Kaitan IMM dan Film Jumbo
Oleh: Figur Ahmad Brillian/ IMM Muhammad Abduh Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta PC IMM Sukoharjo
Apa jadinya jika kita melihat proses perkaderan dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) melalui lensa film? Tidak sembarang film, tetapi sebuah kisah yang unik, simbolik, dan sarat makna: Jumbo (2019), karya Zoé Wittock. Kisah tentang Jeanne dan cintanya pada sebuah wahana taman bermain memang terdengar di luar nalar. Namun di balik keanehannya, tersimpan pelajaran besar tentang keberanian mencintai jalan hidup yang diyakini—bahkan ketika orang lain tak memahaminya.
Begitu pula IMM. Di tengah arus gerakan mahasiswa yang kian pragmatis, IMM hadir dengan tawaran berbeda: jalan ideologis yang sunyi namun bermakna. Jalan yang tidak menjanjikan popularitas, tetapi memberi ruang mendalam bagi pencarian jati diri, spiritualitas, dan intelektualitas. Menjadi kader IMM bukan sekadar aktif di forum, tetapi memasuki ruang batin: menyelami ide, mencintai perjuangan, dan meneguhkan sikap hidup. Sebuah jalan panjang yang menjadi cermin dari semangat Abadi Perjuangan yang senantiasa dinyanyikan dalam Mars IMM.
Film Jumbo menceritakan Jeanne, seorang perempuan muda yang merasakan koneksi emosional dengan wahana bernama Jumbo. Cintanya dianggap aneh, bahkan ditolak oleh lingkungan sekitar. Tapi Jeanne tidak mundur. Ia justru menemukan makna dan kekuatan dalam pilihan yang ia yakini. Inilah cerminan yang indah dari seorang kader IMM. Ketika memilih IMM, seorang mahasiswa sejatinya memilih jalan perjuangan yang tidak selalu disorot media atau dibanjiri pujian. Tapi seperti Jeanne, kader IMM berjalan karena cinta yang sadar, bukan karena tepuk tangan.
KH Ahmad Dahlan pernah menegaskan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Ungkapan ini terasa hidup dalam konteks IMM. Menjadi kader bukan sekadar mencari tempat nyaman, tetapi menghidupkan nilai, ide, dan gerakan. Jeanne mencintai Jumbo bukan karena ia menerima sesuatu, tetapi karena ia menemukan makna dalam hubungan itu. IMM mengajarkan hal yang sama: cinta pada organisasi bukan karena imbalan, tetapi karena kesadaran akan nilai perjuangan—nilai yang terus diwariskan sebagai bagian dari napas Abadi Perjuangan.
IMM lahir bukan dari kemapanan, tapi dari kegelisahan. Dalam buku Kelahiran yang Dipersoalkan, Farid Fathoni menulis bahwa IMM hadir sebagai bentuk respons terhadap kekeringan nilai dalam gerakan mahasiswa Islam. IMM bukan sekadar pelanjut formal, tetapi ruang dialektika progresif yang membawa ruh pembebasan. Maka, ketika seorang kader menjalani proses perkaderan dari Darul Arqam Dasar, Madya, hingga Paripurna, sejatinya ia sedang membentuk dirinya: bukan hanya sebagai aktivis, tapi sebagai manusia yang utuh dan merdeka dalam berpikir.
QS. Al-Baqarah ayat 286 menyatakan, “Lā yukallifullāhu nafsan illā wus‘ahā”—Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Ayat ini seperti menguatkan Jeanne, yang terus bertahan di jalannya meski sendirian. Dan juga menguatkan kader IMM yang memilih bertahan dalam jalan ideologis, bahkan saat jalan itu sunyi. Di balik semua tantangan, Allah memberi kekuatan bagi mereka yang berjuang dengan tulus. Seperti bait lagu perjuangan yang terus dilantunkan dalam setiap forum kaderisasi: semangat Abadi Perjuangan itu tak akan pernah padam, selama keyakinan masih dijaga.
Buya Hamka mengingatkan kita, “Kalau hidup sekadar hidup, babi di hutan pun hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera pun bekerja.” Hidup dan perjuangan dalam IMM bukan tentang rutinitas, melainkan tentang nilai. Setiap diskusi, aksi, dan forum bukan sekadar kegiatan, melainkan ladang pembentukan karakter dan prinsip.
IMM adalah rumah yang mendidik cinta pada kemanusiaan, keberanian berpikir, dan pengabdian sosial. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, menekankan bahwa IMM harus melahirkan intelektual berintegritas. Maka dalam kisah Jeanne kita melihat simbol dari kader IMM yang ideal: tidak takut berbeda, tidak lelah mencintai, dan tidak ragu berjuang meski tak banyak yang mengerti.
Film Jumbo membuka mata bahwa perjuangan dan cinta tak selalu harus logis bagi semua orang. Kadang, yang paling bermakna justru lahir dari hal-hal yang dianggap “tak biasa.” Sama seperti IMM, yang mungkin bukan pilihan semua orang, tetapi selalu menjadi rumah bagi mereka yang ingin hidup dengan makna, berpikir dengan nurani, dan mencintai perjuangan dengan setia. Di sinilah semangat Abadi Perjuangan itu hidup: bukan di keramaian, tetapi di ketulusan memilih jalan yang diyakini.
Jadi, apakah kamu siap menjadi “Jeanne” di tengah tantangan zaman? Siap mencintai IMM bukan karena ramai, tapi karena yakin? Jika iya, maka jalan sunyi itu akan berubah menjadi cahaya yang membimbing langkah-langkahmu ke masa depan penuh harapan.