Bukan 'Othak-Athik-Gathuk'
Oleh: Wahyudi Nasution
Orang yang tidak mengenal bahasa dan budaya Jawa, tentu tidak paham istilah 'othak-athik-gathuk'. Bahkan, anak-anak Jawa Millenial dan Generasi-Z pun tidak memahaminya karena istilah itu sudah jarang terdengar. Pemahaman sederhananya, 'othak-athik' itu mencari-cari hubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya sehingga terjadi hubungan yang seolah logis antara keduanya, dan 'gathuk' alias klop. Kadang, 'othak-athik gathuk' juga dipakai untuk 'sonji', menebak angka lotre dalam perjudian. Begitulah, orang Jawa memang terkenal kreatif menjalani hidup dan menghibur diri. Kepala kejedhuk tembok sampai benjut dan kesakitan pun dia bilang, "Aduh uenake, Rek."
Siang ini tetiba Pak Bei kedatangan tamu, teman kost dan sahabat waktu kuliah di Jogja, Purnomo namanya. Sudah lama keduanya tidak ketemu. Kabarnya Purnomo kerja di Madiun dan beranak-pinak di sana, sedangkan Pak Bei pulang ke kampung halaman di Jatinom, Klaten, hidup rukun bersama istri dan tiga anaknya. Hanya sesekali dua bersahabat itu saling berkabar lewat pesan WA.
Entah angin apa yang menggiringnya, tetiba Purnomo kirim pesan WA minta sharelok. Mau mampir, katanya. Tak berapa lama, sebuah mobil sedan warna hitam plat AE pun masuk ke halaman nDalem Pak Bei.
Purnomo masih tampak gagah dan sehat, sama seperti Pak Bei. Keduanya salaman lalu duduk di teras. Setelah berbasa-basi dan berkabar-kabari sejenak, Pak Bei pun ke dalam memesan 2 gelas kopi pada anak gadisnya, Zika.
"Tadi di tol menjelang pintu keluar Klaten, tiba-tiba aku terpikir kontak Sampeyan. Pengin mampir. Sudah lama kita tidak ketemu," kata Purnomo.
"Iya, Mas Pur. Sudah lama sekali. Mari diminum dulu kopinya," Pak Bei mempersilakan sahabatnya.
Purnomo pun nyeruput kopinya lalu bercerita dia mau ke Prambanan menengok anak bungsunya yang mondok di MBS. Anaknya santri kelas 6, jadi sudah jarang ditengok. Itu sama dengan anak bungsu Pak Bei, Alya, juga klas 6 di Pondok Gontor Putri 1 Mantingan. Sudah jarang ditengok juga.
"Pak Bei mengikuti berita seputar program Makan Bergizi Gratis, gak?," tanya Purnomo setelah nyeruput kopinya lagi.
"Ya lumayan, Mas. Ramai juga ya rupanya."
"Jelas ramai. Banyak orang berkepentingan, kok. Tampak orang-orang secara atraktif menyodorkan gagasan kelompoknya untuk bisa terlibat di pelaksanaan program itu."
"Begitu ya, Mas?"
"Ini proyek besar sekali, Pak Bei. Program prioritas yang didanai bukan hanya 71 triliun dari APBN, tapi juga dana CSR semua BUMN dikerahkan untuk ikut mensukseskan. Makanya, semua Parpol Koalisi, Pengusaha, dan berbagai kelompok di Jakarta tampak saling bermanufer agar kebagian menggarap proyek itu."
"Wah aku malah belum terpikir sampai ke sana, Mas. Aku hanya terpikir program ini kok kesannya mengada-ada, ya. Di saat ekonomi sedang sulit seperti ini, kok malah bikin program nganeh-anehi. Seolah-olah pro ekonomi rakyat, mengatasi kemiskinan dan pemenuhan asupan gizi anak-anak, padahal ujungnya nanti hanya untuk memakmurkan kelompoknya. Seperti BLT dan Bansos selama ini, ternyata rakyat justru dibuat semakin tergantung dan tetap miskin. Dampaknya, rakyat hanya nurut saja kemauan Pemerintah, tidak berani protes."
