Sang Burung Pipit, Balada Para Penjaga Cahaya

Suara Muhammadiyah

Penulis

3
136
Ilustrasi Buya Hamka

Ilustrasi Buya Hamka

Sang Burung Pipit, Balada Para Penjaga Cahaya

Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah & Aktifis IPM 1988 sd 1991

 

Aku bukan Tan Malaka

yang menulis nasib bangsa

dalam sunyi pelarian. Diatas desing peluru dan penghianatan para Cicak.

 

Namun banyak jejak anak negeri kini serupa ia:

diburu bukan oleh musuh jauh,

melainkan oleh tangan sebangsa yang focus pada Key Performance Indicator (KPI) namun abai dengan ilmu dan nurani.

 

Aku lahir dari tanah

yang masih merah dalam ingatan sejarah:

Karawang - Bekasi

tempat Chairil Anwar sang pujangga bangsa mencatat puisi untuk

para syuhada.

 

Di wilayah ini,

Sasak Kapuk pernah menjadi saksi bisu,

Kelari menyimpan langkah para laskar,

Cikampek menggemakan takbir perlawanan,

Talagasari menyerap darah

yang jatuh sebagai doa.

Monumen RAWA GEDE, tempat mengubur ratusan syuhada di waktu subuh.

 

Dari tanah semacam inilah

keluargaku dibentuk.

 

Ada Kapten Aca, Sang

pengantin baru.

 

Ia berangkat

dipanggil oleh KH Noer Ali,

Untuk berbulan madu dengan dentum peluru sekutu.

 

Direstui oleh KH Nawawi,

dan gugur sebagai syahid,

meninggalkan rumah yang selamanya menunggu.

 

Darah yang mengalir di tubuhku

bukan hanya darah keluarga,

tapi darah janji Kemerdekaan Untuk Negeri. Dari para leluhur syuhada Karawang - Bekasi.

 

Di zaman lain,

musuhku bukan serdadu bersepatu besi. Bukan Belanda bukan Sekutu.

Musuhku adalah api korupsi Namrudz

yang menjalar di gedung-gedung kekuasaan: Api

korupsi yang menjilat anggaran, memperjual belikan perkara,

menghitamkan keputusan putih, memuptihkan keputusan yang hitam

dan memakan masa depan bangsa.

 

Aku

Sang Burung Pipit,

kecil di mata dunia,

namun tidak kecil di hadapan Tuhan.

 

Keikhlasanku diuji.

Kesederhanaanku dicibir para cicak.

 

Aku menolak BMW

yang menunggu dengan mesin hangat;

menolak Alphard

yang sunyi dan empuk;

menolak Mercy

yang melaju di atas keluhan rakyat.

 

Aku menolak hotel mewah

yang memetik uang rakyat

untuk membiayai tidur para pejabat.

Aku menolak tiket bisnis

yang menjadi hakku sebagai CEO

BUMD besar

aku memilih kursi sempit,

jalan sunyi, bersama rakyat.

 

 

Aku tahu:

amanah lebih ringan

bila tidak dibebani kemewahan.

 

Namun yang lebih pedih dari itu—

ketika aku menjaga integritas

dengan segenap napas, dan

prestasi yang kutata

semua diabaikan.

 

Menaikkan aset perusahaan

dua puluh tujuh triliun rupiah,

menghasilkan laba bersih

tiga triliun rupiah,

tidak cukup untuk menahan

tinta hitam yang merobek namaku.

 

Pada akhirnya,

yang tertulis di dahiku hanyalah:

TERSANGKA KORUPSI

 

Namun aku tidak gentar.

Aku bukan Namrudz.

Aku tidak membalas dengan api.

 

Aku Sang Burung Pipit

membawa  air

melawan lautan bara korupsi

 

Sayapku boleh hangus,

paruhku boleh retak,

namun sumpahku tidak akan hancur.

 

Sebab ketika dunia menghakimi,

aku mendengar suara para leluhurku:

 

“Cucu kami…

jalan benar memang berat.

Tapi kebenaran

tidak pernah salah.”

 

Maka aku terus terbang.

Terus membawa air, membawa oase untuk negeri.

Terus menantang api KORUPSI NAMRUDZ

 

Sebab aku tahu

bahwa pada akhirnya,

yang menentukan bukanlah tuduhan manusia,

melainkan timbangannya Tuhan.

Melalui HAKIM Yang ADIL.

 

Aku ingin seperti Buya Hamka

memeluk Ilman, Ilmu dan sabar.

memaafkan, mendoakan dan menshalatkan mereka

yang menuduhku.

 

 

Dan suatu hari kelak,

ketika lembar sejarah dibuka,

ketika dusta kehilangan nafas,

ketika api padam oleh cahaya—

 

akan terlihat,

bahwa di tengah gelapnya negeri,

pernah ada Sang Burung Pipit

yang terbang terluka dan

terbakar,

namun tetap setia

menjaga cahaya INTEGRITAS, bersama para Jaksa Yang Bijak dan Hakim Yang ADiL.

 

Rutan Salemba, 13 Agustus 2025

 

Penulis adalah Direksi Bank DKI (2018 sd 2022), Dirut Bank Sumut 2023 sd 2025). Puisi ini aku ketik dari tulisan tangan ayahku yang saat ini berada di Rutan. aKumpulan Puisi Anak Negeri ini bagian dari Manisfesto Sang Burung Pipit (The Bright Way to Freedom dan Faith)


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Mengalir Bersama Kisah: Tercatat Tiga Tahun Beruntun di Daftar Top 2% Scientists Worldwide Oleh: Pr....

Suara Muhammadiyah

22 September 2025

Humaniora

Cerpen: Suratini Eko Purwati Ada tetangga, penduduk asli kampung menjual rumah keluarga dan ada pen....

Suara Muhammadiyah

8 September 2023

Humaniora

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (2) te....

Suara Muhammadiyah

21 September 2023

Humaniora

Lebaran Terakhir  Cerpen Affan Safani Adham Siapa yang tahu kalau saat ini adalah waktu terak....

Suara Muhammadiyah

7 June 2024

Humaniora

Orang-orang Di Pintu Surga  Cerpen Erwito Wibowo Sesungguhnya saya mendatangi rumah seorang u....

Suara Muhammadiyah

18 October 2024