Oleh: Amalia Irfani
Berbanggalah para guru dipenjuru ibu Pertiwi, profesi yang dipilih sebagai ruang pengabdian dan mengais rezeki dijadikan sebagai salah satu momen istimewa, diperingati secara nasional setiap tahun. Peringatan hari guru nasional ditetapkan oleh Presiden Soeharto tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 78 tahun 1994.
Jika ditelaah mendalam mengapa ditetapkannya hari guru nasional, maka siapapun setuju bahwa guru atau pendidik adalah penjaga generasi. Pendidik sampai kapanpun menjadi profesi mulia sarat kebaikan. Profesi penuh tantangan, akan dipuji karena kesabaran dan pengabdiannya, sebaliknya dicaci jika dianggap terlalu keras, otoriter dan dinilai tidak profesional. Kita bandingkan cara guru mengajar zaman dulu dan sekarang. Guru dulu cenderung keras dan terkategori kasar dibandingkan pola mengajar guru sekarang, namun justru menjadikan banyak anak bangsa kuat, tangguh, pekerja keras dan sangat menghargai setiap proses perjuangan dengan afirmasi semangat. Murid-murid tersebut kebanyakan menjadi generasi emas, sukses dan dapat memberi kemanfaatan bagi umat dan bangsa.
Berbeda jika kita bandingkan dengan keadaan sekarang, guru tidak diperkenankan mengajar dengan pola yang dapat mengundang kekerasan fisik dan verbal, hingga pada akhirnya saat guru menghukum anak didiknya karena enggan melaksanakan shalat pun dianggap kekerasan. Padahal peran sejati seorang guru tidak hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi memberikan pemahaman agama melalui berbagai nasehat, mengajarkan kesantunan hingga memunculkan empati terhadap sesama. Sehingga aneh jika ada guru yang tidak peduli dengan hasil akhir pembelajaran atau tidak risih melihat jika muridnya malas beribadah. Tetapi lebih aneh lagi seandainya ada orang tua yang marah jika anaknya diajak melaksanakan ibadah. Al-adab qabla al-‘ilmi, adab sebelum ilmu seperti ungkap Imam Malik. Diksi bermakna dalam, seorang murid tidak akan memperoleh ilmu bermanfaat jika tidak menghormati ilmu, ahli ilmu, dan para guru, dan tidak bermakna ilmu setinggi apapun jika seseorang tersebut memiliki perangai kurang baik atau tidak jujur.
Guru Berkelas bukan hanya dikelas
Menjadi pendidik mungkin terkesan profesi biasa saja sebab dapat dilakonkan oleh semua lulusan sarjana. Tapi pernahkah sebagai orang tua kita melihat bagaimana para guru mendidik anak kita. Mereka memberikan perhatian, kasih sayang, pemahaman dengan sabar sebagai strategi transfer ilmu. Dengan segala kelebihan dan kekurangan sebagai insan, pendidik dituntut profesional dengan tidak menunjukkan kesedihan atau kesenangan berlebihan, walaupun mereka banyak yang belum digaji standar UMR.
Atau pernahkah kita sebagai mantan murid dari jenjang sekolah dasar hingga perguruan tinggi merasakan ketulusan seorang guru ?, yang mampu merubah pandangan banyak kepala arti hidup dan ketulusan ?. Karena kesabaran yang tidak biasa banyak anak bangsa tercerdaskan, dewasa melewati proses kehidupan dan akhirnya membuat mereka sukses meniti karir. Dengan kata lain, ungkapan jika guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa menjadi sangat pantas tersemat. Sebuah peribahasa menggambarkan betapa pentingnya peran guru, Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari, guru akan digugu dan ditiru adalah gambaran betapa fundamental sosok guru bagi kelangsungan peradaban.
Walau tidak semua guru mampu mendidik diluar kelas (diluar sekolah), faktanya banyak pula guru atau pendidik yang melihat progres kemajuan belajar anak yang ia didik sebagai bagian pengabdian serta evaluasi perbaikan dalam mengajar. Guru tersebut tiada jenuh memberikan doa dan pengharapan agar kesuksesan diraih oleh anak-anak didiknya, saat bersua pun ia tidak lupa untuk selalu memotivasi, menyemangati. Gurat kebahagiaan terpancar saat ia menemukan murid yg pernah ia didik sukses dengan tetap menjaga adab. Kiai Ahmad Dahlan berpesan, jadilah guru sekaligus murid. Ini menandakan guru pun harus terus mencerdaskan diri, dengan banyak belajar dan mengevaluasi diri agar tetap dapat memberi kemanfaatan.
Amalia Irfani, Kandidat Doktor Sosiologi UMM