Berbagi dan Kehangatan di Ujung Menteng Raya
Oleh: Mahli Zainuddin Tago
Jalan Menteng Raya Jakarta Pusat, dua tahun yang lalu. Pukul 08.30 aku menuntaskan sepiring nasi, tumis kacang panjang, dan jengkol. Warungnya kecil saja dan menumpang di teras rumah di seberang Gang Tembok. Tetapi masakannya lumayan enak. Lalu pesan WA dari seorang teman masuk, “ayo sarapan ke Hotel Sofyan.” Aku jawab, “ aku bar sarapan. Kikil dan jengkolnya uwenake polll. Chef Hotel Sofyan lewat.” Ternyata harganya juga hanya sekian rupiah. Selesai membayar sebelum berlalu aku berpesan pada pemilik warung “kembaliannya untuk sarapan Abang Parkir itu ya.” Setelah agak jauh aku menengok ke belakang. Si Abang Parkir mengangkat tangan lama penuh terima kasih. Aku membalasnya dengan dua jempol. Tiba-tiba pelupuk mataku terasa hangat. Sarapan pagiku hari ini diikuti oleh kebahagiaan berbagi. Betapapun kecilnya.
Lalu periodeku memimpin Lazismu selesai. Intensitasku berkantor di Gedung PP Muhammadiyah Jalan Menteng Raya 62 pun menurun. Hampir dua tahun aku tidak lagi sarapan di kawasan Kalipasir, Stasiun Gondang Dia, atau di warung seberang Gang Tembok tersebut. Sampai pada pagi 31 Mei 2024 aku kembali singgah untuk sarapan di warung yang sama. Pemilik warung terkejut dengan kunjunganku. Aku terkejut oleh keterkejutannya. Beliau ternyata masih mengingat aku. Beliau heran kemana saja aku pelanggan yang sudah dua tahun lebih tidak muncul di warungnya. Maka sambil sarapan kami kembali mengobrol. Aku kembali meminta pemilik warung menyediakan sarapan untuk Si Abang Parkir. Juga untuk seorang nenek penjual gorengan di depan kantor BNI. Di sebelah warung. Obrolan kami menjadi inspirasi tulisanku kali ini.
Nama warungnya Warung Nasi Kebumen. Pemiliknya bernama Mbak Solehah. Lokasinya di teras rumah persis di seberang Gang Tembok, gang antara Gedung Joang 45 dengan Hotel Treva yang kini bernama Ultima Horison. Rumah ini ternyata mess sebuah perusahaan kontraktor. Salah satu proyeknya pada era 1990-an adalah Waduk Wadas Lintang di Kebumen. Disini Mbak Sol bertemu Bang Pendi suaminya orang Palembang pekerja perusahaan itu. Kini Bang Pendi sudah pensiun. Tetapi dia dipercaya menjadi penjaga mess perusahaan. Dua anak mereka yang sudah menikah masih tinggal di Kebumen. Bang Pendi dan Mbak Sol membuka Warung Nasi Kebumen ini. Sayangnya kali ini tidak ada semur jengkol favoritku. Tetapi keramahan dan cerita-cerita kehidupan dalam obrolan kami melebihi kenikmatan semur jengkol dimanapun.
Dari Mbak Sol aku tahu Si Abang Parkir dan Si Mbah penjual gorengan. Si Abang Parkir bernama Bang Aan. Beliau penduduk asli Gang Tembok yang sebagaimana banyak orang Betawi lainnya tersingkir ke tepi ibukota. Kini Bang Aan tinggal di Depok. Setiap hari beliau masih mendatangi kawasan Gang Tembok sebagai juru parkir. Dengan usia yang sudah lebih 60 tahun Bang Aan ramah melayani pelanggan yang parkir di depan warung Mbak Sol. Sedangkan penjual gorengan bernama Mbah Suriah, berumur 70-an tahun, dan berasal dari Purwokerto. Meski sudah tua beliau masih rajin mencari rezeki. Sebagaimana Mbak Sol ciri khas Mbah Sur adalah keceraiaan. Tipikal orang Banyumas yang dikenal humoris dan selalu gembira. Setidak-tidaknya ini tercermin dari dialek ngapak Bahasa Jawa mereka yang lucu di telinga orang Jogja. Mereka bersemboyan “ora ngapak ora kepenak.”
Suasana warung Mbak Sol pagi ini menjadi spesial dengan teman sarapan di sebelahku. Kami terlibat obrolan ringan yang hangat. Pria berumur beberapa tahun di atasku ini bernama, sebut saja, Bang Willy. Abang dari Flores ini sejak tahun 80-an merantau ke Jakarta untuk kuliah di Universitas Atmajaya jurusan Administrasi Niaga. Bang Willy kemudian bekerja di perusahaan leasing dan pensiun beberapa tahun yang lalu. Kini beliau tinggal di Jakarta tanpa pekerjaan tetap. Istri dan dua anaknya tinggal di kampung halaman. Solidaritas sesama warga NTT di Jakarta membuat beliau bisa terus bertahan. Di Jakarta mereka berkumpul dalam perkumpulan FLOBAMORA, Flores Sumba Timor Alor. Di NTT mereka beda pulau dan beda bahasa daerah. Di Jakarta mereka dipersatukan oleh kesadaran sebagai sesama orang satu propinsi dan oleh Bahasa Indonesia.
Perbincangan dengan Bang Willy berkembang ke tema hubungan antar ummat beragama. Aku bercerita dulu pernah ke IKIP Muhamadiyah Maumere, sering ke Maluku dan Sorong, serta bertemu banyak sahabat non muslim. Bang Willy senang mendengar ada istilah Krismuha atau Kristen Muhammadiyah. Ini istilah untuk warga Nasrani yang sekolah atau kuliah di kampus-kampus Muhammadiyah. Bang Willy juga sangat mengapresiasi aktivitas Muhammadiyah sebagai lembaga sosial yang bergerak dalam berbagai bidang. Kami juga sepemahaman dengan perlunya toleransi substantif. Sebagaimana dijalankan Muhammadiyah di berbagai kawasan tanah air. Tidak berhenti pada sekedar retorika penuh kepentingan politik pragmatis. Toleransi antar ummat beragama ini menurut bang Willy sudah ada sejak jaman nenek moyang dulu.
Tema obrolan kami lalu bergeser ke keindahan alam di pulau-pulau Indonesia Timur. Kami berbincang tentang Labuhan Bajo yang eksotik. Juga tentang perjalanan Lazismu dengan ekspedisi Klinik Apung Said Tuhuleley. Kapal klinik ini menyasar pulau-pulau pedalaman Maluku. Meski hanya sebentar ada kehangatan dan keakraban dalam obrolan kami. Di ujung cerita aku minta izin untuk membayar semua sarapan kami di warung Mbak Sol pagi ini. Kami adalah aku, Bang Aan, Mbah Suriah, dan Bang Willy. Kamipun bergembira bersama. Menariknya harga sarapan kami berempat ini hanya 52 ribu rupiah, seperenam dari 292 ribu harga makan malam untuk satu orang di Relish Bistro. Ini restoran di lantai dasar Apartemen Frasier sebelah kantor PP Muhammadiyah. Padahal kehangatan suasana Warung Nasi Kebumen dua kali lipat dibanding suasana di restoran premium itu.
Dua minggu yang lalu aku mestinya berada di Hulu Langat Malaysia. Aku bersama Pak Syifa akan menjalankan program pangabdian masyarakat kolaborasi internasional. Program ini kerjasama UMY, Himpunan Keluarga Kerinci Nasioal Perwakilan Malaysia, dan Universiti Malaya. Kami akan saling belajar dengan para pekerja migran di negeri jiran ini. Pada acara ini aku juga akan membagikan buku terbaruku KERINCI Cerita tentang Tanah Kelahiran. Buku ini ternyata menarik perhatian teman-teman di Akademi Pengajian Melayu Universiti Malaya, universitas terbaik di Malaysia. Bukuku direncanakan akan dibedah disana pada 13 Mei 2024. Flyernya dibuat Asmaa kolaborator kami disana dan sudah beredar. Foto gantengku juga sudah terpampang di dalamnya.
Tetapi kami belum beruntung. Pasporku tertahan di Kedutaan Norwegia. Aku dan istri memang merencanakan mengunjungi cucu kami di Norwegia dalam waktu dekat. Untuk itu kami telah mengurus visa dan menunggu selesainya sejak dua minggu yang lalu. Ternyata aku salah perhitungan. Ketika sudah waktunya berangkat ke Malaysia pasporku masih dalam proses pengurusan visa Norwegia. Bahkan pasporku kini berada di Kedubes Norwegia di Bangkok. Maka aku dan Pak Syifa tidak bisa ke luar negeri. Kami terpaksa menjadwal ulang agenda di Hulu Langat dan di Universiti Malaya. Tiket berangkat kami dengan Air Asia pun hangus. Untungnya tiket pulang dengan Malaysia Airline bisa dijadwal ulang. Dengan pasporku yang belum pasti di tangan kami sudah memastikan akan berangkat ke Malaysia sebelum tanggal 12 Juni.
Warung Nasi Kebumen ujung Menteng Raya, 31 Mei 2024. Aku selesai sarapan ketika hapeku berdering. Sebuah nomor tidak dikenal berawalan 021 muncul. Ternyata telepon dari staf Kedutaan Norwegia. Dia mengabarkan visa dan pasporku sudah jadi. Aku bisa mengambilnya di mall Kuningan City. Maka rasa haru tiba-tiba menyergapku. Paspor adalah sesuatu yang paling aku tunggu hari-hari ini. Tiba-tiba ia datang begitu mudah. Ini terjadi setelah aku baru saja menraktir empat sahabat sarapan di Warung Nasi Kebumen. Aku pun segera pamit ke Mbak Sol dan tiga teman baruku Bang Willy, Bang Aan, dan Mbah Suriah. Mereka tentu berterima kasih atas sarapan gratis. Mereka juga gembira tahu aku akan menengok cucu di negeri nan jauh. Semoga kami bisa kembali bersama. Menikmati hangatnya kebersamaan di pojok jalan Menteng Raya-Jakarta.