Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (28)
Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tinggal di Magelang Kota) dan Iyus Herdiyana Saputra (dosen al-Islam dan Kemuhammadiyahan Universitas Muhammadiyah Purworejo)
Di dalam “Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah” (IAMKS) 27 telah diuraikan sebagian kewajiban dan hak suami. Beberapa hal penting yang perlu mendapat penekanan kembali adalah (a) kewajiban suami adalah hak istri dan kewajiban istri adalah hak suami, (b) jika suami telah melaksanakan kewajiban sesuai dengan tuntunan syar’i, dia mempunyai hak untuk dipatuhi oleh istri, tetapi jika tidak, dia kehilangan hak untuk dipatuhi, dan (c) meskipun pendidikan dan jabatannya lebih rendah, suami tetap berkedudukan sebagai pemimpin rumah tangga. Berkenaan dengan itu, calon suami harus dapat mengisi “kekosongan ruang” pada calon istri, sedangkan istri menyadari bahwa di balik kelebihan yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, ada “ruang kosong” yang harus diisi oleh suami.
Khitbah
“Khitbah” adalah topik yang diuraikan di dalam IAMKS (28) ini. Namun, materi yang diuraikan hanya sebagian dari hal-hal yang berkenaan dengan “khitbah.”
Di dalam bahasa Indonesia, kata “khitbah” berarti melamar atau meminang. “Khitbah” merupakan tahapan yang ditempuh setelah ta’aruf, yakni meminta perempuan untuk dijadikan istri. Namun, sebagai istilah melamar atau meminang berarti suatu bagian dari proses menuju pernikahan yang kegiatannya berupa pernyampaian permintaan oleh laki-laki kepada perempuan, baik permintaan itu disampaikan secara langsung oleh laki-laki yang bersangkutan maupun disampaikan orang lain yang diberi amanah sebagai “juru bicara.” Tuturan yang digunakan untuk menyampaikan pinangan itu pun dapat langsung atau tidak langsung.
Contoh tuturan langsung yang diucapkan oleh laki-laki untuk meminang:
“Dengan penuh kesungguhan, saya meminangmu untuk menjadi istri saya.”
Contoh tuturan tidak langsung yang diucapkan oleh laki-laki untuk meminang:
“Sungguh, saya ingin mempunyai istri yang saleh dan saya yakin bahwa kamu adalah perempuan pilihan saya yang sangat tepat.”
Contoh tuturan langsung yang diucapkan oleh juru bicara laki-laki untuk meminang:
“Saya mendapat amanah dari kemenakan saya, Ahmad Rahmat, untuk menyampaikan maksudnya, yakni meminang Nanda Fatimah Khairunnisa.”
Contoh tuturan tidak langsung yang diucapkan oleh juru bicara laki-laki untuk meminang:
“Saya tidak hanya sekali mendengar kemenakan saya, Ahmad Rahmat, bercerita tentang kesalehan Nanda Fatimah Khairunnisa. Dia yakin bahwa Nanda Fatimah Khairunnisa adalah perempuan yang sangat tepat untuk menjadi istrinya.”
Jika pinangan itu diterima, terjadi perubahan status bagi perempuan yang dipinang itu. Dia berubah status sebagai perempuan yang telah menerima pinangan. Dengan demikian, dia tidak diizinkan menerima pinangan dari laki-laki lain.
Di dalam kenyataan ada peristiwa penolakan atas pinangan. Namun, peristiwa itu bersifat kasuistis. Penyebab utamanya kebanyakan adalah terlewatinya tahap pertama, yakni ta’aruf. Berkenaan dengan itu, masa ta’aruf sangat penting dilakukan tidak hanya oleh laki-laki dan perempuan yang akan melakukan pernikahan, tetapi juga keluarga laki-laki dan keluarga perempuan.
Tentu hal itu tidak berarti bahwa peminangan baru dapat dilakukan jika semua keluarga laki-laki dan perempuan menyetujui. Kadang-kadang dapat terjadi ada beberapa orang di antara mereka, tetapi bukan orang tua laki-laki dan perempuan, yang tidak setuju. Meskipun demikian, kiranya peminangan dapat dilakukan apalagi jika alasan kitidaksetujuannya bukan hal yang bersifat syar’i.
Perempuan Meminang Laki-laki
Di dalam Al-Qur’an surat al-Qasas (28): 27 Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
قَا لَ اِنِّيْۤ اُرِيْدُ اَنْ اُنْكِحَكَ اِحْدَى ابْنَتَيَّ هٰتَيْنِ عَلٰۤى اَنْ تَأْجُرَنِيْ ثَمٰنِيَ حِجَجٍ ۚ فَاِ نْ اَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ ۚ وَمَاۤ اُرِيْدُ اَنْ اَشُقَّ عَلَيْكَ ۗ سَتَجِدُنِيْۤ اِنْ شَآءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
"Dia (Syeikh Madyan) berkata, "Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang baik.""
Berdasarkan ayat tersebut, di dalam masyarakat muslim Minangkabau, misalnya, peminangan dilakukan oleh perempuan kepada laki-laki.
Tukar Cincin
Ada sejumlah kecil umat Islam yang berpendapat bahwa acara pinangan yang lengkap tidak sekadar penyampaian permintaan dari laki-laki kepada perempuan dan pemberian jawaban dari perempuan kepada laki-laki. Jika jawaban perempuan itu adalah menerima pinangan tersebut, ada acara yang disebut tukar cincin. Pada acara ini cincin yang bertuliskan nama calon suami diserahkan kepada calon istri, sedangkan cincin yang bertuliskan nama perempuan diserahkan kepada calon suami.
Pelaksanaan acara tersebut sering dilakukan secara langsung, yakni laki-laki memakaikan cincin yang bertuliskan namanya pada jari perempuan, sedangkan perempuan memakaikan cincin yang bertuliskan namanya pada jari laki-laki. Namun, ada juga pemakaian cincin itu dilakukan oleh orang tua mereka masing-masing. Cincin dari laki-laki dipakaikan oleh ibunya pada jari perempuan, sedangkan cincin dari perempuan dipakaikan oleh ayahnya pada jari laki-laki.
Cara tidak langsung itu dimaksudkan agar laki-laki dan perempuan yang belum sah sebagai pasangan suami istri tidak bersentuhan. Cara tersebut bagus. Namun, persoalannya adalah adakah tuntunan meminang yang disertai acara tukar cincin apalagi cincin itu terbuat dari emas?
Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tukar cincin tidak ada tuntunan syar’inya. Acara tersebut merupakan tradisi orang Barat.
Persoalan berikutnya adalah jika cincin itu terbuat dari emas, tentu sudah jelas hukumnya dipakai oleh laki-laki, yakni haram sebagaimana dijelaskan di dalam HR al-Bukhari berikut ini.
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ وَقَالَ عَمْرٌو أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ سَمِعَ النَّضْرَ سَمِعَ بَشِيرًا مِثْلَهُ. (رواه البخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Ghundar telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah dari Nadlr bin Anas dari Basyir bin Nahik dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bahwa beliau melarang mengenakan cincin emas. ‘Amru mengatakan; Telah mengabarkan kepada kami Syu’bah dari Qatadah bahwa dia mendengar Nadlr; dia mendengar Basyir seperti hadits di atas.”
Di dalam HR Muslim dijelaskan juga tentang haramnya laki-laki memakai cincin emas.
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُنَيْنٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ التَّخَتُّمِ بِالذَّهَبِ وَعَنْ لِبَاسِ الْقَسِّيِّ وَعَنْ الْقِرَاءَةِ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَعَنْ لِبَاسِ الْمُعَصْفَرِ (رواه المسلم)
“Telah menceritakan kepada kami ‘Abdu bin Humaid, telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazaq, telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari Az Zuhri dari Ibrahim bin ‘Abdullah bin Hunain dari Bapaknya dari ‘Ali bin Abu Thalib ia berkata; “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarangku memakai cincin emas, pakaian yang dibordir (disulam) dengan sutera, membaca Al Qur’an ketika rukuk dan sujud, serta pakaian yang dicelup warna kuning.”
Perlu dipahami lebih lengkap lagi bahwa tukar cincin bukan ikatan yang tingkatannya setinggi pernikahan. Dengan demikian, calon suami istri belum boleh berhubungan sebagaimana layaknya suami istri. Mereka wajib menjaga diri sesuai dengan tuntunan syar’i
Allahu a’lam