Dinamika Geopolitik Global dan Tantangan Dunia Islam
Oleh: A. Junaedi Karso, Guru Besar FISIP Universitas Muhammadiyah Makassar
Memasuki tahun 2025 dunia dihantui oleh ketidakpastian ekonomi dan politik. Dinamika geopolitik global dihadapkan pada berbagai kompleksitas permasalahan. Baik masalah politik, ekonomi, sengketa dan peperangan, hingga bencana alam dan lingkungan.
Banyak negara yang kini diwarnai oleh konflik dan peperangan seperti perang Israel-Palestina, Rusia-Ukraina, Amerika Serikat-Yaman (konflik Laut Merah) serta berbagai belahan dunia lainnya. Konflik-konflik itu sewaktu-waktu bisa kian memanas serta berdampak pada keamanan regional dan global.
Kondisi geopolitik itu dengan sendirinya berpengaruh pada ekonomi global. Tak sedikit negara yang tengah berjuang menghadapi kelesuan ekonomi. Mereka didera oleh meroketnya harga-harga, tingginya inflasi, meningkatnya pengangguran, menumpuknya utang negara, dan berbagai permasalahan lainnya. Kompleksitas permasalahan yang ada mengancam stabilitas ekonomi dan menggoyahkan sendi-sendi fora internasional.
Sebagai bagian dari masyarakat internasional, tentu Indonesia dan umumnya dunia Islam pun tak terlepas dari dampak tersebut. Indonesia dirundung permasalahan seperti inflasi, menurunnya daya beli masyarakat, maraknya PHK dan pengangguran, hingga tingginya angka kriminalitas.
Sementara sejumlah negara berpenduduk muslim seperti Pakistan, Mesir, Turki, Afganistan, Bahrain, Tunisia, Maroko, dan Nigeria, menghadapi permasalahan ekonomi yang serius. Menurut Bank Dunia (World Bank) mereka termasuk deretan negara yang berpotensi mengalami kebangkrutan ekonomi, jika tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada.
Kelesuan Ekonomi
Kelesuan ekonomi secara global juga berdampak pada Indonesia. Sistem ekonomi lesu, daya beli dan permintaan masyarakat terhadap barang atau jasa menurun. Sehingga kegiatan produksi perusahaan terpaksa harus dikurangi. Pengurangan jumlah produksi berdampak pada berkurangnya tenaga kerja. Konsekuensinya banyak perusahaan melakukan PHK atau pengurangan tenaga kerja. Dampak lebih lanjut menambah angka pengangguran hingga permasalahan sosial dan kriminalitas.
Di berbagai daerah banyak pelaku usaha mengeluhkan kondisi usahanya. Mereka mengalami drop disebabkan minimnya konsumen. Mungkin karena lemahnya daya beli masyarakat. Bisnis yang relatif masih mampu bertahan adalah jenis kuliner terkait kebutuhan pokok.
Bahkan usaha garmen banyak yang gulung tikar. Termasuk raksasa tekstil seperti PT Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, yang mempekerjakan belasan ribu karyawan. Data hingga bulan Desember 2024 tercatat ada 60 perusahaan garmen dan tekstil yang bangkrut. Tak kurang dari 250 ribu karyawan dirumahkan. Belum lagi usaha-usaha di sektor lainnya.
Selain itu, utang negara juga berpengaruh pada kondisi ekonomi suatu negara. Hingga November 2024 utang Pemerintah Indonesia mencapai 8.680 triliun rupiah. Rasio utang tersebut terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) hampir 40 persen. Jumlah itu meningkat sekitar 1000 triliun rupiah dibandingkan utang pemerintah tahun 2022. Artinya utang Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan cukup signifikan.
