Berprasangka Baik di Bulan Mulia
Oleh: Dr. Amalia Irfani, M.Si, LPPA PWA Kalbar & Dosen FUAD IAIN Pontianak
Seorang ibu setengah baya duduk diteras rumah sambil memperhatikan satu persatu tetangga yang lewat membawa tentengan belanja. Sesaat ibu tersebut yang biasa disapa Mak Ai, terpaku. Ingatan beberapa tahun silam bagaimana kebahagiaan menyambut ramadan pernah ia rasakan. Namun bulan mulia datang disaat anak tunggalnya, yang menjadi tulang punggung keluarga baru dirumahkan, dengan alasan perusahaan pailit. Perasaan sedih Mak Ai bukan hanya karena anaknya di PHK, tetapi juga karena tidak ada lagi suami yang dulu selalu menemaninya sahur, membimbingnya untuk salat fardhu lima waktu. Seketika air mata membasahi pelupuk mata dikulit yang tidak lagi muda, teringat bagaimana sang suami meninggal dipelukannya setelah salat isya empat bulan lalu.
Cerita singkat Mak Ai tentang bagaimana puasa ramadan harus dilewati berbeda dengan ramadan sebelumnya adalah contoh bahwa hidup ini penuh dengan cobaan. Ada kebersamaan, kelak akan ada pula kesendirian berbalut kesedihan. Ada yang Allah uji dengan harta berlimpah, kemudahan urusan, namun sebaliknya ada dengan kemiskinan, sakit bahkan kesendirian ditinggal orang terkasih. Jika kita mengukur diri dan membandingkan dengan insan yang lebih beruntung, maka yang ada hanya lemahnya mental, muncul ketidakpercayaan dihati pada kekuasaan Tuhan. Ini sering kali menyebabkan banyak hamba Allah yang akhirnya kufur nikmat. Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS An-Nisa [3]: 32).
Sebagai hamba beriman kita harus yakin bahwa Allah adalah sebaik-baiknya perancang kehidupan bagi makhlukNya. Jika ingin terhindar dari sifat hati yang akan membawa kebinasaan dan merusak mental kita harus berusaha menghindari sifat-sifat tercela, yakni : hasad (iri hati), riya (pamer), dan ujub (angkuh, sombong atau berbangga diri). Rasullullah SAW, “Hati-hati dengan hasad, karena hasad dapat memakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar", (HR. Abu Dawud).
Pentingnya Afirmasi Positif
Memulai melakukan kebaikan bukanlah perkara sederhana. Seringkali seorang insan dihadapkan pada kebimbangan, cobaan hidup, hati yang berubah-ubah, serta lalai bersyukur. Husnudzon dapat didefinisikan sebagai sikap untuk senantiasa menghadirkan ketenangan dengan tujuan agar terbentuk kepribadian yang sabar, gigih, pantang menyerah, ikhlash dengan takdir yang Allah tetapkan.
Kita bisa mengukur fenomena sosial kemasyarakatan Indonesia beberapa waktu terakhir, mungkin dapat disimpulkan akan semakin meningkat jumlah masyarakat yang dihinggapi stres, depresi, putus asa karena himpitan ekonomi. Kebutuhan hidup yang tidak berbanding lurus dengan pendapatan merupakan dominasi penyebab banyak penyakit sosial bermunculan dan meningkat. Maka penting bagi kita memiliki afirmasi positif, terus berprasangka baik melihat masa depan akan cerah di tengah kekalutan massal yang wara wiri muncul di beranda media sosial sebagai ujian kedewasaan berpikir dan bertindak. Masa ini bukan lagi saling menyalahkan, namun sebagai hamba Allah yang beriman kita jangan lalai, untuk terus memohon perlindungan dan ampunan tidak hanya untuk diri, keluarga, tetapi juga bagi segenap bangsa dan negara.
Mari kita manfaatkan sisa usia dan momentum ramadan untuk terus mendapatkan kemuliaan, dan menebar kemanfaatan. Jika ada rezeki lebih, ayo bantu saudara-saudara kita yang membutuhkan. Jika harta tidak dimiliki, tenaga, pikiran kita sumbangkan, Rasulullah SAW bersabda, “Seluruh perbuatan baik adalah sedekah”, (HR. Bukhari).