Tafsir Sejarah Bangsa: Keharusan Menulis Pejuang Muslim
Oleh: Saidun Derani
Ada sebuah kejadian tahun 1984 para mantan Laskar Hizbullah bertemu dengan Pangdam Brawijaya di Surabaya. Cerita Zainul Milal Bizawie mereka protes dengan alasan mengapa pejuang para santri tidak ditulis dalam Sejarah nasional. Pangdam menjawab mengapa kalian tidak menulis sendiri sejarah kalian. Mereka diam seribu bahasa, sebagaimana dituturkan Mbah Muhdhar, pelaku Sejarah, anggota Mujahidin di Jember yang ikut bertempur di desa Balung Jember tahun 1947 (Zainul Milal Laskar Bizawie, Ulama-Santri dan Revolusi Jihad 1945-1949, 2014, xv-xvi). Sebagai salah satu contoh yang lain informasi di bawah ini. Hanya bedanya mantan pejuang Muslim di Betawi tidak protes kepada Pamdan Jaya waktu itu.
Alkisah ada beberapa tokoh pejuang dari Rahim Rakyat Betawi sejauh studi penulis belum dimuat dalam buku resmi “Sejarah Nasional Indonesia” (SNI) yang terdiri dari 6 jilid diketuai Sejarawan UGM Prof. Sartono Kartodirdjo. Malahan yang terbaru Ensiklopedi Sejarah Indonesia terbitan tahun 2023 versi Kemendikbud NKRI dikomandani Mas Menteri Nadiem Makarim tidak juga ditemukan nama-nama yang dimaksud. Sebut saja misalnya ulama pejuang Guru Mansur, Al-Habib Ali Kwitang, Al-Habib Ali Bungur, Al-Habib Ali Jindan, KH. Noor Ali, KH. Muhammad Arif, KH. Achmad Mursyidi, KH. Hasbullah, untuk menyebut sebagian daripada mereka.
Beberapa karya dari anak bangsa misalnya Data Base Orang Betawi diketuai Ibu Dr. Sylviana Murni terbitan Pemda DKI tahun 2012, lalu Islam dan Masyarakat Betawi karya Abdul Aziz terbitan tahun 2002, karya Ahmad Fadli HS, “Ulam Betawi” terbitan tahun 2011, kemudian karya Rakhmad Zailani Kiki, dkk. “Genealogi Ulama Betawi” terbitan tahun2011, dan karya Lukman Hakiem, seorang politisi dan wartawan senior “Utang Republik Pada Islam” karya fenomenal Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, sejarawan Unpad “Api Sejarah” 2 jilid tebal terbitan tahun 2010, tidak spesifik menyebutkan nama-nama para Tokoh Pejuang Betawi di atas.
Apalagi penulis asing sebutkan saja misalnya karya Kevin W. Fogg, warga AS, berjudul “Indonesia’s Islamic Revolution” untuk disertasinya tahun 2020 dan terakhir karya Robert Cribb “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949” tahun 2010, tidak menyebutkan nama-nama Tokoh Pejuang Betawi sebagai pelopor perlawanan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI dari rongrongan penjajah asing, Belanda.
Dalam konteks inilah sebuah kewajaran Masyarakat Sejarah Indonesia tidak mengenal tokoh-tokoh Pejuang Betawi. Ditambah lagi Kemendikbud DKI Jakarta tidak memasukkan materi ajar ke dalam Mulok (Muatan Lokal) yang wajib dipelajari dan ketahui perjuangan dan pemikiran mereka dalam berbangsa, bermasyarakat dan bernegara dari tingkat SD sampai dengan SLTA. Jadi lengkaplah sudah ibarat pepatah Melayu mengatakan bahwa sudah jatuh tertimpa tangga.
Dalam konteks inilah mengapa Anak-anak Betawi dan Jakarta lebih mengenal TB. Simatupang, lebih tahu Oerip Soemiharjo, lebih mengerti perjuangan Pattimura, ketimbang tokoh-tokoh pejuangnya sendiri.
Demikianlah usaha yang dilakukan Pimpinan Pengelola dan Penanggung Jawab Setu Babakan Jakarta Selatan, pada Senin, 6 November 2023 dengan tema “Tukar Informasi dan Bincang-bincang Para Tokoh Pejuang Betawi” dianggap sebagai langkah cukup bagus dan diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk studi konprehensif untuk mengisi kekosongan yang di atas. Keren ide kegiatan ini dalam hubungannya dengan perspektif berbangsa dan bernegara.
