Falsafah ‘Menjadi’ Manusia
Oleh: Rahmatullah, M.A, Sekretaris LDK PWM Kaltim, Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir UINSI Samarinda
Diksi ‘menjadi manusia’ yang dibaca oleh manusia mengundang tanya. Bagaimana mungkin ada manusia yang tak menjadi manusia. Adalah Erich Fromm, filsuf pencerahan dari Jerman membagi manusia ke dalam dua modus, yaitu modus memiliki (to have) dan menjadi (to be). Manusia yang mengaktifkan modus ‘memiliki’ akan menjadi rakus, tamak, serakah. Ia berusaha menguasai apa yang bisa dimiliki, meski menghalalkan segala cara.
Sebaliknya, modus ‘menjadi’ akan membentuk manusia paripurna. Dalam bahasa Al-Quran, menjadi manusia berarti berkeyakinan kokoh nan kuat (mu’min), beribadah tunduk nan taat (muslim) dan beramal baik nan manfaat (muhsin). Lebih tegas, di awal Surat Al-Insan yang berarti manusia, Allah menegaskan falsafah manusia sebenarnya.
هَلْ اَتٰى عَلَى الْاِنْسَانِ حِيْنٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْـًٔا مَّذْكُوْرًا اِنَّا خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ نُّطْفَةٍ اَمْشَاجٍۖ نَّبْتَلِيْهِ فَجَعَلْنٰهُ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا اِنَّا هَدَيْنٰهُ السَّبِيْلَ اِمَّا شَاكِرًا وَّاِمَّا كَفُوْرًا
Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa yang ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur. Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan) sehingga menjadikannya dapat mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus); ada yang bersyukur dan ada pula yang sangat kufur.
Rangkaian ayat tersebut dimaknai Buya Hamka dengan satu pembahasan bahwa manusia itu diciptakan dari tidak penting menjadi penting. Semua itu melalui suatu waktu (al-dahr). Artinya setiap manusia mempunyai masa hidup di dunia untuk menjadi orang penting. Al-dahr inilah yang menjadi kata kunci manusia menjadi bermakna ataukah merana. Dalam ayat tersebut ditegaskan, ada yang bersyukur, ada pula yang kufur.
Menjadi manusia berarti mempunyai kesadaran bahwa hidup ini mempunyai jatah waktu masing-masing. Imam al-Raghib al-Asfahani memahami kata al-dahr yaitu masa yang lama. Ini berbeda dengan kata al-zaman yang bermakna masa yang sebentar atau bisa juga lama. Pada perkembangannya, dahru fulaan, masa hidup si fulan, bermakna sisa waktu yang dimiliki fulan.
Dari uraian kata al-dahr tersebut, kita dapat belajar mempersiapkan sisa waktu yang masih ada. Kita tidak tahu berapa lama lagi jatah kehidupan yang disediakan oleh Allah. Tugas kita adalah mengisi waktu demi waktu yang berjalan, sehingga manusia dari yang awalnya tiada dapat menjadi berharga.
Waktu menjadi kata kunci penting yang melekat dalam kehidupan manusia. Akhir waktu dalam kehidupan setiap insan disebut maut atau ajal. Selama maut belum menjemput, manusia bisa bekerja dan berkarya. Ada yang sukses dan gagal, semua soal masa. Karenanya di dalam Al-Quran, Allah swt sering bersumpah dengan nama waktu, wal ‘ashr, wa al-dhuhaa, wa al-laili, wa al-nahaari, dan lain-lain. Kesadaran terhadap waktu ini erat kaitannya dengan menikmati proses. Semua butuh tahapan demi tahapan yang dilalui. Man saara ‘ala darbi washala, kata pepatah Arab.
Coba kita renungkan, setidaknya mengambil rentang waktu satu tahun ke belakang. Ada banyak catatan kelam yang berkaitan dengan menghargai proses. Ada yang hendak naik jabatan, tetapi dengan cara yang instan. Ada yang terlilit utang, malah terjerat pinjaman online (pinjol). Ada yang frustrasi berat, hingga memilih mengakhiri hidup. Ada pula yang hendak kaya, dengan cara mencetak uang palsu.
Hal ini dapat terjadi karena kita kehilangan arah modus ‘menjadi’ manusia. Ingin memperoleh hasil dengan cara cepat adalah karakter dari modus ‘memiliki’. Lebih parah lagi, ketika ada harapan yang tak tercapai, buru-buru manusia menggerutu waktu. Menyalahkan situasi dan kondisi, alih-alih berbenah memperbaiki diri. Padahal Nabi Muhammad saw telah memperingatkan:
لَا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فَإِنَّ اللهَ هُوَ الدَّهْرُ
“Janganlah kalian mencaci masa, karena Allah adalah pengatur masa”
Menjadi manusia berarti menerima segala konsekuensi yang terjadi hari ini. Sebab apa yang terjadi hari ini adalah akumulasi dari perbuatan masa lalu dan hari ini adalah cerminan refleksi masa depan. Kalau pun ada kegagalan, kita dapat belajar. Itulah hakikat waktu yang terus berputar. Wa tilka al-ayyaam nudaawiluha baina al-nas, ada perputaran masa kejayaan dan kemunduran dalam kehidupan manusia agar menjadi pelajaran.
Karenanya falsafah lain dari menjadi manusia adalah terbuka dan mau memperbaiki diri. Musuh utama manusia adalah kebodohan. Ketidaktahuan membuat manusia saling benci, apatis dan tak mau berbagi. Beradaptasi dan belajar dengan kondisi-kondisi baru adalah karakter yang membuat manusia dapat bertahan hingga saat ini.
Terlebih di akhir tahun 2024 ini, momentum pergantian tahun dapat menjadi refleksi, kilas balik selama satu tahun ke belakang. Apa saja yang sudah dan belum dicapai. Apa hal-hal baru yang menjadi pembelajaran dalam kehidupan.
Proses untuk terus berusaha mengaktifkan modus ‘menjadi’ akan menuntun manusia menuju sinar pencerahan, menjauh dari ruang kegelapan. Bahwa hidup dengan masa yang singkat ini, tak boleh berakhir begitu saja. Kita perlu menyusun strategi hidup yang cerah dan mencerahkan. Dan itu dimulai dari kesadaran bahwa manusia telah dikaruniai segenap potensi oleh Tuhan untuk bergerak maju.
Jika tunas kesadaran ‘menjadi’ itu sudah tumbuh, maka selanjutnya kita siram dengan pupuk keimanan, ketaatan dan kebaikan terus-menerus tak kenal lelah. Masih ada waktu untuk berbenah. Songsong tahun depan untuk berubah. Jalani hari demi hari dengan ibadah. Akhirnya, setiap usaha akan berbuah dengan penuh berkah.
“Segala sesuatu menunggu pada waktunya. Tak ada mawar yang mekar sebelum waktunya. Matahari juga tidak terbit sebelum waktunya. Tunggu, apa yang menjadi milikmu pasti akan datang kepadamu.”