Hormati Tetangga, Muliakan Tamu

Publish

3 October 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
503
Foto Ilustrasi

Foto Ilustrasi

Hormati Tetangga, Muliakan Tamu

Oleh: Wahyudi Nasution

Doso, begitu nama panggilan teman ngobrol Pak Bei kali ini. Nama lengkapnya Tri Doso. Usianya baru sekitar 30an tahun, jauh lebih muda dari Pak Bei yang hampir kepala 6. Dilihat dari namanya saja sudah dapat dipastikan dia asli wong Jawa. Tri berarti telu, 3. Doso berarti sepuluh, 10.  Maka pantas diduga dia lahir tanggal telung puluh, 30, entah di bulan Sapar atau Maulud, Rejeb atau Ruwah, entah di tahun Dal, tahun Alif, atau tahun Ehe. Pak Bei belum pernah bertanya soal itu.

Dari beberapa kali ngobrol dengannya menjelang Yasinan --ini nama pengajian tilawatil-Qur'an di kampung Pak Bei setiap malam Jumat--  tampak bahwa Doso pernah jadi aktivis mahasiswa. Literasinya tampak cukup bagus. Komentar-komentarnya atas berbagai peristiwa aktual sangat kritis, apalagi yang berbau politik. Khas mantan aktivis. Diksinya bagus dan penalarannya terkesan tidak ndesit, kampungan.

"Pak Bei siang ini longgar enggak? Saya mau sowan. Pengin ngobrol," begitu pesan WA Doso saat Pak Bei baru saja masuk rumah dari Jumatan mau ganti baju.

"Longgar, Nda. Monggo silakan. Ayo kita ngopi siang," jawab Pak Bei.

"Siap," balas Doso singkat.

Tak sampai sepuluh menit, Doso sudah sampai di nDalem Pak Bei. Dua gelas kopi buatan Yu Mur, asisten Bu Bei khusus urusan dapur yang sangat setia itu, sudah tersaji di meja sesuai pesanan Pak Bei.

"Kok tumben siang-siang pengin ngobrol, Nda?" tanya Pak Bei. "Ada tema apa ini?"

"Saya sangat terkesan dengan tema yang disampaikan khotib Jumatan tadi, Pak Bei," jawab Doso.

"Ooh...soal Tamu Agung Paus Fransiskus yang disampaikan Kang Mashudi tadi?" Pak Bei menyebut nama koleganya yang giliran khotib hari ini.

"Iya, Pak Bei. Sangat mencerahkan. Begitu seharusnya khotib Jumat menasehati jamaah."

"Temanya aktual, ya?"

"Ya betul. Perspektifnya juga unik. Di luar dugaan saya."

"Kok di luar dugaan?"

"Jamaah diajak mengingat dhawuh Kanjeng Nabi supaya menghormati tetangga dan memuliakan tamu."

"Itu hadits sahih kok, Nda."

"Itulah, Pak Bei. Biasanya hadits itu disampaikan dalam konteks hidup bermasyarakat di kampung, srawung atau bergaul dengan tetangga dan tamu-tamu yang datang ke rumah kita. Skalanya kecil dan sehari-hari. Tapi tadi konteksnya menyambut Paus Fransiskus, Tamu Negara dan tamu saudara-saudara kita umat Katolik. Skala berbangsa dan bernegara."

"Ya memang begitu kan seharusnya? Paus dari Vatikan itu resmi Tamu Negara. Maka sudah seharusnya Pemerintah sibuk menyambutnya dengan sepenuh penghormatan . Sebagai pemimpin tertinggi umat Katolik, wajar juga bila para tokoh agama Islam seperti MUI, Muhammadiyah, PBNU, dan sebagainya pun ikut sibuk menyambutnya. Wajar juga bila Paus juga memimpin Misa umatnya, ibadah saudara-saudara kita, di Gelora Bung Karno dan ditayangkan live streamingnya. Kita harus menghormati itu, Nda."

"Nah itu lho, Pak Bei. Saya tidak menduga sama sekali bahwa khotib kita tadi memberi pemahaman yang sangat bagus kepada jamaah. Jamaah juga diajak memaklumi bila azan maghrib di tv saat itu diganti running tex demi menghormati umat Katolik yang mengikuti Misa melalui TV."

"Iyalah, Nda, wong ya cuma sekali itu saja kok."

"Khotib tadi juga  mengutip Sirah Nabawiyah, membacakan terjemahan surat Kanjeng Nabi kepada Kaisar Heraklius di Bisantium, pemimpin tertinggi umat Nasrani pada waktu itu. Hebat itu."

"Surat itu yang telah membikin Kaisar Heraklius tergetar hatinya dan sangat gelisah, ya."

"Saya juga pernah baca itu, Pak Bei."

"Tapi sebenarnya yang lebih menarik justru episode sesudah itu, Nda."

"Episode yang mana, Pak Bei?" 

