YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Tanaman herbal semakin mendapat perhatian publik seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap gaya hidup sehat dan penggunaan bahan alami untuk perawatan maupun pemeliharaan kesehatan. Indonesia sebagai negara dengan kekayaan hayati yang melimpah memiliki potensi besar untuk mengembangkan industri tanaman obat, baik dari sisi budidaya, riset, maupun pengolahan produk.
Purwanto, SPd, MPd, AIFO, orang tua dari Dewi Ashari, mahasiswa Program Studi Agribisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menekankan pentingnya melihat tanaman herbal bukan sekadar sebagai bahan tradisional, tetapi sebagai komoditas bernilai ekonomi tinggi yang dapat dikembangkan oleh mahasiswa, khususnya di bidang agribisnis.
“Di negara kita ada lebih dari 30 ribu jenis tanaman. Dari jumlah itu, baru sekitar 1.800 yang diketahui memiliki khasiat pengobatan, dan yang benar-benar dimanfaatkan baru sekitar 280-an jenis. Banyak tanaman yang dianggap biasa ternyata memiliki nilai pengobatan signifikan. Temulawak, kunyit, pegagan, bahkan benalu kopi yang sering dianggap pengganggu, semuanya punya manfaat besar jika dikelola dengan benar,” jelasnya dalam acara Kuliah Bersama Keluarga yang diselenggarakan daring oleh Prodi Agribisnis UMY pada Jumat (28/11).
Pemilik usaha tanaman herbal dari Kampar, Riau tersebut juga menyoroti adanya kesenjangan antara potensi dan posisi Indonesia di pasar herbal global. Padahal nilai pasar tanaman obat dunia mencapai 300 juta USD, namun Indonesia baru berkontribusi sekitar 2 persen.
“China dan India sudah jauh lebih dulu mengembangkan tanaman herbal sebagai obat dan kini mendominasi pasar internasional. Padahal kita punya sumber daya yang luar biasa, hanya saja belum dikelola maksimal. Kondisi ini seharusnya menjadi motivasi bagi mahasiswa untuk menciptakan inovasi berbasis tanaman lokal,” tegas Purwanto.
Dalam pengelolaan usaha herbal keluarga yang kini berkembang pesat, terdapat beberapa tantangan besar, bukan dari sisi permintaan, melainkan dari ketersediaan bahan baku.
“Produksi yang kami jalankan membutuhkan pasokan stabil, sementara tanaman yang kami budidayakan sendiri tidak mencukupi. Kami terpaksa membeli dari luar dengan harga tinggi, dan itu tentu memengaruhi profit,” jelasnya.
Meski demikian, usaha herbal tersebut tetap menunjukkan potensi ekonomi yang menjanjikan. Purwanto menyebut omzet produk herbal yang dikelolanya dapat mencapai lebih dari Rp50 juta per bulan, menjadi bukti bahwa sektor ini memiliki prospek cerah bagi pelaku usaha baru, termasuk mahasiswa.
Melihat peluang tersebut, Purwanto meyakini bahwa pengembangan tanaman herbal akan semakin terbuka dengan dukungan pemerintah serta perkembangan pemasaran digital.
“Biaya produksinya relatif kecil, pasarnya luas, dan keuntungannya cukup menjanjikan. Jika kita bisa memecahkan masalah di lapangan, peluang usaha baru akan selalu muncul. Bahkan wisata herbal pun bisa dikembangkan ke depannya,” tutupnya. (NF/hanan)


