Iuran Anggota Muhammadiyah: Mengapa Tidak Lewat LAZISMU?
Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso, Wakil Sekretaris LPCRPM PP Muhammadiyah
Saya membuka situs Wikipedia untuk mencari tahu jumlah anggota Muhammadiyah menurut versi mereka. Di sana disebutkan bahwa ada 60 juta orang yang tercatat sebagai anggota Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Meskipun angka tersebut belum tentu akurat, tetapi cukup moderat. Fantastis, bukan? Bayangkan, untuk menjadi Presiden Republik Indonesia, Prabowo hanya membutuhkan 96.214.691 suara. Angka 60 juta yang tergabung dalam Persyarikatan Muhammadiyah sudah mendekati angka tersebut.
Seorang kawan yang tidak terlalu paham "dapur" Muhammadiyah pernah berkelakar, "jika orang Muhammadiyah ingin maju menjadi Presiden, tidak perlu terlalu kerja keras; tinggal nambah sedikit lagi, sudah bisa."
Teman lain yang juga kurang lebih sama pengetahuannya soal Muhammadiyah berseloroh, "Bagaimana Muhammadiyah tidak kaya? Bayangkan, jika setiap anggotanya membayar iuran sebesar 10.000 rupiah saja setiap bulan, maka sudah terkumpul sekitar 600 milyar setiap bulan. Belum lagi pendapatan yang dihasilkan dari amal sedekah, infaq, zakat, dan sebagainya."
Kelakar dua kawan karib saya yang juga aktif di organisasi keagamaan itu memang cukup menghibur. Rasanya seperti mimpi yang indah, namun terjadi di siang bolong. Saya tidak akan membahas teori-teori muluk terkait masalah iuran anggota atau aspirasi politik warga Muhammadiyah. Tentunya, tidak akan ada keseragaman mutlak dalam menyuarakan aspirasi politik di Muhammadiyah. Hal ini juga terjadi di berbagai ormas keagamaan lain. Sama saja.
Kali ini saya ingin membahas soal iuran anggota. Selain menjadi bagian dari Muhammadiyah, saya juga berafiliasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI Jakarta-Banten). Di dalam wadah ini, setiap anggota wajib menginstal aplikasi organisasi. Di dalam aplikasi ini, semua informasi dan koordinasi antar anggota dilakukan. Setiap kali membuka aplikasi tersebut, informasi yang paling utama muncul adalah, "terima kasih, Anda sudah lunas."
Untuk menjadi anggota AJI, setiap jurnalis, kolumnis, juru foto/kamera, dan pekerja media harus membayar iuran sebesar 20.000 rupiah setiap bulan. Apa insentif yang diperoleh anggota? Tentu banyak sekali, seperti ilmu pengetahuan, jaringan, dan perlindungan hukum. Sebagai wadah serikat pekerja media dan medium perjuangan untuk kebebasan pers AJI telah menjadi rumah bersama yang ideal.
Iuran Anggota Muhammadiyah
Semangat dan kesukarelaan saya untuk membayar iuran yang sama belum sepenuhnya terwujud di Muhammadiyah tempat saya berkhidmat ini. Mengapa hal itu terjadi? Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi pengabaian saya. Ini adalah pengalaman pribadi yang sifatnya sangat empirik, sehingga kesimpulannya tidak bisa digeneralisasi atau berlaku umum.
Pertama, saya merasa tidak pernah ditagih, diingatkan, atau diberikan penjelasan mengenai betapa pentingnya manfaat iuran anggota. Terkait hal ini, saya harus menyalahkan diri saya sendiri. Sebagai ketua ranting dan pengurus Muhammadiyah di berbagai level, saya seharusnya sudah paham dengan baik "dapur" Muhammadiyah. Siapa lagi yang seharusnya bertugas untuk mengingatkan, menyiapkan nomor rekening, dan menyebarkannya kepada warga?
Kedua, keengganan saya terkait dengan ketiadaan informasi yang seharusnya bisa saya jelaskan kepada warga persyarikatan mengenai penggunaan setiap rupiah uang yang mereka bayarkan kepada Persyarikatan. Apakah saya sudah menjelaskannya kepada warga? Saya yakin, jika cara menjelaskannya baik, hal itu bisa menumbuhkan kesadaran dan rasa percaya kepada pengumpul dana/iuran Muhammadiyah. Kepercayaan itu sangat penting. Jika itu sudah tercapai, maka hasilnya bisa luar biasa.
Ketiga, ini adalah harapan saya jangka panjang kepada seluruh anggota Muhammadiyah. Berhentilah membangun kesan bahwa Muhammadiyah adalah organisasi yang kaya raya, karena sudah memiliki ratusan perguruan tinggi, rumah sakit, klinik, panti asuhan, tempat usaha lain, masjid-masjid mewah, tanah ladang, dan sebagainya. Penyebaran informasi yang mungkin diniatkan untuk membangun kebanggaan dan menumbuhkan semangat berderma itu bisa menyenangkan, tetapi juga memilukan. Sadarkah kita bahwa banyak sekali guru di sekolah Muhammadiyah, pengelola klinik, dan panti asuhan yang masih dibayar di bawah UMR? Bahkan ada yang rela tidak dibayar sepenuhnya.
Memaksimalkan Peran LAZISMU
Lalu, apa jalan keluar yang bisa dilakukan? Usul saya konkrit: mari kita maksimalkan peran dan fungsi Lazismu (Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Shadaqah Muhammadiyah). Lazismu adalah lembaga yang sengaja dibangun secara profesional untuk mencari dan mengelola dana dari hasil pengumpulan zakat, infaq, wakaf, dan dana kedermawanan lainnya.
Sependek pengetahuan saya, kapasitas sumber daya manusia yang mengelola Lazismu sudah cukup terlatih dan mampu bekerja secara profesional. Integritas menjadi salah satu prasyarat penting. Mereka tidak hanya terlatih dalam mencari dana dan membukukan uang, tetapi juga dalam melakukan kampanye untuk menggugah kesadaran para penderma, mengelola, dan mendistribusikan hasilnya secara transparan dan akuntabel. Lembaga ini dikontrol secara ketat, sekaligus diaudit oleh auditor independen secara berkala. Bagi saya, upaya Lazismu untuk membangun lembaganya menjadi lembaga yang profesional, amanah, dan terpercaya sudah cukup baik.
Ke depannya pengurus Muhammadiyah tingkat Cabang, Daerah, dan Wilayah bisa memaksimalkan peran Lazismu dalam mengurus iuran wajib anggota. Mulai dari tahap promosi, penagihan, pengumpulan, pengelolaan, hingga pelaporan penggunaannya. Bendahara disemua tingkatan hanya perlu lebih berkoordinasi dengan Lazismu untuk mengatur mekanisme teknisnya.
Jika menarik iuran anggota dirasa sangat sulit, mengapa beban itu tidak kita bagi secara seimbang dengan lembaga lain yang memiliki kapasitas cukup baik? Saya sepenuhnya percaya dengan kinerja Lazismu . Oleh sebab itu, saya berani mengusulkan bahwa iuran anggota seharusnya bisa dikelola oleh Lazismu .
Alangkah indahnya jika Muhammadiyah bisa terus lebih baik lagi dalam upaya menumbuhkan kemaslahatan umat dari iuran warganya sendiri, sebagaimana Greenpeace, sebuah organisasi lingkungan tersohor di dunia, yang membangun kinerja organisasinya hanya bertumpu pada iuran anggotanya.