Oleh: Donny Syofyan
Ketiga, tertutupnya pintu ijtihad. Perihal ini juga menyuguhkan andil bagi lahirnya kejumudan pemikiran umat. Sejarah membuktikan kegagalan kekhalifahan Ustmaniyah dalam mengejar Eropa Barat dalam usaha pengembangan sains lantaran keengganan umat dalam optimalisasi telaah responsif-kritis terhadap fenomena yang timbul memperkuat kesan bahwa Islam pada dasarnya agama yang terbelakang dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan budaya sains modern. Islam, dicirikan lebih menekan kepada paham Jabariyah (fatalisme), berorientasi pada masa lalu ketimbang masa depan, serta tidak membangkitkan gairah eksplorasi dan inovasi.
Daniel Learner, seorang sosiolog Barat menyatakan bahwa Islam is absolutely defenseless against modernity (Islam sepenuhnya berseberangan dengan tuntutan modernitas). Karenanya, Islam sepertinya tidak melegitimasi upaya-upaya reinterpretasi dan penyesuaian-penyesuaian strategis sehingga tidak dapat eksis dalam gejolak perubahan yang berlangsung dan tidak dapat terelakkan, karenanya terjerembab pada lorong anakronisme yang gelap pekat dan pengap tanpa obor penerang.
Satu hal yang paradoks ketika kita berhadapan dengan ayat-ayat Al-Qur’an ataupun Sunnah yang menjustifikasi pencapaian supremasi intelektual sebagai bagian dari citra kekhalifahan manusia. Aturan-aturan yang berlaku universal dan konstan (QS 16:35, 36:34-44, 17:16), larangan bertaklid dan bersandar pada pendapat yang meragukan (QS 31:15 dan 20:21), menarik natijah ‘benang merah’ secara istiqro’ (deduktif) dan menggunakan akal (QS 16:3-18), urgensi validitas bukti dan temuan (QS 2:111), dan sebagainya (Bustanuddin, 1999: 26-27). Dengan demikian, suatu kekeliruan besar mengasumsikan bahwa goyangnya tradisi intelektual di kalangan umat Islam sebagai ‘kebiadaban’ yang direstui oleh ajaran Islam itu sendiri.
Keempat, terkonsentrasinya umat pada empat madzhab (aliran jurisprudensi Islam). Dengan tidak berpretensi menegasikan variabel-variabel eksternal, persoalan madzhab ini juga berakibat sempitnya ruang-ruang dari sebuah kotak besar persatuan umat Islam yang memang masih terus dibina. Betapa tidak? Eksistensi pluralisme madzhab kerap kali antusias memproyeksikan para pengikutnya lebih terdorong oleh sentimen madzhab ketimbang bersungguh-sungguh mewujudkan berbagai kebaikan (al-birr) dan kebenaran (al-haq) dalam interaksi sosial. Lebih lanjut para aktor madzhab yang terjerembab pada fanatisme emosional sama sekali tidak memberikan tempat buat bangkitnya kesadaran normatif umat dan tidak memberikan nuansa pembebasan manusia.
Pengutuban dan reduksi agama menjadi ranah madzhab menyebabkan pemahaman agama kita cenderung fiqh-oriented dan text-based. Padahal teks, sebagai contoh, berada di luar jangkauan manusia. Ia akan berbunyi ketika mengalami metamorfosis menjadi konteks. Sementara, pada sisi lain, reduksi ini beresiko tinggi mentransformasikan agama sebagai ideologi yang bersifat antikritik dan penunggalan diskursus yang keliru. Sehingga seakan-akan tidak ada good will secara tulus memberikan pilihan bebas atau kemerdekaan berkehendak (free will) pada orang atau pihak lain untuk memilih model diskursus lain.
Patut diamini fanatisme madzhab pula berperan bagi munculnya sakralisasi figuritas keagamaan sebagai empunya otoritas interpretasi pesan-pesan keagamaan. Keyakinan kokoh bahwa produk penafsiran otoritas keagamaan memuat skala otoritatif dan memberikan jaminan keamanan spiritual hanya bakal mengkristal sebagai kemunduran yang sekaligus sebagai sumber legitimasi teologis humanistis sekular yang berlaku di Barat (to leave religion to the church dan politics to the state). Lebih dahsyat lagi ini sangat potensial menggiring munculnya deretan ulama sû’.
Adalah kewajiban kita semua umat Islam untuk mengaktualisasi diktum yang selama ini menjadi bahan ucapan, slogan atau wirid umat Islam, bahwa Islam tak akan pernah dilindas oleh sejarah, sebab al Islam shalih li kulli zaman wa makan (Islam senantiasa cocok untuk setiap dimensi tempat dan kurun waktu).
Akhirnya, upaya elegan mengembalikan identitas umat Islam sebagai khaira ummah (QS 2:213), ummatan wasathan (QS 2:143) dan ummatan wahidah (QS 3:110) memancar menjadi pekerjaan rumah yang telah menanti di hadapan setiap komponen umat (ulama, pemerintah, ilmuan, profesional, dll). Niscaya ini diperbuat demi semangat inklusivisme, kosmopolitanisme dan universalisme Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (QS 34:28 dan 21:107). Wa ‘llah-u a’lam-u bi al-shawab.
Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas