YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah — Dalam semangat merawat nalar kritis dan membumikan peran mahasiswa sebagai agen perubahan, Dapur Pemikiran kembali menggelar diskusi publik bertajuk “Mahasiswa sebagai Agen Perubahan Sosial dan Politik”, yang berlangsung pada tanggal 11 November 2025, bertempat di Angkringan Kraton.
Kegiatan ini dipandu oleh Immawan Sidik, anggota Bidang Kader, selaku moderator, dengan menghadirkan Immawati Filzah Fitrah, Gubernur BEM FSIP UMY, sebagai pemateri utama. Agenda ini diinisiasi oleh IMM FAI Komisariat Al-Ghazali sebagai ruang dialektika intelektual yang memfasilitasi mahasiswa untuk menajamkan daya pikir dan kesadaran sosialnya terhadap isu-isu kontemporer.
Dalam pembukaannya, moderator Immawan Sidik menekankan bahwa mahasiswa tidak hanya sekadar individu yang menuntut ilmu, tetapi juga memiliki tanggung jawab moral terhadap perubahan sosial. “Mahasiswa itu bukan sekadar duduk di bangku kuliah dan mendengarkan dosen. Lebih dari itu, mereka adalah agent of change—motor penggerak yang memiliki kapasitas untuk menyuarakan keadilan dan menumbuhkan kesadaran masyarakat,” ungkapnya.
Sementara itu, Immawati Filzah Fitrah dalam pemaparannya menyoroti makna esensial kata “mahasiswa”. Menurutnya, “maha” berarti tinggi dan “siswa” berarti orang yang sedang menuntut ilmu. Maka, mahasiswa adalah seseorang yang menempuh pendidikan tinggi dan seharusnya memiliki cara berpikir yang kritis, cerdas, rasional, serta idealis.
Immawati Filzah menjelaskan bahwa peran mahasiswa dalam kehidupan sosial dan politik tidak bisa dilepaskan dari identitas mereka sebagai kaum intelektual muda. “Mahasiswa itu lahir untuk masyarakat, bukan untuk dirinya sendiri. Fungsi utamanya adalah memberi dampak sosial yang nyata dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan,” tuturnya.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa mahasiswa harus berani membaca situasi, mengkritisi kebijakan, dan memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat. Dalam konteks sosial politik, mahasiswa diharapkan memahami bahwa politik bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan strategi dalam menciptakan kebijakan publik yang berpihak pada rakyat. “Politik sejatinya adalah seni mengelola kehidupan bersama. Mahasiswa harus paham bahwa sosial dan politik adalah dua hal yang saling berkelindan—sosial berbicara tentang hubungan manusia, sedangkan politik mengatur arah kebijakannya,” jelas Immawati Filzah.
Diskusi kemudian berlanjut pada sesi tanya jawab yang diikuti dengan antusias oleh peserta. Beberapa mahasiswa menyoroti isu-isu aktual seperti ketimpangan sosial, peran mahasiswa di tengah polarisasi politik, serta tantangan menjaga idealisme di era digital. Filzah menanggapi dengan tegas, bahwa mahasiswa harus tetap berpihak pada kebenaran dan keadilan, meski berada dalam tekanan atau arus pragmatisme.
“Mahasiswa harus berani berdiri di atas nilai. Kalau tidak, kita hanya akan menjadi penonton dalam panggung perubahan. Padahal, sejarah bangsa ini mencatat bahwa perubahan besar selalu lahir dari keberanian mahasiswa,” ungkapnya.