"Karena gelisah sesudah membaca surat dari Muhammad itu, maka Kaisar Heraklius mengumpulkan semua pembesar Bisantium dan diundanglah kabilah dagang dari Arab yang sedang berada di Syam. Kabilah Arab waktu itu dipimpin oleh Abu Sofyan, paman Rasulullah SAW yang masih kafir bahkan memusuhi Kanjeng Nabi dan kaum Muslimin. Dialognya sangat menarik."

"Menariknya di mana, Pak Bei?"

"Kaisar Heraklius meminta konfirmasi kepada Abu Sofyan tentang orang bernama Muhammad yang mengaku-aku sebagai Nabi dan Rasul terakhir dan telah berani berkirim surat kepadanya untuk masuk Islam. Berbagai indikator kenabian pun ditanyakannya kepada Abu Sofyan. Ternyata semua indikator kenabian yang diperolehnya dari Taurat, Zabur, dan Injil ada semua pada diri Muhammad."

"Lalu bagaimana, Pak Bei?"

"Yang jadi masalah cuma satu hal."

"Apa itu?"

"Nabi dan Rasul terakhir itu kenapa dari bangsa Arab, bukan dari Bani Israil? Padahal semua nabi sebelumnya sejak Ishaq, Yaqub, Yusuf, Ayub, Musa, Dawud, Sulaiman, hingga Isa a.s., semua dari Bani Israil. Ini kok dari bangsa Arab, Muhammad keturunan Ibrahim dari jalur Ismail?"

"Lalu bagaimana, Pak Bei?"

"Di akhir dialognya dengan Abu Sofyan, Kaisar Heraklius berkata, "Ingin sekali aku dapat bertemu dengan Nabi Muhammad, SAW. Meski dengan susah payah, aku akan berusaha untuk menemuinya. Bila aku berhasil berada di dekatnya, aku akan mencuci kedua telapak kakinya."

"Subhanallah. Apakah itu berarti Kaisar Heraklius sebenarnya sudah mengakui kenabian Muhammad SAW ya, Pak Bei?"

"Menurutku iya, Nda. Tapi situasinya sangat dilematis."

"Kenapa dilematis"

"Pertama, konon pada waktu itu Bisantium baru saja berhasil mengalahkan Kerajaan Persia, musuh bebuyutannya. Seluruh pembesar dan rakyat Bisantium sedang euforia karena banyak ghanimah yang diperoleh dari sana."

"Yang kedua apa, Pak Bei?"

"Yang kedua menyangkut hak prerogratif Allah SWT. Soal hidayah, Nda. Tentu Heraklius tidak gampang mengajak para pejabatnya untuk mengimani kenabian Muhammad bila Allah SWT tidak menghendaki. Bahkan Heraklius pun akhirnya tidak jadi beriman kepada Nabi Muhammad SAW."

"Sayangnya cerita itu tadi tidak disinggung khatib ya, Pak Bei? Padahal sangat menarik."

"Kalau sampai ke situ ya pasti khotbahnya jadi terlalu panjang, Nda. Sudah benar tadi beliau cuma menyinggung sekilas saja. Yang penting jamaah sudah paham tentang pentingnya tasamuh, berlapang dada, menghormati tetangga, dan memuliakan tamunya. Itu sudah cukup sebagai khotbah Jumat."

"Terima kasih atas tambahan wawasan dari Pak Bei. Saya jadi penasaran ini, harus membaca-baca lagi Sirah Nabawiyah."

"Itu bacaan wajib, Nda. Bila kita tidak mengenal sejarahnya, bagaimana kita dapat meneladaninya? Bila kita tidak memahami cara dakwahnya, bagaimana kita akan meneruskan risalahnya?"

Njih, Pak Bei. Insya Allah saya akan baca-baca lagi. Terima kasih, Pak Bei. Saya pamit dulu, njih."

Tri Doso pun pulang diantar Pak Bei hingga di pintu gerbang. Anak muda yang kritis, peka, dan ingin terus belajar.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Mudik dan Indahnya Silaturrahmi Oleh: Mahli Zainuddin Tago Pulau Sangkar-Kerinci, awal Juni 1979. ....

Suara Muhammadiyah

31 May 2024

Humaniora

Washli Sjafie: Nusantarakan Pendidikan Muhammadiyah Kalimantan Barat Oleh: Amalia Irfani Keb....

Suara Muhammadiyah

6 October 2023

Humaniora

Cerpen Ashari REJEKI sering diidentikkan dengan harta. Boleh saja. Silahkan. Sah-sah saja. Namun da....

Suara Muhammadiyah

22 September 2023

Humaniora

Cerpen Erwito Wibowo Sore menjelang petang. Cakrawala tidak kelihatan, nampak tertimbun deretan per....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Humaniora

Cerpen: Mustofa W Hasyim Dengan mudik dia merasa menjadi manusia. Dia baru menyadari ketika mudik d....

Suara Muhammadiyah

26 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah