Etika Sosial dan Politik dalam Masyarakat Modern
Oleh: Jabrohim
Fenomena sosial-politik di era kontemporer sering kali mempertontonkan kontradiksi antara idealisme nilai dan praktik nyata di lapangan. Di tengah harapan akan pemerintahan yang bersih dan berintegritas, justru marak terjadi praktik-praktik yang mencederai prinsip moral, seperti politik transaksional, penyalahgunaan kekuasaan, dan dekadensi etika publik. Hal ini mencerminkan apa yang oleh Bauman (2000) disebut sebagai "cairnya moralitas" dalam masyarakat modern—di mana batas antara yang benar dan salah semakin kabur karena tekanan pragmatisme.
Salah satu bentuk konkritnya adalah praktik politik uang yang seolah telah membudaya dalam setiap proses demokrasi. Amplop-amplop berisi imbalan tersembunyi beredar secara sistematis untuk membeli loyalitas atau suara, menjadikan proses demokrasi kehilangan maknanya. Fenomena ini bukan hanya menandakan krisis integritas, tetapi juga memperlihatkan rendahnya kesadaran akan etika publik. Sebagaimana dijelaskan oleh Rawls (1971), keadilan sebagai fairness menuntut partisipasi dalam sistem politik yang bebas dari paksaan dan manipulasi -- suatu ideal yang semakin jauh dari kenyataan.
Sayangnya, banyak individu yang dengan mudah mengorbankan prinsip dan integritas pribadinya demi keuntungan jangka pendek. Mereka menjadi bagian dari sistem yang justru merusak harkat dan martabat manusia. Hal ini beresonansi dengan pemikiran Alasdair MacIntyre dalam After Virtue (1981), yang menyatakan bahwa krisis moral modern disebabkan oleh runtuhnya nilai-nilai komunal yang menjadi fondasi karakter dan kebajikan.
Lebih jauh, fenomena perebutan kekuasaan kerap kali diwarnai ambisi yang membutakan. Segala cara ditempuh, termasuk cara-cara yang bertentangan dengan nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan. Individu yang masih menjunjung nilai kejujuran dan ketulusan, sering kali justru terpinggirkan. Dalam konteks ini, apa yang disebut Weber (1919) sebagai “etika tanggung jawab” tidak lagi menjadi acuan dalam tindakan politik; yang berlaku adalah “etika niat” yang dimanipulasi untuk kepentingan citra belaka.
Tampaknya, banyak aktor publik tampil dalam balutan simbol-simbol religius dan atribut akademik, namun tidak mencerminkan kualitas moral yang sejati. Ini mengingatkan pada kritik Habermas terhadap “kolonisasi dunia hidup” oleh sistem, di mana simbol dan komunikasi dipakai untuk melanggengkan kekuasaan, bukan untuk membangun pemahaman yang tulus (Habermas, 1984). Hal ini memperlihatkan adanya jurang yang lebar antara pengetahuan, spiritualitas, dan tindakan nyata dalam kehidupan sosial.
Lebih menyedihkan lagi, lingkungan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan moral generasi muda justru dirusak oleh pengaruh negatif seperti narkoba dan gaya hidup hedonistik. Tokoh-tokoh publik yang seharusnya menjadi teladan, malah terlibat atau membiarkan dirinya dikelilingi oleh praktik-praktik destruktif. Dalam situasi seperti ini, masyarakat mengalami apa yang disebut Erich Fromm sebagai kebebasan yang melumpuhkan—yaitu kebebasan tanpa arah moral, yang pada akhirnya menjadikan individu kehilangan makna dan tujuan hidup.
Akhirnya, krisis ini tidak hanya merupakan masalah struktural, tetapi juga krisis spiritual dan etis. Ketika manusia melupakan tanggung jawab transendennya dan menafikan kehidupan setelah kematian, maka segala bentuk peringatan tentang keadilan ilahi dianggap tidak relevan. Dalam perspektif Islam, realitas seperti ini menjadi pengingat akan pentingnya hisab dan kesadaran eskatologis. Al-Qur'an mengingatkan, "Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya), dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasannya)" (QS. Az-Zalzalah: 7-8).
Oleh karena itu, sudah saatnya refleksi kritis dilakukan, bukan hanya oleh para pemimpin, tetapi oleh seluruh elemen masyarakat. Rekonstruksi nilai, penguatan etika publik, dan integrasi antara spiritualitas dan praksis sosial menjadi agenda penting bagi masa depan bangsa yang lebih bermartabat.