Biola dalam Dada

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
780
Biola dalam Dada

Biola dalam Dada

Cerpen Hamdy Salad

Kalau saja seluruh media masa di negeri antah barantah itu tidak pernah menulis namanya, tidak memuji dan mengangkat popularitasnya sebagai seniman paling berbakat,  paling agung dan terhormat, barangkali ia masih bisa bermimpi untuk menjadi manusia. Bacalah koran-koran itu, betapa para wartawan selalu menulis dan menempatkan kepala berita sebagai salah satu musikus dunia yang telah berhasil menciptakan karya besar. Karya-karya abadi yang memberikan kesenangan ruhani sepanjang sejarah dan kehidupan ini. Seolah ia titisan dewa. Makhluk sempurna yang terbebas dari segala. Dari kutuk dan cerca. Dari lubuk dan rasa untuk bersedih atau berselisih dengan karya-karya yang telah diciptakanya.

Semacam gula yang telah bercampur dengan kopi, semua yang manis belum tentu dapat menyembunyikan rasa pahit. Begitulah kiranya, di tengah  dunia yang membara, di tengah peradaban yang mengelam, musikus itu terus menyala. Merasa tak puas dengan segala yang terlepas. Karena semua komposisi dari gesekan biola yang  diciptakan, dari nada dan irama yang telah dihasilkan,  tak juga memiliki daya untuk membawa penonton yang telah mengeluarkan uang itu ke dalam perubahan yang diharapkan. Orang-orang itu tak lagi menggunakan telinga untuk mendengar bunyi-bunyi yang diciptakan. Mereka hanya datang untuk menambah kemegahan dalam kehidupanya. Dan tentu saja, agar dianggap oleh manusia lain sebagai makhluk beradab.  Insan kamil yang terhindar dari perbuatan jahil.

Maka, ketika kreativitasnya memuncak. Ketika tubuh dan jiwanya tak bisa lagi menjadi kerak. Ia undang para seniman dan orang-orang berduit untuk meyaksikan pertunjukanya yang spektakuler. Orang-orang terhormat,  para direktur dan pejabat, agamawan dan ruhaniawan, para bisnis dan celebritis, antropolog dan sosiolog saling berdatang ke tempat undangan. Berduyun-duyun mereka menuju arena pertunjukan dengan penuh tanda tanya.

Di sebuah kampung pedalaman, di dekat hutan, ia kumpulkan seratus kerbau sebagai bagian dari pertunjukanya. Hingga pertunjukan pun dimulai. Biola-biola digesek di dekat telinga kerbau itu. Lagu-lagu baru didendangkan. Lirik dan syair baru dinyanyikan. Nada-nada disenandungkan bagi perdamaian dunia.

Namun setelah itu, setelah pertunjukan usai, para seniman saling mengejek. Orang-orang berduit meludah ke arah panggung. Pengusaha-pengusaha terkekeh sembari menempelkan dollar di pantat. Para selebritis menekuk wajah sambil meringis. Wartawan pergi tanpa amplop di tangan. Mereka semua mencerca. Seakan dunia hanya permainan. Tempat bergurau yang menolak segala perubahan. Tetapi sebaliknya, kerbau-kerbau itu begitu cepat berubah. Tak mau lagi melenguh dan bersendawa dengan suara keras. Kerbau-kerbau itu telah berusaha menjadi hewan yang paling tentram dan setia pada majikan. Bahkan, kata orang yang tak mau disebut namanya, sejak pertunjukan usai, kerbau-kerbau itu selalu bernyanyi sepanjang hari. Membajak sawah. Menarik pedati. Membebaskan derita para petani.

“Dan di antara mereka, ada yang mempergunakan keindahan untuk mengolok dan menyesatkan jalan kebenaran. Mereka datang untuk mendengar nyanyian  dan berpaling darinya atas nama Tuhan. Tidak adakah nyanyian Cinta  dalam ruhani  mereka?”

Ketika Tuhan menciptakan tubuh dari tanah, dan meminta ruh untuk masuk ke dalamnya, ruh menolak, karena tubuh hanyalah penjara bagi dirinya.  Kemudian Tuhan mencipta bunyi. Lalu memerintahkan kepada para malaikat untuk mendendangkan nyanyian ruhani.  Dan setelah itu, segeralah ruh masuk ke dalah tubuh. Karena ruh tidak bisa mengekpresikan nyanyian itu tanpa ada tubuh yang menyangganya.

Maka itu, inti dunia adalah bunyi. Tak ada musik tanpa bunyi. Tak ada lagu dan irama tanpa suara. Bunyi dan suara merupakan awal dan akhir dari semesta. Alam raya diciptakan dalam keributan suara angin yang dahsyat, dan akan berakhir ketika bunyi nafiri telah ditiup tiga kali.

Daud diberi anugerah untuk menyadarkan kesesatan umatnya dengan nyanyian dari seruling. Manusia diberi akal dan budi untuk menciptakan alat-alat musik dan memanfaatkanya sebagai nyanyian ruhani. Sebagai media untuk menggubah bunyi dan suara menuju dunia abadi.

Itu sebabnya, manusia menciptakan tanbur, drum dan alat tiup yang dibuat dari kulit dan tanduk hewan. Lalu menyempurnakan alat-alat itu dengan  kayu, kuningan, senar, lire, karet dan busur. Kemudian diambil oleh para pahlawan perang salib dan dibawa pulang dari dunia timur tengah. Hingga sejarah menemukan peradabanya dalam irama yang megah. Dan telinga menjadi sulit untuk berpisah dengan musik; untuk mendengarkan semua bunyi, nada dan irama yang disusun dengan rapi. Tapi apalah daya, tidak semua orang memiliki telinga untuk medengarkanya dengan seksama.

Dan ketika telinga menjadi tuli, alat-alat musik tak lagi berguna bagi diri. Maka orang saling berperang untuk menghancurkan piano dan biola,  saksopon dan gramapon, gitar dan harpa. Tapi bunyi dan suara, irama dan nada yang telah dihasilkan oleh keajaibanya, tak sesuatupun yang mampu melenyapkan. Meski pulau dan benua ditenggelamkan. Meski senapan dan jutaan tentara menyerang raga setiap negara. Segala bunyi dan suara dari  jiwa tetap hidup sampai kekal di alam baka.

Mereka yang mendengar dengan nafsu, akan tetap sebagai batu. Mereka yang mendengar dengan hati, akan menjadi makhluk terpuji. Mereka yang mendengar dengan akal dan pikiran, mendapatkan bekal sampai  ke akhir tujuan.  Mereka yang mendengar dengan jiwa, mendapatkan karunia dalam hidup dan matinya.

“Masihkah engkau mendengar para pemusik dan penyanyi itu mendendangkan lagu ruhani dalam tubuhmu?”

          “Ya. Aku masih mendengar.”

“Itulah detak jantungmu. Bunyi biola dalam dadamu. Jangan biarkan segala yang indah dalam tubuhmu jadi musnah.”

“Ya. Detak jantung itu terus bergetar. Menciptakan nyanyian di tengah bunyi dan suara-suara kasar. Hingga aku menjadi ada di antara kebisingan dunia. Menjadi kenyataan di antara mesin-mesin hiburan,  slogan politik dan kekuasaan.”

Musisi yang terkenal itu bersenandung dengan bunyi dan suara yang bergema dalam dada. Seperti gema bunyi biola di telinga kerbau. Kemudian menggubahnya sebagai nada dan irama yang lebih abadi dari orang-orang tuli. Menciptakan komposisi baru di tengah kehidupan yang kian membatu. ***   


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Orang-orang Di Pintu Surga  Cerpen Erwito Wibowo Sesungguhnya saya mendatangi rumah seorang u....

Suara Muhammadiyah

18 October 2024

Humaniora

Cerpen Erwito Wibowo Sore menjelang petang. Cakrawala tidak kelihatan, nampak tertimbun deretan per....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Humaniora

Pagi Ceria di Klinik Aisyiyah "Rahmijah Kaduppa" Gowa Oleh: Haidir Fitra Siagian  Sebenarnya ....

Suara Muhammadiyah

3 August 2024

Humaniora

Ustad Hima, sebutan akrab yang melekat pada pria kelahiran 1 November 1967 ini. Dia bukan seorang us....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Humaniora

Bahagia Bersama 'Aisyiyah Oleh: Amalia Irfani, LPPA PWA Kalbar Bahagia merupakan keinginan atau tu....

Suara Muhammadiyah

14 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah