(Analisis Qur’an Surat Al-Ghasyiyah Ayat 18)
Oleh: Wakhidah Noor Agustina, SSi, Ketua PCA Kota 3 dan Pengajar di SMA Negeri 2 Kudus
Dunia ini penuh dengan keajaiban yang terhampar di hadapan mata kita. Dari bentangan samudra yang luas hingga gurun pasir yang sunyi, setiap elemen alam adalah tanda kebesaran Sang Pencipta. Namun, sering kali kita abai, tak sempat merenungkan makna di balik ciptaan-ciptaan itu. Al-Qur'an, sebagai petunjuk hidup, tak henti-hentinya mengajak kita untuk tadabbur atau merenungkan ciptaan-Nya.
Dalam Surah Al-Ghasyiyah, setelah mengajak kita memperhatikan unta yang luar biasa dan langit yang menjulang, Allah Subhanahu wa Ta'ala melanjutkan dengan sebuah pertanyaan yang menggetarkan: "Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?" (QS. Al-Ghasyiyah: 18).
Pertanyaan retoris ini bukan sekadar kalimat biasa; ini adalah undangan agung bagi setiap hamba untuk menyelami rahasia di balik kokohnya gunung, mengajak kita untuk mengagumi keagungan ciptaan Allah dan memahami hikmah yang terkandung di dalamnya. Mari kita bersama-sama menyingkap tirai misteri ini dan menemukan pelajaran berharga dari gunung-gunung yang kokoh menjulang.
Ketika kita memandang deretan gunung yang menjulang tinggi, mungkin yang terlintas hanyalah keindahan panoramanya. Namun, di balik kemegahan itu, gunung memiliki peran geologis yang sangat fundamental dan luar biasa vital bagi kestabilan planet kita.
Al-Qur'an secara menakjubkan telah menyingkap rahasia ini ribuan tahun lalu melalui firman-Nya dalam Surah An-Naba' ayat 7: "Dan gunung-gunung sebagai pasak?" Pertanyaan retoris ini secara lugas menggambarkan fungsi geologis gunung yang kini dikonfirmasi oleh ilmu pengetahuan modern.
Konsep pasak bumi (autad) adalah analogi yang sangat tepat untuk menggambarkan fungsi gunung dalam menstabilkan kerak bumi. Bayangkan sebuah tenda besar. Agar tenda itu kokoh dan tidak mudah roboh diterpa angin, ia memerlukan pasak-pasak yang ditancapkan jauh ke dalam tanah.
Demikian pula bumi kita. Kerak bumi, tempat kita berpijak, terbagi menjadi lempengan-lempengan tektonik raksasa yang terus bergerak dan bergeser. Pergerakan lempeng ini bisa menyebabkan guncangan hebat seperti gempa bumi dan letusan gunung berapi.
Disinilah peran gunung menjadi krusial. Gunung-gunung besar, terutama pegunungan lipatan, terbentuk akibat tabrakan dan penekanan antar lempeng tektonik. Proses ini tidak hanya menciptakan puncak-puncak yang menjulang di permukaan, tetapi juga membentuk akar gunung yang sangat dalam, menancap jauh ke dalam lapisan mantel bumi. Ibarat pasak tenda, akar-akar gunung inilah yang secara fisik menambatkan dan menstabilkan lempengan-lempengan kerak bumi.
Tanpa keberadaan gunung-gunung dengan akar yang dalam ini, pergerakan lempeng tektonik akan jauh lebih kacau dan tidak terkendali. Kita akan merasakan guncangan dan gempa bumi yang jauh lebih sering dan destruktif, membuat kehidupan di permukaan bumi menjadi sangat sulit, jika tidak mustahil.
Dengan demikian, gunung bukan sekadar bentukan alam biasa, melainkan struktur geologis vital yang berperan sebagai penyeimbang dan penstabil alami, menjaga bumi dari pergeseran ekstrem yang dapat mengancam keberlangsungan hidup. Ini adalah bukti nyata akan rancangan sempurna dari Sang Maha Pencipta.
Selain perannya sebagai pasak bumi, gunung juga merupakan arsitek iklim dan penyuplai kehidupan yang tak ternilai harganya. Keberadaan gunung-gunung mempengaruhi pola cuaca secara signifikan, terutama dalam proses pembentukan hujan. Fenomena ini dikenal sebagai hujan orografis.