"Sori, aku punya pandangan agak berbeda dengan Pak Bei. Dan ini bukan othak-athik-gathuk, lho. Pertama, boleh saja kita tidak suka pada Pemerintah yang belum lama ini dilantik. Boleh-boleh saja kita tidak setuju dengan program-programnya, termasuk program Makan Bergizi Gratis."
"Terus...."
"Bagaimanapun juga, program itu sudah ditetapkan sebagai program prioritas Pemerintah yang harus dilaksanakan mulai Januari 2025. Maka, pasti program itu akan dijalankan dan dibiayai besar-besar dengan APBN.
"Terus, Mas."
"Yang kedua, mari coba kita melihatnya dari perspektif lain yang lebih positif. Program prioritas itu menurutku sangat cerdas dan logis sebagai cara Pemerintah menggerakkan ekonomi rakyat."
"Kok bisa?"
"Pak Bei, sebagai sesama aktivis Muhammadiyah, mari coba kita buat simulasi. Misalnya di PDM Klaten tempat Pak Bei ini. Saya tahu ini PDM terbesar di Jawa Tengah"
"Ya, Mas. Terus gimana?"
"Misalnya Amal Usaha Pendidikan di Klaten ini dari PAUD hingga SMA ada 40.000 murid, ditambah 5.000 guru dan karyawan. Jadi akan ada 45.000 paket makan bergizi gratis yang harus disiapkan setiap hari. Bila harga per paket RP 15.000, misalnya, berarti ada perputaran uang Rp 675.000.000/hari. Bila per bulan ada 25 hari sekolah, maka perputarannya Rp 1.625.000.000/bulan."
"Wah ternyata besar sekali ya, Mas."
"Bila beras per-kg untuk 10 porsi, maka kebutuhan berasnya 4,5 ton/hari, sama dengan 112,5 ton/bulan. Bayangkan betapa besar dampaknya bagi petani. Dapur Umum bisa melakukann contrack farming dengan para petani, dengan kepastian harga dan pola pembayaran yang adil. Belum lagi kebutuhan sayur-mayur, telor, daging ayam, ikan, bumbu. Para peternak ayam pedaging, ayam petelor, dan ikan tentu akan gembira-ria."
"Tapi bisa juga petani kecelik lagi lho, Mas."
"Kecelik bagaimana?"
"Ah Mas Pur ini kayak gak tahu saja. Melihat cuan yang sangat besar itu, para politisi akan cepat-cepat menggandeng para importir beras, telor, daging, minyak, bumbu dan sebagainya, demi mendapatkan persenan buat menutup biaya politiknya. Mereka yang memasok bahan makanan untuk program itu."
"Justru itulah Pak Bei."
"Bagaimana, Mas Pur?"
"Muhammadiyah yang jelas punya sumberdaya lengkap, harus bisa mengelola program Makan Bergizi Gratis sendiri. Jangan sampai murid-murid sekolah Muhammadiyah dan Aisyiyah yang sangat banyak jumlahnya justru digarap dan diperebutkan orang lain."
"Saya setuju itu, Mas Pur. Tapi masalahnya bola ada di tangan Badan Gizi Nasional sebagai penanggungjawab program. Tentu banyak kepentingan yang bermain, kan?"
"Ya memang BGN penanggungjawab pelaksanaannya. Tapi Muhammadiyah yang sudah berdarah-darah membangun dan mengelola ribuan sekolah secara swadaya, harusnya bisa bergaining possition dengan Pemerintah. Untuk anak-anak Muhammadiyah, serahkan pada Muhammdiyah sendiri. Begitu. Untuk anak-anak kita ya harus kita sendiri yang menyediakan makan."
Obrolan dua bersahabat itu cukup seru, tapi harus terhenti karena terdengar azan ashar bersahutan dari masjid-masjid sekitar. Keduanya pun bergegas ke masjid untuk shalat berjamaah.
Seusai shalat, Purnomo pamit mau meneruskan perjalanan ke Pondok MBS di Prambanan Sleman, sekitar 25 km dari nDalem Pak Bei. Mereka pun berpisah. Purnomo meninggalkan masalah di kepala Pak Bei, masalah baru yang sangat menantang, namun tidak gampang mewujudkannya.