Sang Burung Pipit, Balada Para Penjaga Cahaya
Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah & Aktifis IPM 1988 sd 1991
Aku bukan Tan Malaka
yang menulis nasib bangsa
dalam sunyi pelarian. Diatas desing peluru dan penghianatan para Cicak.
Namun banyak jejak anak negeri kini serupa ia:
diburu bukan oleh musuh jauh,
melainkan oleh tangan sebangsa yang focus pada Key Performance Indicator (KPI) namun abai dengan ilmu dan nurani.
Aku lahir dari tanah
yang masih merah dalam ingatan sejarah:
Karawang - Bekasi
tempat Chairil Anwar sang pujangga bangsa mencatat puisi untuk
para syuhada.
Di wilayah ini,
Sasak Kapuk pernah menjadi saksi bisu,
Kelari menyimpan langkah para laskar,
Cikampek menggemakan takbir perlawanan,
Talagasari menyerap darah
yang jatuh sebagai doa.
Monumen RAWA GEDE, tempat mengubur ratusan syuhada di waktu subuh.
Dari tanah semacam inilah
keluargaku dibentuk.
Ada Kapten Aca, Sang
pengantin baru.
Ia berangkat
dipanggil oleh KH Noer Ali,
Untuk berbulan madu dengan dentum peluru sekutu.
Direstui oleh KH Nawawi,
dan gugur sebagai syahid,
meninggalkan rumah yang selamanya menunggu.
Darah yang mengalir di tubuhku
bukan hanya darah keluarga,
tapi darah janji Kemerdekaan Untuk Negeri. Dari para leluhur syuhada Karawang - Bekasi.
Di zaman lain,
musuhku bukan serdadu bersepatu besi. Bukan Belanda bukan Sekutu.
Musuhku adalah api korupsi Namrudz
yang menjalar di gedung-gedung kekuasaan: Api
korupsi yang menjilat anggaran, memperjual belikan perkara,
menghitamkan keputusan putih, memuptihkan keputusan yang hitam
dan memakan masa depan bangsa.
Aku
Sang Burung Pipit,
kecil di mata dunia,
namun tidak kecil di hadapan Tuhan.
Keikhlasanku diuji.
Kesederhanaanku dicibir para cicak.
Aku menolak BMW
yang menunggu dengan mesin hangat;
menolak Alphard
yang sunyi dan empuk;
menolak Mercy
yang melaju di atas keluhan rakyat.
Aku menolak hotel mewah
yang memetik uang rakyat
untuk membiayai tidur para pejabat.
Aku menolak tiket bisnis
yang menjadi hakku sebagai CEO
BUMD besar
aku memilih kursi sempit,
jalan sunyi, bersama rakyat.
Aku tahu:
amanah lebih ringan
bila tidak dibebani kemewahan.
Namun yang lebih pedih dari itu—
ketika aku menjaga integritas
dengan segenap napas, dan
prestasi yang kutata
semua diabaikan.
Menaikkan aset perusahaan
dua puluh tujuh triliun rupiah,
menghasilkan laba bersih
tiga triliun rupiah,
tidak cukup untuk menahan
tinta hitam yang merobek namaku.
Pada akhirnya,
yang tertulis di dahiku hanyalah:
TERSANGKA KORUPSI
Namun aku tidak gentar.
Aku bukan Namrudz.
Aku tidak membalas dengan api.
Aku Sang Burung Pipit
membawa air
melawan lautan bara korupsi
Sayapku boleh hangus,
paruhku boleh retak,
namun sumpahku tidak akan hancur.
Sebab ketika dunia menghakimi,
aku mendengar suara para leluhurku:
“Cucu kami…
jalan benar memang berat.
Tapi kebenaran
tidak pernah salah.”
Maka aku terus terbang.
Terus membawa air, membawa oase untuk negeri.
Terus menantang api KORUPSI NAMRUDZ
Sebab aku tahu
bahwa pada akhirnya,
yang menentukan bukanlah tuduhan manusia,
melainkan timbangannya Tuhan.
Melalui HAKIM Yang ADIL.
Aku ingin seperti Buya Hamka
memeluk Ilman, Ilmu dan sabar.
memaafkan, mendoakan dan menshalatkan mereka
yang menuduhku.
Dan suatu hari kelak,
ketika lembar sejarah dibuka,
ketika dusta kehilangan nafas,
ketika api padam oleh cahaya—
akan terlihat,
bahwa di tengah gelapnya negeri,
pernah ada Sang Burung Pipit
yang terbang terluka dan
terbakar,
namun tetap setia
menjaga cahaya INTEGRITAS, bersama para Jaksa Yang Bijak dan Hakim Yang ADiL.
Rutan Salemba, 13 Agustus 2025
Penulis adalah Direksi Bank DKI (2018 sd 2022), Dirut Bank Sumut 2023 sd 2025). Puisi ini aku ketik dari tulisan tangan ayahku yang saat ini berada di Rutan. aKumpulan Puisi Anak Negeri ini bagian dari Manisfesto Sang Burung Pipit (The Bright Way to Freedom dan Faith)


