Edukasi Mengelola Finansial Sejak Dini
Oleh: Dr Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/LPPA PWA Kalbar
Tulisan ini terinspirasi dari observasi penulis terhadap diri dan orang lain tentang manajemen keuangan yang belum dianggap perlu untuk dipelajari, dipahami dalam realitas hidup sehari-hari. Banyak diantara kita "mungkin" mengabaikan pentingnya manajemen hidup salah satunya include tentang pengaturan keuangan. Padahal jika kita cermati mengatur keuangan bukan sekedar tentang bijak dalam menyimpan dan mengelola uang atau kekayaan, lebih luas adalah tentang pembelajaran untuk generasi (untuk anak keturunan khususnya) agar mereka pun teliti dan cekatan di masa depannya kelak.
Cekatan, tidak berlebihan serta tepat dalam mengatur keuangan kurang arif jika dimaknai "perhitungan" untuk membahagiakan diri. Sering kita dengar statement di masyarakat yang mengatakan demikian. Beberapa masyarakat bahkan memberi stigma demikian pada suku tertentu yang dianggap "pelit". Suku Minang contohnya, jamak mendapat stigma sebagai kelompok masyarakat yang dianggap pelit. Faktanya masyarakat Minang yang merupakan suku asli Indonesia sangat selektif termasuk dalam hal menggunakan uang. Mereka dikenal sebagai pedagang ulung, mempertimbangkan hal pokok terlebih dahulu sebagai skala prioritas khusus dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan.
Walaupun demikian, masyarakat Minang tidak berhitung jika membantu saudara bahkan yang tidak ada pertalian darah. Bagi mereka menolong saudara bukan saja sekedar budaya turun temurun, tetapi bagian dari dakwah dalam kebaikan. Beberapa masyarakat Minang yang penulis wawancarai mengisahkan bahwa hemat dan sederhana dalam hidup adalah edukasi yang tertanam dari nenek datuk. Yang lain bahkan menyebut, walaupun sudah beranak pinak di negeri rantau, budaya membantu saudara tak hilang dan lekang. Pola hidup tersebut seperti kategori diri yang menjadi identitas komunal.
Dalam paradigma ilmu sosial, identitas diri dibahas lebih dalam pada teori kategorisasi sosial. Teori ini dikembangkan oleh John Turner, menurutnya bahwa identitas positif dipertahankan melalui afiliasi dengan kelompok yang dihargai, dan perbandingan sosial yang menghasilkan penilaian identitas positif secara keseluruhan. Identitas sosial akan menentukan diri secara pribadi dalam entitas kategori diri.
Hal ini bermakna bahwa perilaku sejak dini sebagai akumulasi kumpulan budaya yang diterima oleh individu akan menjadi identitas, tanpa terkecuali tentang pengaturan keuangan. Budaya hemat, cermat tidak dilahirkan begitu saja, tetapi didapat sebab pola asuh, pendidikan dan kecerdasan diri.
Pentingnya Edukasi Keuangan (Literasi Keuangan)
literasi keuangan dapat didefinisikan sebagai kemampuan atau keterampilan individu dalam mengelola keuangan yang dimilikinya. Jika kita telusuri jenjang pendidikan sekolah dari tingkat Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi di Republik ini belum menjadikan pengelolaan finansial sebagai bagian dari pendidikan yang penting dan harus dipelajari. Kita hanya dibiasakan menabung, tetapi hanya sekedar himbauan bukan sebuah pesan tersurat, tidak tersirat untuk menjelaskan mengapa penting menabung dijadikan budaya bukan hanya sekedar menyisakan uang jajan. Akibatnya banyak masyarakat disegala jenjang tingkat pendidikan, mudah tergiur dengan pinjaman berbunga kecil, pinjaman mudah tanpa anggunan, atau permainan menguntungkan (game online) yang sejatinya wajah baru judi tradisional.
Realitas tersebut merupakan pathos yang jika terus dibiarkan merusak tatanan berbangsa bernegara. Generasi Indonesia akan begitu saja tercemar dan akhirnya hilang, ibarat genosida yang secara pasti menghancurkan tanpa sisa. Maka penting anak dilatih untuk memahami needs dan wants, mengontrol diri untuk mencegah gangguan mental, sebab pengelolaan finansial yang buruk (hedonisme) akan mempengaruhi kesehatan jiwa dan menyebabkan rendahnya nilai hidup suatu keluarga karena tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok atau salah menempatkan kebutuhan yang disebut utama dan tambahan.