Kementerian Keuangan RI mencatat bahwa pada tahun 2025 utang Indonesia yang sudah jatuh tempo dan harus dibayarkan sebesar 800 triliun rupiah. Malahan di tahun 2026 jumlah utang yang jatuh tempo lebih dari 800 triliun rupiah. Nominal utang itu tentu berpengaruh pada APBN Indonesia. Wajar juga jika APBN kita dari tahun ke tahun cenderung mengalami devisit yang kian meningkat.
Sementara negara adidaya seperti Amerika Serikat ternyata menanggungkan utang cukup besar. Hingga tahun 2024 utang negeri Paman Sam itu tercatat sebesar 36 triliun dolar AS. Tanggungan utang sebesar itu tentu berpengaruh pada keuangan negara. Inflasi melambung tinggi, pengangguran meningkat, kriminalitas melonjak tinggi, dan ekonomi mengarah ke resesi. Belum lagi belanja militer untuk mendukung sekutunya Israel dan Ukraina.
Hal yang sama juga terjadi di Rusia. Utang negeri Beruang Merah itu di tahun 2024 tercatat sekitar 7.000 triliun rupiah. Rusia juga harus menanggung beban biaya militer dalam peperangan melawan Ukraina hingga puluhan ribu triliun rupiah. Sumber dana itu melibatkan bank-bank milik pemerintah, hingga menggoyahkan stabilitas ekonomi negara.
Kondisi ekonomi dan geopolitik global yang masih diselimuti awan kelabu, berdampak pada sejumlah negara yang berpotensi mengalami kebangkrutan. Penyebab krisis ekonomi yang dialami masing-masing negara berbeda. Tetapi secara global penyebab utama keterpurukan ekonomi negara adalah adanya inflasi yang melambung tinggi. Ketika inflasi melonjak, maka daya beli masyarakat akan jatuh. Pertumbuhan ekonomi pun akan anjlok menurun.
Data IMF menunjukkan tingginya angka inflasi di beberapa negara seperti Zimbabwe (560%), Argentina (250%), Sudan (145%), Venezuela (100%), Turki (59,5%), Iran (37,5%), Mesir (32,5%), dan Sri Lanka (40%). Di samping negara-negara tersebut, World Bank juga memberi peringatan kepada sejumlah negara lainnya yang berpotensi mengalami kebangkrutan seperti Afganistan, Pakistan, Lebanon, Myanmar, Laos, Ukraina, Brasil, Costa Rika, Ekuador, Ethiopia, Nigeria, Rwanda, Kenya.
Faktor Eksternal dan Pertumbuhan Ekonomi
World Bank memperkirakan ekonomi global hanya akan tumbuh 2,7 persen pada tahun 2025. Senada dengan World Bank, Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan eknomi dunia akan mengalami stagnasi. Hal itu disebabkan adanya eskalasi konflik regional, kebijakan moneter yang tetap ketat dalam waktu lama, meningkatnya volatilitas di pasar keuangan, pelambatan ekonomi China, dan terus meningkatnya kebijakan proteksionis.
Bank Dunia memprediksi ekonomi China hanya akan tumbuh 4,5 persen tahun ini. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan tahun lalu sebesar 5 persen. Ekonomi negeri Tirai Bambu itu melandai dengan cepat dalam setahun terakhir. Melemahnya ekonomi Tiongkok menjadi alarm pula bagi Indonesia. Tiongkok adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi Asia, mitra dagang terbesar dan salah satu investor asing terbesar di Indonesia. Menurunnya ekonomi China juga bisa menekan harga komoditas, mengingat Tiongkok adalah konsumen terbesar untuk sejumlah komoditas, termasuk batu bara.
Selain pelemahan ekonomi China, terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) juga menjadi faktor lain. Presiden Trump dipandang akan memicu kian lekatnya kebijakan proteksionisme ke sejumlah negara. Trump juga bakal memperpanjang perang dagang antara AS-China. Bahkan terhadap China, Trump mengancam akan mengenakan tarif hingga 60 persen pada produk-produk China.
