YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Masyarakat sudah lama memiliki aspirasi supaya biaya haji -yang disetor calon jamaah dan mengendap dalam waktu yang relatif lama- dikelola sebaik-baiknya. Tujuannya sudah pasti, agar bisa maslahat bagi jamaah, khususnya, dan bagi umat dan bangsa pada umumnya.
Demikian disampaikan Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dr H Hamim Ilyas, MAg dalam Ruang Dialog BPKH: Harmonisasi Penyelenggaraan Ibadah Haji Indonesia, Jumat (17/5). Kegiatan yang digelar Suara Muhammadiyah bersama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) ini bertempat di Ruang Ballroom SM Tower Malioboro Yogyakarta.
“Aspriasinya itu dana haji dikelola sebaik-baiknya. Kalau menggunakan bahasa Qur’an, ma huwa ahsan. Sehingga dana haji ini kalau kita pinjam bahasa Qur’an, dikelola seperti harta anak yatim. Dalam surat Al-An’am, harta anak yatim itu diperintahkan untuk didekati dengan pengelolaan yang sebaik-baiknya,” katanya.
Menurut Hamim, pengelola dana haji sebaik-baiknya itu merupakan upaya menutup celah gharar dan syubhat dalam pengelolaan keuangan haji. Hal tersebut bisa menjadi pijakan teologis untuk mewujudkan pengelolaan yang sebaik-baiknya itu.
Hamim menjelaskan, kata syubhat merupakan seuatu yang tidak jelas perkaranya sehingga tidak dapat dipastikan apakah halal atau haram, haqq atau bathil. Menurutnya, definisi syubhat ini diambil dari redaksi hadis riwayat Muslim bahwa yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas, di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas).
“Karena tidak jelas, maka tidak bisa diyakini halal atau haram, ha haqq atau bathil,” tegasnya.
Hamim menyebut syubhat dibagi menjadi beberapa macam. Pertama Syubhatul ‘aqd. Yaitu sesuatu yang ada akadnya secara formal, tapi haikatnya tidak ada, seperti perkawinan tanpa saksi dan perkawinan muhallil. “Secara formal, ketika perkawinan tanpa saksi, itu ada akadnya. Tapi hakikatnya itu tidak ada, sehingga itu menjadi Syubhatul ‘aqd,” tuturnya.
Kedua, Syubhatul fi’li. Yaitu sesuatu yang sebenarnya haram, tapi diduga halal, seperti berhubungan badan dengan isteri dalam masa iddah talak tiga. Ketiga, Syubhahl fil mahall. Yaitu posisi diduga halal, tapi kenyataannya tidak, seperti bersebadan dengan wanita atau pria yang berada di tempak tidur khusus milik keluarga, padahal sebenarnya pria wanita dan pria itu bukan isteri dan suaminya.
Keempat, Syubhatul milki. Yaitu memiliki hak atas sebagian sesuatu, seperti mitra atau rekanan (syarik) mengambil harta syirkah dan ayah mengambil harta anaknya.
Sementara, kata gharar menurut Hamim, secara bahasa berarti ketidaktahuan. Transaksi dengan ada ketidakjelasan harga, obyek, tempo dan kemampuan menyerahkan obyek.
“Kalau jual-beli (transaksi) harus jelas harganya, apa yang diperjualbelikan, tempo menyerahkannya kapan, dan dapat dipastikan bahwa penjual (kalau itu penjual) bisa menyerahkan barang yang diperdagangkan. Kalau penyewa orang yang menyewakan berarti bisa menyerahkan barang yang disewakan. Jangan sampai ketika barang yang dibeli harus diserahkan tapi belum ada kemampuan untuk menyerahkan,” paparnya. (Cris)