Ketika massa udara yang lembap bergerak dan bertemu dengan lereng gunung yang tinggi, udara tersebut terpaksa naik. Seiring dengan naiknya ketinggian, suhu udara akan menurun, menyebabkan uap air di dalamnya mengembun dan membentuk awan. Proses kondensasi ini terus berlanjut hingga akhirnya awan melepaskan kandungan airnya dalam bentuk hujan lebat di sisi gunung yang menghadap angin (sisi windward).
Setelah melewati puncak, udara yang telah kehilangan sebagian besar kelembapannya akan turun di sisi berlawanan (sisi leeward), menciptakan daerah yang lebih kering atau bahkan gurun, yang dikenal sebagai bayangan hujan. Jadi, gunung berperan sebagai "penangkap" kelembapan, memastikan distribusi curah hujan yang vital bagi ekosistem sekitarnya.
Tidak hanya sebagai pemicu hujan, gunung juga adalah menara air alami yang sangat penting. Puncak-puncak gunung, terutama yang tinggi, seringkali menerima curah hujan dan salju yang melimpah. Salju yang menumpuk di puncak gunung akan mencair secara bertahap selama musim hangat, meresap ke dalam tanah, dan membentuk mata air bawah tanah. Mata air inilah yang kemudian menjadi hulu bagi sungai-sungai besar yang mengalir ke dataran rendah, menyediakan pasokan air bersih yang vital untuk minum, pertanian, industri, dan seluruh kehidupan makhluk hidup.
Bayangkan saja, tanpa gunung, banyak wilayah di dunia ini akan menjadi gurun tandus karena tidak ada mekanisme alami untuk memicu hujan dan menyimpan cadangan air. Dari pegunungan salju abadi yang memberi makan sungai-sungai raksasa hingga perbukitan yang memicu hujan lokal, gunung adalah karunia Ilahi yang tak terhingga, menopang kehidupan dan menjaga keseimbangan ekosistem global. Ini adalah bukti lain dari kecermatan dan kebijaksanaan Sang Pencipta dalam merancang setiap detail alam semesta demi keberlangsungan hidup.
Gunung, dengan ketinggian dan topografinya yang bervariasi, menciptakan berbagai mikrohabitat yang unik, menjadikannya pusat keanekaragaman hayati. Perubahan ketinggian membawa serta perubahan suhu, kelembapan, dan jenis tanah, yang semuanya memengaruhi jenis tumbuhan dan hewan yang dapat hidup di sana.
Di kaki gunung, kita dapat menemukan hutan tropis yang lebat atau sabana, namun semakin tinggi, vegetasi akan berubah drastis. Hutan hujan pegunungan (montane forest), hutan lumut (mossy forest), hingga vegetasi alpine yang didominasi semak-semak dan lumut bisa ditemukan dalam satu gunung. Setiap zona ketinggian ini menjadi rumah bagi spesies flora dan fauna endemik yang telah beradaptasi secara spesifik dengan kondisi lingkungan tersebut.
Contohnya, banyak spesies anggrek langka, tumbuhan obat, dan pohon-pohon purba hanya dapat tumbuh subur di lereng pegunungan tertentu. Demikian pula, beragam jenis mamalia, burung, reptil, dan serangga telah mengembangkan adaptasi unik, seperti bulu tebal untuk beradaptasi terhadap dingin, kemampuan memanjat yang lincah, atau pola migrasi vertikal. Ekosistem pegunungan seringkali bertindak sebagai "pulau di daratan", memisahkan populasi dan mendorong evolusi spesies baru yang tidak ditemukan di tempat lain.
Keanekaragaman hayati yang kaya ini menjadikan gunung bukan hanya penjaga stabilitas bumi dan penyedia air, tetapi juga repositori genetik alami yang sangat berharga. Melindungi ekosistem pegunungan berarti melindungi ribuan, bahkan jutaan, spesies yang masih menunggu untuk ditemukan dan dipelajari, sekaligus menjaga keseimbangan ekologis yang vital bagi keberlangsungan hidup di planet ini.
Apa yang diungkapkan Al-Qur'an tentang gunung sebagai pasak bumi ribuan tahun yang lalu, baru dapat dijelaskan secara rinci dan komprehensif oleh ilmu geologi modern pada abad ke-20. Fakta ini semakin memperkuat keyakinan akan mukjizat ilmiah Al-Qur'an sebagai kalamullah yang datang dari Sang Maha Pencipta segala sesuatu.
