Dari Yogyakarta ke Samata Gowa: Silaturrahmi, Nostalgia, dan Semangat Diaspora Indonesia di Australia
Oleh: Haidir Fitra Siagian (Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar / Ketua PRIM NSW Australia 2021/2022)
Ada kalanyan hidup kita menyimpan kejutan kecil yang tiba-tiba tanpa permisi, seperti petir di siang bolong. Begitulah perasaan saya saat menerima pesan dari seorang teman lama beberapa hari lalu. Teman ini ingin bersilaturahmi ke rumah di Bakung Samata Gowa, tapi dengan satu permintaan—jangan beri tahu siapa pun dulu. “Biar bisa ngobrol lebih santai,” katanya.
Bang Sayuti—Muhammad Sayuti PhD, adalah Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus Dekan FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Dia berasal dari Lamongan Jawa Timur. Sudah menjadi kader sejak kecil, meski nomor baku istrinya lebih muda dibanding dengan nomor bakunya. Saat masih mahasiswa, beliau pernah menjadi staf kantor PP Muhammadiyah yang menangani Berita Resmi Muhammadiyah. Dewasa ini, namanya cukup dikenal, apalagi ketika Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan atau Syawal, wajahnya kerap tampil di media arus utama pun media sosial. Atau pesan berantai, dari Sabang sampai Merauke bahkan hingga ke mancanegara.
Meski saya masih kurang sehat, kabar itu tentu saya sambut dengan gembira. Nyonyaku juga ikut senang. Selama Idulfitri ini, belum ada tamu yang berkunjung, kebetulan kami baru mudik dari kampung ibu mertua di Majene Sulawesi Barat. Dan kali ini, yang datang justru seorang tokoh penting Muhammadiyah. Rasanya seperti menyambung kembali mata rantai persaudaraan yang sempat terbina beberapa waktu silam.
Saya memanggilnya Bang Sayuti karena kami memang pernah dekat, terutama saat saya tinggal di Australia. Kala itu saya mendampingi istri yang sedang menempuh studi S3 di University of Wollongong dan UNSW. Kami tinggal sekitar empat tahun di sana. Selama itu, saya sempat menjadi Ketua PRIM NSW Australia, dan Bang Sayuti adalah salah satu pendirinya sekaligus penasihat. Meskipun beliau sudah kembali ke tanah air, beliau tetap dipercaya sebagai anggota penasihat. Sehingga kami sering berdiskusi secara virtual tentang dakwah, organisasi, dan kehidupan sebagai Muslim di negeri orang.
Namun perkenalan kami lebih lama dari itu. Tahun 1998, saya pernah tinggal di rumah belakang kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, menumpang di kamar teman saat magang di Suara Muhammadiyah. Saya masih mahasiswa Jurnalistik Jurusan Ilmu Komunikasi di FISIP Universitas Hasanuddin. Di rumah itulah saya dan Bang Sayuti mulai sering berinteraksi, karena sama-sama aktif di IRM/IPM.
Kali ini, Bang Sayuti datang ke rumah kami di Bakung, Samata, Gowa. Katanya, sedang ada tugas dakwah Muhammadiyah ke Kalimantan dan Sulawesi, Palopo, Enrekang dan Bone. Lalu sebelum kembali ke Yogyakarta, sambil menunggu jadwal pesawat, ingin mampir sejenak. Pertemuan itu berlangsung sekitar tiga setengah jam, tapi percakapannya seakan membuka kembali lembaran lama, sekaligus menatap masa depan.
Salah satu bahasan penting adalah rencana pendirian Sekolah Muhammadiyah di Sydney. Gagasan ini sudah pernah dilontarkan sejak 2022, saat Bapak Dahlan Rais mengunjungi rumah Bang Iwan di Leppington, pinggiran Kota Sydney. Kini, PP Muhammadiyah telah memberi lampu hijau yang terang, bahkan dengan dukungan pendanaan dapat disiapkan.
Kami juga berbicara soal sekolah Muhammadiyah di Melbourne yg sudah berjalan, namun kini membutuhkan tenaga pengajar, khususnya guru ngaji dari kalangan kader. Syaratnya tidak ringan: hafal Qur’an, bisa berbahasa Inggris, dan memahami nilai-nilai perjuangan Muhammadiyah.
Menariknya, Bang Sayuti ternyata juga ingin mengajak teman-teman sesama alumni Australia yang kini tinggal di Makassar. Saya bilang, ajak saja bertemu di rumah. Maka datanglah Ibu Dr Hera Budi Gunawan, dosen Universitas Hasanuddin, dan Dr Irsyad Dhahri Samad, dosen Universitas Negeri Makassar. Ternyata Pak Irsyad ternyata pernah menjadi Ketua Jamaah Pengajian Illawara (JPI) ketika Bang Sayuti menjabat sebagai Sekretaris. Sedangkan saya sendiri pernah menjadi sekretaris dua periode mendamping Bang Haeruddin dan Bang Saeful A. Tauladani.
Di tengah obrolan serius, tak luput juga nostalgia masa-masa di Australia. Kami mengenang kisah suka duka di perantauan. Ada yang pernah bekerja sebagai cleaning service di bank, ada cerita duka tentang mahasiswa yang meninggal saat bekerja, namun juga ada kisah manis dalam lingkup keluarga.
Salah satu kisah paling membekas datang dari Bang Sayuti sendiri. Ia bercerita bagaimana hampir aja kehilangan uang sekitar tujuh juta rupiah akibat denda saat mengajari istrinya menyetir mobil di Australia. Tanpa disadari, ada aturan yang mewajibkan instruktur mengemudi memiliki lisensi resmi. Saat dihentikan polisi, ia pasrah dan membayar.
Justru yang mengejutkan adalah, ketika polisi itu mengembalikan uang tersebut tanpa alasan jelas—hanya senyum kecil dan isyarat yang sulit dijelaskan. “Entah kenapa. Mungkin karena waktu itu saya terus baca salawat dan zikir,” ujarnya. Kisah sederhana ini mengingatkan kami bahwa pertolongan Allah bisa datang dari arah yang tak disangka. Bayangkan uang tujuh juta itu baru bisa didapat selama satu minggu dengan membersihkan beberapa kantor setiap malam.
Perjuangan kami memimpin Muhammadiyah di Negeri Kanguru, mengingatkan saya pada pesan KH Ahmad Dahlan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Artinya dimana dan kapanpun, kader Muhammadiyah harus menghidupkan organisasi. Pesan ini juga terasa hidup dalam pertemuan tersebutu.
Para kader Muhammadiyah di luar negeri benar-benar menghidupkan gerakan ini—membangun sekolah, menyusun kurikulum, mendampingi keluarga, dan tetap aktif berdakwah. Meski jauh dari pusat organisasi, ruh perjuangan itu tidak hilang. Justru di tanah asing mereka menunjukkan bahwa Muhammadiyah bukan sekadar institusi, tapi gerakan yang hidup di hati.