Pra Kemerdekaan
Siapa yang tidak mengenal Moh. Husni Thamrin (1894-1941) dalam belantara Masyarakat Sejarah Indonesia? Kakek keturunan English dan dari ibu genetik darah Betawinya mengalir. Tak ada yang meragukan sikap kepedulian terhadap rakyat kecil Betawi masuk katagori kelas “Inlanders” dalam tatanan masyarakat kolonial ciptaan Kerajaan Protesthan Belanda. Mereka terjepit dan terhimpit hidupnya akibat sistem pemerintahan yang tidak berkeadilan. Secara ekonomi diperas sampai ke tulang sumsum dengan sistem Tanah Partikelirnya dan secara kejiwaan dihina dan terhinakan sebagai rakyat “Kelas Emperan”.
Tokoh pejuang yang bersifat Kooperatif ini sangat vocal memperjuangkan nasib rakyat pribumi melalui semacam Dewan Rakyat (Volskraad) (1929). Yang paling ditakutkan Belanda justru keras dalam prinsip akan tetapi lemah dan santun dalam menyampaikan kritik dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda. Salah satunya adalah menuntut Indonesia Merdeka dan Berdaulat.
Beliau bisa bergaul dengan tokoh-tokoh non-kooperatif sekelas Soekarno, Subardjo, Cipto Mangunkusumo, Soekarni, Agus Salim, Muhammad Yamin, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Syahrir, Mohammad Hatta, Wahid Hasyim, Moh. Rum, dllnya.
Dipersiapkan orang tuanya sebagai Abtenar Birokrat akan tetapi jiwanya lebih cendrung kepada pergerakan yang terpanggil melihat Rakyat Betawi yang tertatih-tatih menghadapi perubahan sosial di mana pelakunya adalah bangsa penjajah yang menganakemaskan kelompok “Asing Timur” sebagai masyarakat “perantara” kelas 2.
Untuk itulah dengan teman-temannya seperti Mohammad Rochjani Su’ud, dan Muhammad Thabrani mendirikan perkumpulan Kaoem Betawi (1927). Kalau juga mau disebutkan kelemahannya adalah beliau tidak “dekat” pergaulannya dengan “Elite Masyarakat Betawi”. Singkat kisah mempertimbangkan jasaa-jasanya kepada NKRI, beliau dianugrahkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 28 Juli 1960.
Ada satu lagi yang kurang begitu mendapat perhatian penulis sejarah Mazhab Nasionalis Islam yang memperjuangkan NKRI berdaulat ini adalah Guru Mansur (w. 1967). Koran Asia Raya mengkhobarkan bahwa beliau bersama 10 tokoh Islam ( lihat Api Sejarah jilid 2) mengusulkan kepada Jepang supaya mendirikan Milisi Semi Meliter Islam untuk membantu Jepang dalam mempertahankan Indonesia dari Tentara Sekutu bagi kemenangan Perang Asia Fasifik.
Guru Manshur juga berperang aktif memimpin santri dan rakyat Jakarta melawan dan mempertahankan kedaulatan Indonesia para periode Revolusi Fisik (1945-1949). Dari beliau inilah keluar istilah “Betawi Rempug” diartikan mari rakyat Betawi Bersatu untuk memperoleh kemenangan melawan NICA Belanda yang dibonceng pasukan Sekutu. Dia memasang bendera Merah Putih di atas bumbungan Mushola yang sekarang menjadi masjid dengan hujanan peluru ditembakkan pasukan Belanda.
Lihatlah Guru Mughni (w. 1935) Guru Para Ulama Betawi ini dikenal dengan perjuangannya melalui para muridnya dengan materi ajar yang diberikan “Bab Jihad”. Melawan penjajah yang kafir merupakan wajib ‘ain setiap muslim yang sanggup baik mengangkat senjata dengan lisan dan do’a. Salah satu muridnya yang terkenal sebagai tokoh pejuang kemudian hari adalah Nur Ali dikenal dengan “Singa Bekasi”.
Dan ajaran Jihad ini merupakan “kawah Candara di muka” ketika para muqimin studi di Haramain (Mekkah Madinah). Dari sinilah “Ruh Jihad” itu ditanamkan para Guru mereka di sana (Lihat Azra, 1992). Sampai-sampai Pemerintah Belanda mengirim Abdul Ghafar nama samaran Christian Snouck Horgonje (w. 1936) tahun (1884-1885) untuk menyelidik apa asupan materi ajar yang didapat para Haji dan Muqimin ketika belajar di sana.
Ulama Betawi dari kalangan Arab dikenal dengan Tiga Serangkai Al-Habib Ali Kwitang (w. 1968), Al-Habib Ali Bungur (w. 1976), dan Al-Habib Salim Jindan (w. 1969). Ketiga Ulama Habaib Betawi berjuanga dengan cara-caranya masing sebagaimana telah penulis sebut dalam “Ulama Betawi Habaib”,
Habib Ali Kwitang berani melawan penjajah Belanda di Jakarta dengan mendirikan Lembaga Pendidikan “Majelis Taklim” awal Abad ke-20 dan “Sekolah Klasikal” untuk kaum Laki dan Perempuan yang pada waktu itu masih berlaku Ordinansi Guru tahun 1905-1925, di mana intel Belanda baik intel “hitam” maupun intel “putih” selalu mengawasi dengan ketat. Ali Bungur dengan materi ajar Ruh Jihadnya. Lalu ada Salim Jindan seorang Ulama Orator yang berani mengkritisi penjajah sehingga tidak heran ulama ini langganan ke luar masuk penjara Jepang.
Begitu juga keluarga al-Sahab mendirikan Lembaga Pendidikan Klasikal bernama “Jam’iyah al-Khair” tahun 1905 dan izin keluarnya baru sepuluh tahun kemudian 1915 yang sampai sekarang masih tetap eksis berjalan. KH. Muhammad Yunus Anis Ketua PP Muhammadiyah 1959-1963 pernah ikut belajar walaupun tidak regular di sekolah ini. Semua aktivitas Tokoh-Tokoh rakyat Betawi di atas diniatkan untuk perlawanan terhadap penindasan sistem penjajahan.
Pasca Kemerdekaan
Proklamasi Kemerdekaan NKRI diproklamirkan pada Ramadhan/17 Agustus 1945 dengan cita-cita para pendirinya adalah tegaknya keadilan sosial-ekonomi berkesejahteraan dan keadilan sosial-hukum bagi seluruh warga NKRI.
Apa mau dikata yang rapat di Jerman tahun 1945 memutuskan bahwa para pemenang PD II disebut Sekutu boleh mengambil kembali negara bekas jajahannya. Semacam tukar guling saja. Sedangkan yang Merdeka rakyat Indonesia sudah bosen makan bogem penjajah. Maka itu ketika Belanda datang atas nama NICA tahun 1945 digendong Sekutu dan muncul beragam reaksi rakyat.
Umumnya respon terbesar adalah mengangkat senjata dan tidak mau kembali dijajah apapun yang terjadi. Proklamator bingung menghadapi situasi yang ada. Tentara Keamanan Rakyat (TKR terakhir berubah menjadi TNI) baru terbentuk dan admin negara masih lemah. Lemah SDM dan lemah pula alusistanya seadanya sebagai sebuah negara baru merdeka dan berdaulat.
Dalam konteks inilah pentingnya kehadiran Jend. Soedirman, Panglima TNI Guru Muhammadiyah dan Hizbul Wathon, didikan Kepanduan Muhammadiyah, dikirim Presiden RI Soekarno-Hatta ke Jombang Jatim menemui Mbah Hasyim Asy’ari untuk mengkhobarkan situasi dan kondisi NKRI yang sangat genting ini. Dari sinilah asbab al-nuzul lahir Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 itu. Apa dampaknya?
Setelah proklamasi kemerdekaan para pemuda Jakarta bergerak untuk menyebarkan berita proklamasi. Bukan hanya ke kampung-kampung di Jakarta, tapi berbagai pelosok Tanah Air. ”Lebih baik mati daripada dijajah kembali,” ungkapan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan.
Situasi pada 1945 makin memanas ketika pasukan NICA dengan membonceng Sekutu kembali ke Indonesia. Semua kampung di Jakarta kala itu membentuk kubu-kubu pertahanan berupa kawat berduri dan bambu runcing. Sehingga kalau ada tentara NICA yang masuk kampung lalu terdengar suara komando, Siaaap. Karenanya zaman itu juga dinamakan ‘zaman siap’, kenang Alwi Shihab.
Mengingat peristiwa tersebut sudah berlangsung 78 tahun lampau dan sudah jarang sekali yang mengalaminya. Ada baik diingatkan kembali bagaimana kekejaman serdadu NICA pada saat revolusi. Mereka menembaki orang yang kelihatan mencurigakan.
Untuk itu Presiden Soekarno mengumumkan supaya rakyat tidak ke luar rumah setelah pukul delapan malam. Catatan dalam Arsip Nasional saja delapan ribu (8.000) rakyat telah dibunuh antara September dan Desember 1945.
Alwi Shahab, wartawan dan penulis Sejarah amatir Betawi, mengisahkan kesaksiannya bahwa waktu itu beliau berusia 9 tahun melihat pemuda-pemuda di Kampung Kwitang yang berusia lima dan enam tahun di atas saya, ikut terjun sebagai tentara pelajar meski harus memanggul bambu runcing. Banyak di antaranya mengembuskan napas terakhir akibat peluru NICA.
Pada waktu itu para ibu di kampung-kampung mendirikan dapur umum untuk para pejuang. Belum dikenal istilah korupsi sehingga dalam membela tanah air mereka rela menyumbangkan harta kekayaan yang dimiliki. Demikinlah peran Perempuan Betawi tidak bisa dianggap remeh ternyata mereka inilah menyiapkan aspek konsumsi untuk para pejuang.
Di Jakarta seluruh rakyat dipimpin para tokoh agama melakukan perlawanan mengangkat senjata. Jadi peranan dakwah yang dilakukan para ulama tidak hanya lisan dan pembelajaran di kelas belaka, namun langsung mendirikan suatu badan perjuangan dalam satu laskar, seperti; K.H. Achmad Mursyidi (w. 2003) di Kelender Jakarta Timur (ketua KNI Jakarta Timur) dengan nama BARA (Barisan Rakyat) dengan beberapa tokoh ulama lainnya seperti K.H. Muhammad Darip (w. 1981) dan K.H. Hasbullah.
Laskar santri dan pemuda BARA ini, dengan pucuk pimpinan berada di tangan Darip, pimpinan organisasi dan pengerahan massa Achmad Mursyidi, pimpinan komando pertahanan berada di tangan Hasbullah. Dan pondok pesantren dijadikan sebagai pusat markas tentara BARA Jakarta Timur dan pintu gerbang pertahanan untuk daerah Wilayah Timur Jakarta.
Anggota laskarnya terdiri dari 150 orang santri dan pemuda yang tinggal di markas Kelender dan beberapa anggota lainnya yang berada di Jakarta Timur sekitarnya, seperti para pemuda Kramat Jati di bawah pimpinan K.H. Ahmad Sasih, para pemuda Pondok Bambu, para pemuda Pondok Gede di bawah pimpinan H. Tabrani dan banyak para pemuda dari Jakarta Selatan di bawah pimpinan K.H. Ali Sibromalisi (w. 1996).
K.H. Noer Ali di Ujung Harapan-Bekasi mendirikan satu badan perjuangan Barisan Hizbullah/Sabilillah semi meliter gabungan laskar santri dan pemuda di Tanjung Priok. K.H. Abdullah Azis bin Abdul Azis–Tanjung Priok Jakarta Utara (ketua KNI Jakarta Utara) memimpin laskar Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kemudian jaringan perjuanganpun dibentuk melalui strategi kerja sama sebagai laskar pertahanan daerah Jakarta Utara di bawah pimpinan K.H. Abdullah Azis, Jakarta Timur K.H. Achmad Mursyidi dan daerah Bekasi K.H. Noer Ali.
Guru Mansur– Jembatan Lima – Jakarta Barat, seperti penulis katakana di atas, beliau memimpin sebuah laskar santri yang dibentuk sebelum masa revolusi. Pada masa Revo;usi Fisik (1945-1949) laskar ini tidak terbatas hanya para santri dari pondok pesantren saja tetapi meluas pada masyarakat di sekitarnya. Laskar santri inilah satu-satunya laskar di Jakarta yang tidak mau angkat kaki dari daerah pertahanannya sampai pada saat pertempuran habis-habisan di sekitar masjid Kampung Sawah dan pesantren tersebut yang berakhir dengan tertangkapnya Guru Mansur.
K.H. Mas’ud Kebon Jeruk Jakarta Barat, pada masa revolusi beliau adalah seorang mubaligh dan pejuang. Dampak positifnya yang timbul dalam masyarakat Kebon Jeruk dari dakwah K.H. Mas’ud adalah bangkitnya para pemuda untuk berjuang dan bergabung dengan laskar-laskar rakyat yang ada di daerah sekitarnya, seperti laskar Hizbullah/Sabilillah di bawah pimpinan K.H. Zaini di Kampung Tanah Koja – Cengkareng – Jakarta Barat.
K.H. Ali Sibromalisi Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada masa revolusi beliau juga seorang mubaligh. Beliau adalah salah seorang ulama pejuang yang memimpin aksi pemuda selalu mengadakan teror-teror terhadap tantara Jepang yang sedang menjalankan status quo yaitu dengan merampas senjata-senjatanya maupun terhadap tentara-tentara Sekutu yang sedang merebut tempat-tempat penting di Jakarta.
Jangan dilupakan Pahlawan Betawi Ismail Marzuki (1914-1958) dikenal dengan panggilan Bang Maing. Pria kelahiran Kampung Kwitang Senin ini berperan penting dalam khazanah kebangsaan Indonesia adalah meneruskan jiwa patriotik bagi perjuangan kemerdekaan melalui profesi Musisi dan Komponis.
Beliau hidup pada masa kolonial Belanda, Jepang dan Revolusi Fisik. Beliau anti penjajah sebab itu tidak menjadi kolaborator Belanda. Ketika zaman Jepang beliau mengobarkan semangat perlawanan kepada penjajah Jepang. Lalu periode Revolusi Fisik beliau mendorong semangat patriotik para pejuang mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Penulis ingin mengutip salah satu lirik lagu dari 250 lagu yang berjiwa patritotik Bang Maing adalah lagu “Sepasang Mata Bola”. “Hampir malam di Jogya, Ketika kereta ku tiba, Remang-remang cuaca, Terkejut aku tiba-tiba. Dua mata memandang, Seakan-akan dia berkata, Lindungi aku pahlawan, Dari si angkara murka, Sepasang Mata Bola, Dari Balik jendela, datang dari Jakarta menuju medan perwira……”
Dalam konteks inilah penulis bisa memahami mengapa Ismail Marzuki mendapat penghargaan Pahlawan Nasional pada 5 November 2004 dan namanya diabadikan menjadi Taman Ismail Marzuki oleh Gubernur waktu itu Ali Sadikin.
Lalu bagaimana dengan pejuang wanita Betawi yang lain? Penulis ingin mengambil contoh misalnya ada Mak Kinang dan Mak Manih. Kedua Wanita Betawi ini berjuang melalui seni tari yang dikenal degan tari Topeng Khas Betawi.
Mak Kinang dikenal sebagai Maestro Tari Topeng Betawi pada masa itu meneruskan tradisi kedua orang tuanya, Kisam dan Nasah, pegiat seni tradisional Betawi. Tari Topeng Tunggal merupakan rumpun Tari Topeng Khas Betawi yang diciptakan pasangan suami istri Mak Kinang dan Kong Djioen pada tahun 1930-an.
Pada awalnya tari ini berfungsi untuk mengusir bala bencana dari Masyarakat. Kemudian berubah fungsinya menjadi hiburan selain fungsi integrasi (solidaritas), komunikasi dan ajang keberanian. Sedangkan Mak Manih diteruskan anak turunannya mengembangkan tari tradisional Betawi dengan mendirikan Yayasan Sanggar Mak Manih.
Tentulah banyak lagi Perempuan Pejuang Pembangunan Betawi. Coba perhatikan dengan saksama aktivitas Putri KH. Abdullah Syafii ini, Prof. Dr. Tuti Alawiyah AS (w. 2016), Pengasuh Majelis Taklim Kaum Perempuan Betawi dan Lembaga Pendidikan As-Syafiiyah. Pernah menjabat Menteri Perempuan dalam Kabinet Orde Baru 1998-1999. Lalu lihat kegiatan yang full dari Dr. Siti Suryani Thahir (w. 2015) Ulama Perempuan Penggagas Majelis Taklim Perempuan Betawi dan tidak kurang ada 60 buah di bawah binaannya. Penulis ingin mengutip pepatah Betawi bahwa “menguasai perempuan artinya menguasai Indonesia, menguasai perempuan Betawi artinya Anda menguasai Jakarta”. Hal ini menjelaskan bahwa betapa penting artinga pemberdayaan Perempuan di lingkungan rakyat Betawi.
Demikinalah uraian di atas sedikit banyak membantu menjelaskan perjuangan para tokoh Betawi di Ibu Kota negara tanah kelahiran mereka. Tidak bisa dikatakan lengkap karena masih banyak tokoh pejuang Muslim Betawi yang belum diangkat ke media cetak karena satu dan lain hal. Sedangkan kecendrungan sekarang baru dianggap pahlawan kalau berperang mengangkat senjata. Pada hal kita tahu jihad di bidang ekonomi financial dan sosial-lingkungan tidak kalah pentingnya.
Penulis pikir sudah waktunya para elite Betawi mengambil inisiatif yang sistemik dan terukur untuk menyiapkan sebuah rencana besar mengangkat dan menginventarisir tokoh-tokoh Pejuang Muslim Betawi dari beragam profesi dan lintas budaya dengan sebaran wilayahnya. Allah ‘Alam bi as-Shawab
Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Surby dan UIN Syahid Jakarta selain pemerhati sosial-ekonomi pendidikan keagamaan