Sebelum teori lempeng tektonik berkembang pesat pada paruh kedua abad ke-20, pemahaman manusia tentang struktur interior bumi dan pembentukan gunung sangatlah terbatas. Ilmuwan di masa lalu mungkin hanya melihat gunung sebagai massa batuan besar yang menjulang di permukaan. Namun, dengan kemajuan teknologi seismik, pemetaan geologi, dan studi pergerakan lempeng tektonik, para ahli geologi kini dapat melihat jauh ke bawah permukaan bumi.
Penemuan-penemuan modern ini secara gamblang menunjukkan bahwa studi seismologi telah membuktikan bahwa gunung-gunung besar memiliki akar yang sangat dalam, membentang berkali-kali lipat dari ketinggian puncaknya di atas permukaan. Akar ini menancap jauh ke dalam lapisan astenosfer yang lebih cair di bawah kerak bumi. Ini persis seperti gambaran pasak yang menancap kuat.
Berperan dalam Penstabilan Lempeng/ Konsep lempeng tektonik menjelaskan bahwa bumi terdiri dari lempengan-lempengan raksasa yang terus bergerak dan berinteraksi. Gunung-gunung terbentuk di batas-batas lempeng ini, terutama di zona subduksi (tempat satu lempeng menunjam di bawah lempeng lain) atau zona tumbukan benua. Proses pembentukan gunung ini secara efektif mengunci dan menstabilkan lempeng-lempeng tersebut, mengurangi frekuensi dan intensitas gempa bumi yang merusak.
Tanpa gunung, bumi akan jauh lebih tidak stabil, dengan pergerakan lempeng yang lebih sering dan gempa bumi yang jauh lebih dahsyat. Deskripsi Al-Qur'an mengenai gunung sebagai pasak (autad) yang menjaga bumi tetap stabil (seperti dalam QS. An-Naba': 7 dan QS. Al-Anbiya': 31) adalah prediksi ilmiah yang akurat jauh sebelum manusia memiliki teknologi untuk membuktikannya. Ini bukan sekadar kebetulan, melainkan indikasi bahwa sumber informasi Al-Qur'an adalah Dzat Yang Maha Mengetahui segala rahasia alam semesta.
Keselarasan antara wahyu ilahi dan temuan geologi modern ini menjadi bukti tak terbantahkan bagi umat manusia tentang kebenaran Al-Qur'an. Ini mendorong kita untuk tidak hanya mengagumi keindahan gunung secara visual, tetapi juga merenungkan kedalaman makna ilmiah dan spiritual yang terkandung di dalamnya, sebuah ajakan yang telah Allah sampaikan kepada kita sejak berabad-abad yang lalu.
Selain keajaiban ilmiahnya, gunung juga menyimpan khazanah hikmah spiritual yang mendalam, menawarkan pelajaran berharga bagi setiap Muslim yang mau merenung. Dari kekokohannya hingga keruntuhannya di akhir zaman, gunung adalah cermin bagi perjalanan iman kita. Berikut hikmah yang dapat kita ambil: Pertama, Simbol Keteguhan dan Keistiqamahan.
Gunung berdiri tegak, kokoh, dan tak tergoyahkan oleh badai terhebat sekalipun. Sifat kokoh dan tak tergoyahkan ini merupakan analogi yang sempurna untuk menggambarkan pentingnya keteguhan (istiqomah) dalam iman dan syariat Islam. Seorang Muslim diajarkan untuk tetap teguh pada prinsip-prinsip agamanya, tidak goyah oleh godaan dunia, fitnah zaman, atau cobaan hidup yang datang silih berganti.
Gunung menjadi representasi nyata dari ketahanan seorang Muslim dalam menghadapi cobaan dan ujian hidup. Layaknya gunung yang dihantam angin kencang, diguyur hujan deras, namun tetap berdiri megah, demikian pula seorang mukmin sejati. Ia mungkin merasakan beratnya ujian, namun imannya yang kokoh dan keistiqamahannya pada jalan Allah akan menjadikannya pribadi yang tegar, tidak mudah runtuh oleh kesulitan.
Kedua, Tadabbur Alam sebagai Jalan Menuju Makrifatullah. Memperhatikan gunung bukan sekadar melihat pemandangan indah; karena juga sebagai sarana dalam meningkatkan ma’rifatullah, pengenalan dan pemahaman yang lebih dalam tentang Allah SWT. Setiap puncak yang menjulang, setiap lembah yang terukir, setiap bebatuan yang kokoh, adalah tanda nyata kekuasaan dan keagungan Allah SWT sebagai Pencipta Yang Maha Kuasa Maha Bijaksana.
Melihat struktur sebesar dan sekompleks gunung ini mustahil terbentuk tanpa Perencana yang Maha Sempurna. Dengan merenungkan proses geologis, fungsi ekologis, dan keindahannya, kita akan semakin yakin akan keberadaan dan keEsaan Allah. Pengamatan alam ini mendorong hati untuk berzikir, akal untuk berpikir, dan jiwa untuk semakin tunduk kepada kebesaran-Nya. Gunung menjadi salah satu ayat kauniyah (ayat-ayat alam) yang Allah bentangkan bagi kita untuk direnungkan.
Ketiga, Kerendahan Hati dan Tawadhu'. Di hadapan gunung yang menjulang tinggi, manusia menyadari betapa kecilnya diri. Kontras antara kebesaran gunung dan keterbatasan manusia secara alami menumbuhkan sifat rendah hati (tawadhu’) terhadap kebesaran Allah. Segala daya dan upaya kita, sekaya dan sekuat apapun manusia, tidak akan mampu menciptakan atau menggeser gunung yang kokoh itu.
Sekuat dan setinggi apapun gunung, ia tetap tunduk pada kehendak Allah. Hal ini merupakan pelaharan yang berharga. Gunung tidak sombong dengan kekokohannya; ia tetap menjadi bagian dari ciptaan yang patuh pada hukum alam yang ditetapkan Sang Pencipta. Ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita untuk tidak takabur dengan kekuasaan, harta, atau ilmu yang dimiliki, karena semuanya adalah titipan dan berada dalam genggaman Allah SWT.
Keempat, Gunung sebagai Pengingat Hari Kiamat. Meskipun gunung terlihat abadi dan tak tergoyahkan, Al-Qur'an secara tegas mengingatkan kita bahwa kekokohan itu hanya sementara. Ayat-ayat lain dalam Al-Qur'an, seperti dalam Surah Al-Kahf ayat 47, Surah Al-Ma'arij ayat 9, dan Surah Al-Qari'ah ayat 5, menggambarkan tentang gunung yang kokoh sekalipun akan dihancurkan pada hari kiamat, menjadi seperti bulu yang berhamburan, pasir yang beterbangan, atau bahkan lebur bagaikan kapas yang ditiup angin.
Fakta ini menjadi pengingat tentang fananya dunia dan kekekalan akhirat. Kekuatan terbesar di bumi ini pun akan lenyap pada waktunya, apalagi kehidupan manusia yang jauh lebih rapuh. Renungan ini seharusnya memicu kita untuk tidak terlalu terikat pada gemerlap dunia yang fana, dan sebaliknya, mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk kehidupan yang abadi di akhirat kelak. Gunung, dalam kehancurannya nanti, akan menjadi saksi bahwa hanya Allah yang Maha Kekal.
Dari unta yang menakjubkan, langit yang terbentang luas, hingga gunung-gunung yang kokoh menjulang—setiap ayat kauniyah (ayat alam) adalah bukti nyata akan keagungan, kekuasaan, dan kebijaksanaan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Ghasyiyah yang telah kita selami, alam semesta ini adalah perpustakaan terbuka yang tak pernah habis menyediakan pelajaran bagi hati yang beriman.
Gunung, dengan segala keajaiban geologisnya sebagai pasak bumi yang menstabilkan planet, pembentuk iklim yang memicu hujan, dan penyimpan air yang vital, adalah karunia tak terhingga. Lebih dari itu, ia adalah simbol keteguhan (istiqomah) yang seharusnya menginspirasi setiap Muslim untuk tetap teguh di atas jalan kebenakan, tidak goyah oleh badai cobaan hidup. Ia juga adalah pengingat akan kerendahan hati kita di hadapan Sang Pencipta yang Maha Kuasa, serta penegas bahwa segala sesuatu di dunia ini fana, kecuali Dzat Allah yang Maha Kekal.
Maka, marilah kita jadikan setiap pandangan ke arah gunung, setiap hembusan angin dari puncaknya, dan setiap aliran air dari mata airnya, sebagai kesempatan untuk meningkatkan ma’rifatullah kita. Dengan merenungi detail ciptaan-Nya, kita akan semakin yakin akan kebesaran Allah dan semakin kokoh dalam ketaatan. Semoga kita termasuk hamba-Nya yang senantiasa bersyukur, mengambil pelajaran dari setiap tanda kebesaran-Nya, dan terus berjuang untuk meraih ridha-Nya.