JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Setelah resmi dideklarasikan, Ikatan Jurnalis Indonesia (IKAJI) fokus memberi perhatian terhadap tiga isu besar. Yaitu, profesionalisme, bisnis, dan aspek etika. Organisasi kewartawanan itu juga kembali mendesak pembentukan Dewan Media Sosial (DMS).
Ketua Umum PP IKAJI Rommy Fibri mengatakan, ada tiga hal di era digitalisasi yang sekarang dihadapi industri media. Pertama adalah masalah profesionalitas. “Profesionalitas ini menghinggapi semua lini. Sekarang ini semua dicampur aduk, hal sifatnya baru informasi belum tentu benar dan salah, sudah langsung diposting, naik cetak mengudara,” terangnya saat memberikan sambutan dalam acara Deklarasi IKAJI di Gedung RRI, Jakarta Pusat kemarin (13/12).
Menurut dia, informasi itu disebar tanpa adanya proses verifikasi, sehingga banyak berita hoaks yang tersebar dan menghinggapi masyarakat luas. Tidak ada tahapan kroscek, tapi langsung di-forward. Mereka merasa bertanggung jawab memberikan informasi sesegara mungkin kepada orang lain, padahal berita itu belum tentu benar.
“Karena merasa bertanggung jawab untuk memberi info sesegera mungkin kepada kawan-kawan kita, padahal itu belum tentu benar. Profesionalitas ini menghinggapi kita semua. Aspek kelemahan dari yang paling berat soal profesionalitas adalah soal verifikasi,” bebernya.
Isu kedua adalah aspek bisnis. Rommy mengatakan, bisnis media sudah berubah. Banyak perusahaan media yang muncul. “Barangkali saat Prof Dadang muda kalau mau bikin media, berpikir seribu kali. Kenapa? Duit modalnya berapa? Kantornya dimana?. Nanti kalau cetak, kalau ini media cetak, percetakannya berapa, omzetnya berapa?. Nanti belum karyawan dan sebagainya,” ungkapnya.
Jadi, landscape bisnis media sudah berubah. Modal untuk membuka usaha, tidak sebesar seperti dulu. Untuk “pembayaran” para karyawan, bahkan bisa menggunakan konsensi. Padahal, aspek kesejahteraan wartawan itu sangat penting. Karena tidak ada kesejahteraan, maka yang diproduksi bukan berita yang berkualitas, tapi informasi yang tidak dan belum terverifikasi.
Akhirnya, lanjut Rommy, banyak aduan yang masuk ke Dewan Pers terkait produk jurnalistik yang tidak berkualitas. “Ini nanti kasihan teman-teman di KPI, konten di TV, termasuk Dewan Pers juga. Banyak aduan ke Dewan Pers, karena beritanya begini-begini dan segala macam. Ini menjadi tantangan kita bersama,” paparnya.
Selanjutnya, isu yang ketiga adalah aspek etika. Sekarang semuanya menjadi pengguna media sosial. Di ranah komunikasi, media sosial adalah new media yang menjadi bagian dari komunikasi massa. Sayangnya, aturan terkait medsos sampai sekarang tidak jelas.
“Iklan itu siapa yang ngatur. Kita lagi enak-enak searching dan browsing tiba-tiba muncul produk. Saya nggak bayangkan Prof Muchlas lagi searching, terus produk yang muncul kemudian obat kuat atau apa, waduh saya nggak tega. Siapa yang ngatur ini, etikanya dimana ini? Belum lagi ada aspek medsos melakukan e-commerce, dan hari ini semarak,” ujarnya.
Rommy mengatakan, yang paling teknis dan sepele adalah soal penagihan pinjol. Banyak orang sudah menjadi korban. Bahkan, mereka ada yang bunuh diri, karena tidak tahan dengan cara penagihan pinjol. “Ini nggak ada yang ngatur, siapa yang ngatur? Masa semua kasus larinya ke kriminal polisi, ya numpuk nanti di kantor polisi. Kalau memang ini kita atur secara regulasi, menjadi bagian dari media, media sosial. Ini menjadi catatan,” ungkapnya.
Untuk itulah, IKAJI mendorong untuk segera dibentuk Dewan Media Sosial untuk mengakomodasi persoalan tersebut. Dewan Media Sosial bukan hanya berisi para jurnalis, tapi juga ada beberapa ahli. Yaitu, ahli iklan, ahli psikologi, dan ahli lainnya. “Memori kita bukan hanya urusan berita. Era digitalisasi urusannya bukan cuma berita. Tapi kasus-kasus e-commerce, kasua-kasus jual beli online. Kasus bisnis online juga harus diatur. Ini menjadi konsen IKAJI,” pungkas Rommy. (riz/diko)