tantangan Zaman: Represi Belanda, oposisi internal (fatwa anti-Muhammadiyah).

Aspek Peran: Buya Hamka (Pengembang, 1925–1981)

Fokus Utama: Dakwah melalui sastra dan tulisan, pendidikan, serta kepemimpinan organisasi. Memperkuat Muhammadiyah di Sumatra Barat dan nasional, termasuk mendirikan cabang di Padang Panjang (1925).

Kontribusi Organisasi: Ketua cabang Padang Panjang, anggota Hoofdbestuur (Dewan Pimpinan Pusat), dan tokoh Masyumi (sayap politik Muhammadiyah). Aktif di kongres Muhammadiyah sejak 1928.

Dampak Sosial: Mengintegrasikan Islam dengan nasionalisme, mendukung perjuangan kemerdekaan. Pengaruhnya di Asia Tenggara melalui tulisan.

Tantangan Zaman: PRRI (1958, sempat dipenjara), tapi tetap setia Muhammadiyah hingga wafat.

KH Ahmad Dahlan meletakkan "batu fondasi" Muhammadiyah sebagai gerakan global, sementara Buya Hamka menjadikannya "motor pembaruan" di Minangkabau dan nasional.

Tulisan-Tulisan Mereka tentang Muhammadiyah

Kedua tokoh menggunakan tulisan sebagai alat dakwah, tapi bentuknya berbeda: Dahlan lebih pada wasiat dan pidato lisan yang direkam, Hamka pada karya sastra dan biografi. Berikut ringkasan:

Tulisan KH Ahmad Dahlan: Dahlan tidak banyak meninggalkan buku formal karena fokus pada pengajaran lisan, tapi wasiat dan pidatonya menjadi dasar doktrin Muhammadiyah. Contoh:

Wasiat Utama (1923): "Kaoem Islam di doenia bakal berta’lok pada Moehammadijah" (Umat Islam dunia akan bertakluk pada Muhammadiyah). Ia mendorong kader belajar ilmu modern: "Teruslah bersekolah... Jadilah guru, master, insinyur... kembalilah kepada Muhammadiyah." Ini tercatat dalam Riwajat Hidup K.H.A. Dahlan oleh Junus Salam (1968).
Kata Mutiara: "Hidup-hidupi Muhammadiyah, dan jangan cari penghidupan di Muhammadiyah" – menekankan pengabdian ikhlas, bukan mencari nafkah.

Pidato di Kongres Boedi Oetomo (1917): Menyatakan Muhammadiyah harus menyebar ke seluruh Nusantara, bukan hanya Yogyakarta. Ini menjadi visi ekspansi awal.

Tulisannya bersifat visioner, direkam oleh murid seperti H. Abdoel Aziz di Soewara Muhammadiyah (1927).

Tulisan Buya Hamka: Hamka produktif (115+ buku), sering menulis di media Muhammadiyah seperti Suara Muhammadiyah dan Pembela Islam. Tulisannya memuji Dahlan dan menganalisis Muhammadiyah. Contoh:

Orang-orang Besar dalam Islam: K.H. Ahmad Dahlan (biografi, ~1950-an): Menempatkan Dahlan sebagai tokoh global, bukan hanya Indonesia. Hamka gambarkan Dahlan sebagai mujaddid (pembaru) yang membagi peran dengan Syekh Soorkati (Al-Irsyad untuk Arab, Muhammadiyah untuk Jawa).

Muhammadiyah di Minangkabau (1974, diterbitkan Yayasan Nurul Islam): Sejarah perkembangan Muhammadiyah di Sumatra Barat, termasuk peran ayahnya Haji Rasul. Hamka tekankan pembaruan melawan Wahdatul Wujud yang menyimpang.
Artikel di Pedoman Masyarakat (1936) dan Panji Masyarakat: Banyak esai tentang dakwah Muhammadiyah, seperti reformasi tasawuf modern (Tasawuf Modern, 1939) yang selaras dengan semangat Muhammadiyah.

Karya sastra seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) dan Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (1937): Mengandung pesan moral Islam progresif, sejalan dengan misi Muhammadiyah.

Hamka sering sebut Dahlan sebagai inspirasi, seperti dalam tulisannya yang gambarkan 1923 bukan akhir, tapi awal kejayaan Muhammadiyah.

Perbedaan zaman membuat KH Ahmad Dahlan sebagai arsitek fondasi Muhammadiyah di era kolonial yang penuh tantangan, sementara Buya Hamka menjadi penyebar ide dan penguat di era kemerdekaan yang lebih dinamis. Tulisan mereka saling melengkapi: Wasiat Dahlan sebagai "peta jalan" ikhlas, tulisan Hamka sebagai "cerita sukses" intelektual. Keduanya menjadikan Muhammadiyah gerakan abadi yang memadukan tauhid murni dengan kemajuan zaman.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Hidup Ini Hanya Sekali, Dibekali dengan Huruf C Oleh: Muhammad Fitriani, Aktivis Muhammadiyah Kalte....

Suara Muhammadiyah

12 September 2025

Wawasan

Hikmah Hijrah (Serial Kehidupan SAW)  Oleh : Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

27 September 2024

Wawasan

Membangun Motivasi Belajar Peserta Didik Melalui Pembelajaran Berbasis Proyek  Oleh: Lis Atina....

Suara Muhammadiyah

4 December 2023

Wawasan

Mensyukuri 61 Tahun IMM: Merawat IMM, Memajukan Indonesia Oleh: Muhammad Dwi Cahyo, Ketua Umum DPD ....

Suara Muhammadiyah

14 March 2025

Wawasan

Oleh: Muchamad Arifin, Ketua Lembaga Dakwah Komunitas Pimpinan Pusat Muhammadiyah Saudaraku para da....

Suara Muhammadiyah

17 August 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah