MAKASSAR, Suara Muhammadiyah - Ketua Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menjadi pembicara dalam pembukaan Rapat Kerja Wilayah Terpadu PWM Sulsel yang dihelat pada Sabtu, 4 November 2023.
Di hadapan ratusan peserta yang berasal daei PDM se-Sulsel, ia berbicara terkait dakwah digital Muhammadiyah. Rakerwil Terpadu itu merupakan forum dari tiga unsur pelaksan program (UPP) PWM Sulsel, yaitu Majelis Pustaka dan Informasi (MPI), Majelis Tablig, dan Lembaga Dakwah Komunitas (LDK). Rakerwil dihelat di Aula Universitas Islam Ahmad Dahlan.
Muchlas mendorong para dai Muhammadiyah untuk menggunakan media digital dan berperan sebagai influencer. Ia menekankan, kelemahan dakwah Muhammadiyah adalah ketidakmampuan mubalignya menggunakan media digital secara optimal.
"Kita belum bisa memerankan diri kita sebagai influencer, sebuah akun yang bisa memengaruhi, bisa memperoleh banyak pengikut, kemudian secara psikologis mampu memengaruhi batin para followers-nya," ucap dia.
Para dai Muhammadiyah harus membuat konten-konten yang nantinya memintarkan artificial intelligence, membnuat sumber-sumber yang nantinya diakses AI, kemudian mengompilasi, sehingga menjadi pengetahuan baru. Konten-konten itu menyajikan informasi yang benar terkait Muhammadiyah," kata dia.
Dia menekankan, para dai Persyarikatan Muhammadiyah harus memperkuat konten di sekluruh platform digital, terlebih di media sosial dan laman (web). MPI, kata dia, telah menyebarluaskan pendekatan narasi alternatif dalam membuat konten.
Pendekatan yang telah disebarluaskan oleh MPI itu, termasuk terkait bagaimana menghadikan tampilan-tampilan yang tidak reaktif. "Pendekatan itu membuat Muhammadiyah tidak langsung menjawab atau berhadap-hadapan dengan materi yang dipersoalkan," ungkap dia.
Kemasan konten yang dihadirkan juga harus sesuai dengan karakter sasaran dakwah masa kini, terutama generasi Z. Muchlas mengungkapkan, saat in, generasi Z di Indonesia sudah mencapai 30%.
Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta itu juga menggambarkan media sosial bagai warung kopi, yang di dalamnya, ada beraneka rupa karakter. Dalam warung kopi itu, ada orang yang sebenarnya tidak ahli tapi pandai berbicara. Sementara itu, para ahli hanya diam mengamati.
Hal itu membahayakan, terlebih di era yang disebut sebagai era Postruth seperti kini. Pasalnya, di era ini, kebenaran tidak lagi penting, asalkan sesuai dengan selera perasaan konsumen. "Akhirnya pendapat yang salah bisa dianggap sebagi kebenaran," kata dia.
Belum lagi, era kini, kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan big data menjadi suatu hal lumrah. "Bahkan saya bisa mencari bagaimana Salat Tarawih menurut Muhammadiyah. Rupanya, ada yang benar, ada yang salah," ungkap dia.
Ia mengungkapkan, dirinya pernah mengecek kinerja AI terkait penetapan awal bulan hijriyah versi Muhammadiyah. Ternyata, jawaban AI menyebut bahwa pada malam yang ditentukan sebagai waktu pengamatan, Tim Rukyah Muhammadiyah akan melakukan pengamatan mencari hilal.
"Tentu ini tidak sesuai dengan ideologi kita, bukan pandangan ke-Islaman Muhammadiya terkait penentuan awal bulan. Tapi, ini yang dijawab oleh AI," kata dia.
Karena itu, dia menekankan, Muhammadiyah harus menyediakan data dan informasi yang cukup terkait pandangan Persyarikatan. Pandangan Muhammadiyah itu harus dipasang secara masif di seluruh server milik Persyarikatan. (Fikar/Riz)