Gelar Pendidikan dan Penghormatan

Publish

24 July 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
357
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Gelar Pendidikan dan Penghormatan

Oleh: Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/LPPA PWA Kalbar

Tidak dapat dipungkiri pendidikan beserta gelar yang melekat merupakan bagian integral dari kebahagiaan hidup seseorang. Terdidik adalah pilihan bukan paksaan, berpendidikan secara otomatis akan merubah paradigma berpikir tentang diri dan lingkungan. Poin terpenting ketika seseorang bergelar terdidik secara formal bahkan non formal sekalipun, menjadi jurus ampuh meruntuhkan dinding kebodohan generasi. Kiai Ahmad Dahlan sang Pencerah bertutur, pendidikan adalah upaya untuk mencapai tujuan hidup yaitu melalui kecerdasan intelektual, spiritual, emosional dan sosial. Semuanya harus berpadu membentuk karakter atau identitas yang tegas akan membedakannya dengan individu lain. 

Jika suatu keluarga ingin diangkat harkat, martabat maka berpendidikan adalah solusi. Maka jamak kita lihat, orang tua yang bersusah payah menyekolahkan anak-anaknya walaupun dengan himpitan dan kekalutan ekonomi. Bagi mereka menjadikan anak terdidik melebihi warisan materi trilyunan sekalipun yang bisa habis hitungan waktu. Tetapi jika ilmu, ia adalah tameng melintasi waktu, dimana kepalan semangat akan diwariskan ke generasi selanjutnya. 

Urgensi Pendidikan 

Pendidikan hakikatnya berkaitan erat dan lekat pada kemajuan suatu negara, sehingga penting sistem pendidikan tidak hanya sekedar "penampakan", sesuai amanah konstitusi (UUD 1945), tetapi harus sebuah kebutuhan untuk memaksimalkan nilai hidup generasi yang direalisasikan dalam sebuah sistem pendidikan yang baik, berkualitas dan sesuai dengan tantangan zaman bahkan kemampuan masyarakat. Sistem pendidikan  prima akan melahirkan sumber daya manusia unggul berkualitas, dengan kata lain semakin meningkat pesat kualitas pendidikan maka  semakin maju suatu negara. Sebaliknya semakin rendah kualitas sistem pendidikan maka negara tersebut akan terbelakang, dan tidak memiliki kemampuan menghadapi dinamika perubahan zaman. 

Lalu bagaimana sistem pendidikan dapat memberikan nilai positif kepada masyarakat ?. Jawabannya terkait pada proses pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman serta memiliki ruang berkembang bagi rakyat tanpa ada sekat atau perbedaan. Seluruh rakyat di segala strata dapat dengan mudah mengakses pendidikan sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Bahkan jika perlu negara membuat peraturan mewajibkan warganya untuk bersekolah, dengan biaya sesuai kesanggupan bahkan gratis bagi warga miskin. Harus kita akui kesadaran yang rendah untuk sekolah merupakan salah satu penyebab semakin tingginya pengangguran, yang berarti berafiliasi dengan rendahnya pendidikan dan skill hidup, jika budaya tersebut tidak berubah, maka kemiskinan umpama perangkap lingkaran setan  (the vicious circle of poverity) yang tidak habis-habisnya. 

Gelar Pendidikan dan Status Sosial 

Penulis meyakini gelar pendidikan dari jenjang strata satu hingga strata tiga memiliki dimensi kepuasaan, kebahagiaan yang luar biasa, khususnya bagi pecinta ilmu, yang betul-betul meraih toga dengan keringat dan air mata. Terlebih untuk para orang tua, walaupun ia berpendidikan tinggi, namun kebahagiaan tersendiri saat melihat keturunannya juga meraih tangga yang sama secara akademis. 

Gelar pun dulu jauh sebelum honoris causa tidak jamak dilabeli ke siapa saja,   menjadi prestise yang mampu membuat orang lain berdecak kagum, karena didapat dengan penuh perjuangan, berpadu antara materi dan imateri. Dulu pun gelar teridentifikasi melekat pada individu  berilmu,  layak di tiru dan secara otomatis menaikan status sosial. 

Mirisnya, semakin kesini gelar menjadi arena baru, bernilai jual,  tidak lagi berproses seperti dulu untuk meraihnya. Kemudahan, value karena siapa, membuat pendidikan berkurang makna. Jika pendidikan sebagai tiang menjaga generasi sudah tercemar, bisa dipastikan seperti apa gambaran suatu negara ke depan. Terlebih di New era, semakin banyak aplikasi yang dirancang untuk memudahkan belajar, tanpa perlu banyak membaca literatur, memahami dan menganalisis secara mendalam. Faktanya kita menjadi bagian yang juga menikmati kemudahan tersebut karena beranggapan "sudah zamannya". Padahal kemudahan tidak melulu memberikan kebaikan, banyak nilai hidup yang tergerus dan akhirnya menghilangkan esensi budaya dan norma sosial kemasyarakatan. 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Anak Saleh (7) Oleh: Mohammad Fakhrudin Perlu ditegaskan kembali bahwa anak saleh bukan sesuatu y....

Suara Muhammadiyah

5 September 2024

Wawasan

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah era 1970-1990 KH Abdur Rozaq Fachruddin menyambut Maulid Nabi Muha....

Suara Muhammadiyah

19 September 2023

Wawasan

Warisan Yusuf Al-Qaradhawi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Yus....

Suara Muhammadiyah

8 January 2024

Wawasan

Gaza: Di Manakah Pertolongan Allah? Oleh: Donny Syofyan Kita melihat banyak kematian dan kehancura....

Suara Muhammadiyah

10 November 2023

Wawasan

Musim Pilkada, Musim Menabur Uang? Oleh: Immawan Wahyudi, Immawan Wahyudi Dosen Fakultas Hukum....

Suara Muhammadiyah

13 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah