Oleh Bahrus Surur-Iyunk
Anggota LPCRPM PWM Jawa Timur, Penulis buku Nikmatnya Bersyukur, Merajut Gaya Hidup Penuh Bahagia (Quanta Elexmedia Koputindo, Jakarta
Ada kisah menarik dari Abu Nawas dan temannya. Suatu hari seorang laki-laki mendatangi Abu Nawas dengan rasa sedih. Orang itu menyatakan kepada Abu Nawas bahwa ia mempunyai rumah yang sempit, isteri yang cerewet dan anak-anak yang nakal. “Ini karena rumah kami yang sempit, ya Abu Nawas. Tolonglah beri kami solusi.” Kata lelaki tersebut.
Abu Nawas diam sejenak lalu menjawab, “Ini ada beberapa ayam. Masukkan ayam-ayam ini ke dalam rumahmu.”
Sambil terheran-heran dengan jawaban tersebut, lelaki itu berkata, “Apa? Rumah kami saja sudah sempit, masak malah ditambah beberapa ekor ayam. Tapi aku coba saja saranmu, ya Abu Nawas.”
Keesokannya, lelaki ini datang lagi ke rumah Abu Nawas dengan wajah yang lebih sedih. “Abu Nawas… isteriku marah karena suara-suara ayam yang mengganggu. Ayam-ayam itu juga buang kotoran sembarangan. Kami semakin stress dengan kondisi ini.”
Dengan entengnya, Abu Nawas menjawab, “Kalau begitu, sekarang masukkan dua ekor kambing ini ke dalam rumahmu.”
Lelaki ini setengah marah berujar, “Apa katamu? Kami bisa tambah stress kalau rumah kami yang sempit ditambahi dua ekor kambing.”
Abu Nawas berkata, “Coba saja dulu… kamu nanti akan lihat perubahannya.”
Keesokan harinya, sang lelaki datang lagi dengan wajah tambah muram. “Abu Nawas… aku bisa semakin gila karena kambing-kambing ini yang tambah mempersempit rumah kami dan menyebarkan bau tak sedap ke seisi rumah.”
Dengan santainya lagi Abu Nawas merespon, “Kalau begitu, sekarang masukkan beberapa ekor bebek ini ke rumahmu.”
Lelaki itu menyahut seperti biasanya, “Apa lagi ini? Ditambahi beberapa ekor bebek?” Abu Nawas hanya tersenyum dan lelaki ini berlalu untuk mengikuti saran Abu Nawas.
Esok harinya, lelaki ini datang dengan marah-marah, “Abu Nawas… kamu mempermainkan aku. Di rumahku tambah sempit, berantakan, ramai dan bau karena semua binatang yang kau sarankan untuk dimasukkan ke rumah kami. Isteri dan anak-anakku semakin galak dengan kondisi ini.”
Dengan ringan Abu Nawas kembali berujar, “Nah sekarang, keluarkan semua ayam, kambing dan bebek dari rumahmu. Besok pagi, kembalilah kepadaku dan ceritakan apa yang terjadi.”
Esok harinya, lelaki itu datang dengan wajah berseri. “Engkau benar, Abu Nawas. Sekarang rumah kami terasa luas. Isteriku juga tidak marah-marah lagi.”
Abu Nawas berujar, “Nah ternyata rumahmu bisa terasa luas meskipun tidak diperluas. Ia menjadi terasa luas ketika kamu mensyukurinya.”
Ada orang yang tidak bisa merasakan nikmatnya sehat yang diberikan Allah. Ia baru bisa merasakan nikmatnya setelah ia merasakan sakit. Orang juga tidak menyadari betapa hidupnya itu berkecukupan. Dan baru merasakan setelah ia mengalami kekuarangan dalam hidupnya atau melihat orang lain yang jauh lebih berkekurangan dari dirinya.
Begitu juga dengan rumah. Rumah yang luas, besar, mewah dan lengkap perabotnya tidak menjamin bahwa penghuninya merasa hidupnya luas dan bahagia. Ia justru kadang tersiksa ketika ada di rumah. Ia tidak kerasan dan inginnya jalan-jalan melulu. Bumi Allah ini sering dianggap kurang luas. Sementara itu, ada orang yang rumahnya kecil, sempit, perabot rumahnya cenderung berkekurangan. Tetapi, penghuninya justru betah di rumahnya, selalu ingin pulang, dan hidupnya merasa bahagia dan santai-santai saja.
Jadi, sesungguhnya yang menentukan luasnya rumah dan bahagianya hidup seseorang bukanlah luas-mewahnya rumah dan dimensi materi yang ada di sekelilingnya. Tetapi, justru lebih ditentukan sampai di mana hatinya mampu bersyukur atas nikmat-Nya. Hati yang bersyukur menjadikan rumah dan bumi ini luas. Pun penghuninya berbahagia. Wallahu a’lamu bi al-shawab. *