Sementara terkait kebijakan politik khususnya di kawasan Timur Tengah, tampaknya Trump lebih membela kepentingan sekutunya yakni Israel. Lebih dari itu, Trump telah memaklumatkan perang besar dan menjadikan Timur Tengah “neraka” jika tidak tunduk pada garis politiknya. Sikap keras Trump yang membuat skeptis para tokoh politik dan umumnya dunia Islam.
Sedangkan dalam kaitan hubungan bilateral dengan Indonesia, Trump pun menyatakan akan mengurangi defisit dalam neraca perdagangan dengan beberapa negara. Tak terkecuali terhadap Indonesia. Sebagaimana kita ketahui Indonesia tercatat sebagai penyumbang defisit terbesar ke-15 dalam perdagangannya dengan AS. Selama ini Indonesia menikmati keuntungannya dalam bisnis dengan negara adidaya itu.
Kebijakan Trump yang proteksionis dan mengancam akan menerapkan kebijakan tarif perdagangan universal hingga 10-20 persen tentu tidak menguntungkan bagi stabilitas ekonomi global. Implikasi kebijakan Trump pun akan dirasakan oleh negara-negara di Asia.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, menjelaskan bahwa terpilihnya Trump dengan kebijakan “American First” bisa membawa perubahan besar terhadap landscape geopolitik dan perekonomian dunia. Faktor Trump berpengaruh pada kenaikan tarif hingga perang dagang, meningkatkan ketegangan politik hingga memberi disrupsi pada rantai pasok global. Akibatnya prospek ekonomi global akan meredup. Ketidakpastian ekonomi pun akan semakin tinggi.
Perry Warjiyo juga menyebutkan setidaknya ada 5 hal yang tengah mengancam ekonomi global dan memicu ketidakpastian, yakni pertumbuhan ekonomi global cenderung melandai, inflasi karena gangguan rantai pasok dan perang dagang, kebijakan The FED (Federal Reserve System) dengan penerapan suku bunga tinggi, kenaikan nilai dolar, dan derasnya aliran modal asing ke AS.
Faktor-faktor eksternal itu tentu berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tahun 2024 lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sekitar 5 persen. Di tahun 2025 ini diproyeksikan pertumbuhan ekonomi masih di kisaran angka 5 persen. Namun jika kondisi politik dan ekonomi global menjurus pada instabilitas, maka skor pertumbuhan ekonomi bisa menurun atau bahkan anjlok.
Perlu langkah-langkah strategis guna mengantisipasi ancaman dan permasalahan yang ada. Termasuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Telah dipatok total belanja negara RI sebesar 3.621 triliun rupiah. Belanja negara inilah yang diharapkan ikut mendongkrak pertumbuhan ekonomi, terutama dari rangsangan insentif. Dari anggaran belanja tersebut, pemerintah mengalokasikan insentif sejumlah 265 triliun. Insentif ini dimaksudkan untuk melindungi daya beli masyarakat dan UMK, mendorong konsumsi hingga investasi.
Di samping itu, kita perlu mendukung adanya kebijakan Presiden Prabowo Subianto terkait makan bergizi gratis serta ketahanan pangan nasional. Keuntungan program makan bergizi gratis di antaranya dapat meningkatkan belanja sosial serta kualitas sumber daya manusia. Sedangkan program ketahanan pangan nasional dimaksudkan bukan saja untuk menjaga ketersediaan kebutuhan pangan rakyat, tetapi juga untuk membangun fondasi ekonomi. Indonesia sebagai negara agraris sudah pasti potensi terbesarnya adalah hasil pertanian. Dan pangan juga menjadi kebutuhan pokok dan utama masyarakat.
Indonesia dan umumnya dunia Islam menapaki tahun 2025 di tengah pusaran ketidakstabilan geopolitik global. Tantangan yang tidak mudah dan membutuhkan kerjasama serta sinergitas negara-negara Islam. Sehingga dunia Islam mampu segera bangkit dan menyongsong masa depan yang lebih cerah.