Berhenti Menipu Calon, Hentikan Politik Uang: Suara Rakyat Bukan Barang Dagangan

Publish

3 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
57
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Berhenti Menipu Calon, Hentikan Politik Uang: Suara Rakyat Bukan Barang Dagangan

Oleh: Dr. Ijang Faisal, M.Si)*

Setiap musim pemilu tiba, bangsa ini seperti menonton sandiwara lama yang diputar ulang. Pemilu yang seharusnya menjadi pesta demokrasi justru kerap berubah menjadi pasar gelap politik. Para calon legislatif, bupati, gubernur, hingga calon presiden tidak hanya berhadapan dengan rival politiknya, tetapi juga menghadapi praktik “penipu calon” yang dimainkan sebagian oknum masyarakat dan kelompok tertentu. Fenomena ini ibarat lahan basah yang ditumbuhi rumput ilalang transaksional: semakin disiram uang, semakin subur pula praktik manipulatifnya.

Riset Perludem (2023) menegaskan bahwa politik uang masih menjadi faktor paling dominan yang merusak kualitas pemilu di Indonesia. Tidak jarang, calon didatangi dengan proposal bantuan, janji pengerahan massa, hingga kontrak politik fiktif. Mereka dijanjikan paket suara seolah-olah dapat memastikan kemenangan, padahal nyatanya dukungan itu semu. Praktik ini menjerumuskan calon ke dalam jebakan biaya politik tinggi. Penelitian ICW (2022) membuktikan, biaya kampanye yang membengkak akibat transaksi semacam ini menjadi pemicu utama suburnya korupsi politik, terutama di tingkat daerah.

Lingkaran Setan Korupsi Politik

Celakanya, banyak calon akhirnya tergoda dan menganggap politik uang sebagai jalan pintas. Dari sinilah lingkaran setan demokrasi bermula. Kandidat yang sudah mengeluarkan miliaran rupiah tentu memandang jabatan bukan sebagai amanah, melainkan sebagai investasi yang harus segera dipanen. 

Alih-alih memperjuangkan kepentingan publik, jabatan dijadikan ladang untuk mengatur proyek, memperdagangkan kebijakan, atau sekadar menutup biaya politik. Data KPK (2024) menunjukkan, lebih dari 70% kasus korupsi berkaitan dengan kepala daerah dan anggota DPR/DPRD, sebagian besar terjebak karena ongkos politik yang terlampau mahal.

Demokrasi sejati mestinya berdiri di atas gagasan, integritas, dan kepercayaan publik, bukan di atas transaksi material. Ketika rakyat memulai proses demokrasi dengan menjual suara, sejatinya rakyat sendiri yang menyiapkan jalan bagi lahirnya pemimpin korup yang dzolim untuk rakyat secara keseluruhan. 

Ibarat petani yang menanam benih busuk, jangan berharap akan tumbuh pohon dan tanaman yang sehat. Seperti ditegaskan Liddle & Mujani (2019), kualitas kepemimpinan yang lahir dari pemilu sangat ditentukan oleh kualitas pilihan rakyat itu sendiri. Artinya bahwa rakyat punya peran penting dalam menentukan pemimpin yang baik atau pun yang tidak baik.

Selama ini, politisi kerap dijadikan kambing hitam atas buruknya demokrasi. Memang benar, banyak pejabat akhirnya terjerat kasus korupsi. Namun, jarang disadari bahwa rakyat juga punya andil besar. Ketika sebagian masyarakat menjadikan pemilu sebagai ajang transaksi, dengan meminta uang, sembako, atau fasilitas, maka sejak awal rakyat sudah ikut meruntuhkan fondasi demokrasi. 

Hasil penelitian LIPI tahun 2019 mencatat, sekitar 30% pemilih di Indonesia masih menganggap wajar menerima uang dari kandidat. Angka ini menunjukkan betapa praktik politik uang masih dianggap lumrah dalam setiap pesta demokrasi. Padahal, demokrasi bukanlah soal siapa yang mampu membayar paling banyak, melainkan siapa yang mampu menawarkan gagasan terbaik untuk kemajuan bangsa. Jika suara rakyat hanya ditukar dengan sejumlah uang, maka yang kita bangun bukan demokrasi, melainkan pasar transaksional yang miskin nilai.

Dampaknya bisa kita rasakan bersama. Seorang calon legislatif atau kepala daerah yang sudah mengeluarkan biaya miliaran rupiah tentu tidak akan duduk dengan tenang, melainkan berusaha keras “mengembalikan modal” melalui kebijakan yang tidak selalu berpihak pada rakyat. Transparency International (2022) bahkan menyebut, tingginya biaya politik merupakan akar utama korupsi di negara-negara berkembang. Maka, ketika rakyat rela memperjualbelikan suaranya, sesungguhnya rakyat sendiri sedang ikut menanam benih korupsi yang kelak tumbuh menjadi kebijakan yang merugikan mereka.

Di sinilah pentingnya kesadaran bersama. Uang politik memang bisa memberi keuntungan sesaat, tetapi dampak buruknya akan jauh lebih panjang. Ibarat menukar padi dengan ilalang: sekilas tampak hijau, tetapi tak pernah mengenyangkan. Karena itu, sudah saatnya rakyat menolak politik uang, lembaga pengawas memperkuat penegakan hukum, dan pendidikan politik diperluas agar masyarakat memilih dengan nurani, bukan dengan amplop. Demokrasi yang bersih hanya bisa lahir jika suara rakyat tidak lagi diperjualbelikan.

Mengembalikan Marwah Pemilu

Pemilu mendatang seharusnya menjadi momentum refleksi nasional. Pemilu bukan sekadar ajang mencari pemenang, melainkan cermin kualitas demokrasi. Jika rakyat sungguh-sungguh ingin memiliki wakil rakyat yang amanah dan kepala daerah yang visioner, maka langkah pertama yang harus ditempuh adalah berhenti menipu calon dan menolak politik uang. LIPI (2019) menegaskan, politik transaksional bukan hanya merusak representasi, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap demokrasi.

Kesadaran ini semakin penting karena satu suara tidak bisa diukur dengan selembar rupiah. Suara adalah amanah besar yang menentukan arah bangsa. Memang, demokrasi tanpa uang bukanlah hal yang mudah, tetapi bukan pula sesuatu yang mustahil. Negara-negara Skandinavia telah membuktikan bahwa pemilu bersih dapat terwujud jika rakyat memiliki kesadaran kolektif untuk menjaga integritas (Norris & Inglehart, 2019).

Dari sini dapat dipahami bahwa akar kerusakan demokrasi tidak hanya terletak pada politisi yang korup, melainkan juga pada rakyat yang tega memperjualbelikan suara. Ketika sebagian masyarakat menipu calon dengan iming-iming dukungan palsu atau menerima uang dan fasilitas sebagai syarat memilih, maka rakyat sejatinya sedang menjadi arsitek lahirnya pemimpin yang korup. 

Pemimpin yang lahir dari suara transaksional bukanlah amanah, melainkan ujian bagi bangsa. Ia menjadikan jabatan sebagai ladang pengembalian modal, bukan ladang pengabdian. Padahal, setiap jabatan kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Maka, ketika rakyat menjual suara, sesungguhnya ia sedang ikut menjerumuskan dirinya dan pemimpinnya ke dalam dosa kolektif.

Apabila praktik ini terus dipelihara, maka jangan pernah berharap lahir dewan yang bersih atau kepala daerah yang bekerja tulus. Demokrasi hanya dapat diselamatkan jika rakyat berani menghentikan praktik penipuan terhadap calon, menolak politik uang, dan memilih berdasarkan nurani serta integritas calon, bukan nominal rupiah.

Dengan demikian, kunci perubahan sesungguhnya ada di tangan rakyat. Hentikan memperdagangkan suara, dan kembalikan pemilu pada marwah sejatinya: pesta demokrasi untuk melahirkan pemimpin terbaik berdasarkan gagasan, rekam jejak, dan integritas. Jika rakyat berani menjaga integritas politiknya, maka demokrasi Indonesia akan lebih mampu menghadirkan pemimpin yang jujur, bersih, dan berorientasi pada kepentingan publik. Hanya dengan cara itulah cita-cita menghadirkan pemerintahan yang adil dan berintegritas benar-benar dapat terwujud.

*) Dosen Komunikasi Politik Universitas Muhammadiyah Bandung


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Belajar dari Kiai Dahlan dan Jackie Chan Oleh: Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan I....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Wawasan

Oleh: Donny SyofyanDosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Pembahasan buku selanjutnya terka....

Suara Muhammadiyah

13 November 2024

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (7) Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Pada I....

Suara Muhammadiyah

19 October 2023

Wawasan

Anak Saleh (30)Oleh: Mohammad Fakhrudin/Warga Muhammadiyah Magelang "Anak saleh bukan barang instan....

Suara Muhammadiyah

13 February 2025

Wawasan

Wanita sebagai Saksi: Perspektif Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universi....

Suara Muhammadiyah

14 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah