Oleh: Suko Wahyudi
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, iman dan amal shaleh adalah fondasi penting yang tidak hanya memperkuat hubungan individu dengan Allah, tetapi juga memberikan dampak nyata bagi kemajuan sosial. Bagi masyarakat Islam, keduanya bukan hanya tuntutan ibadah, tetapi juga jalan membangun budaya yang bermartabat, adil, dan penuh rahmat.
Landasan Moral dan Spiritual
Iman adalah inti dari kepribadian seorang Muslim. Ia adalah keyakinan yang kokoh terhadap Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, serta takdir yang baik maupun buruk. Dalam konteks budaya bangsa, iman menjadi penggerak moralitas yang mengarahkan umat Islam untuk menjalani kehidupan berdasarkan prinsip-prinsip ilahi.
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang membutuhkan), dan orang-orang yang meminta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan salat, menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji, dan (bersabar) dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Al-Baqarah [2]: 177).
Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. (Ali-Imran [3]: 110).
Dalam masyarakat yang diliputi oleh tantangan moral seperti materialisme, sekularisme, dan individualisme, iman berperan sebagai benteng pelindung. Ia membentuk sikap manusia agar tidak hanya mengejar kepentingan duniawi, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai ukhrawi. Hal ini menciptakan keseimbangan dalam membangun budaya bangsa yang tidak hanya berorientasi pada kemajuan ekonomi, tetapi juga pada kualitas spiritual dan moral masyarakat.
Keimanan mengajarkan bahwa kehidupan dunia adalah tempat beramal yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Pemahaman ini mendorong masyarakat untuk tidak hanya mengejar kemajuan materi, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan spiritual. Misalnya, dalam dunia kerja, iman mengajarkan pentingnya kejujuran dan integritas sehingga menciptakan budaya kerja yang sehat dan produktif.
Iman tidak hanya menjadi urusan pribadi antara manusia dan Tuhan, tetapi juga memiliki implikasi sosial yang luas. Dengan menjadikan iman sebagai pedoman hidup, individu dan masyarakat dapat membangun budaya bangsa yang berakar pada nilai-nilai luhur, berkeadilan, dan harmonis. Dalam proses ini, keseimbangan antara dimensi duniawi dan ukhrawi menjadi kunci utama untuk menciptakan bangsa yang maju secara material sekaligus kaya secara spiritual.
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (Al-Qashas [28]: 77).
Amal shaleh adalah buah dari iman yang kokoh. Allah menegaskan bahwa iman tanpa amal adalah sesuatu yang hampa, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: Barangsiapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka Kami pasti akan memberikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberi balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl [16]: 97).
Dalam tafsir Ruhul Ma'ani, Al-Alusi menjelaskan beberapa poin penting terkait ayat ini: Pertama. Amal Saleh yang universal. Al-Alusi menekankan bahwa "amal saleh" yang disebut dalam ayat ini mencakup segala bentuk perbuatan baik yang sesuai dengan syariat. Ini tidak terbatas pada ibadah ritual semata, tetapi juga mencakup amal sosial, ekonomi, dan moral. Amal saleh harus dilakukan dengan niat yang tulus dan didasarkan pada keimanan yang benar.
Kedua. Keseimbangan gender dalam amal. Penyebutan "min dzakarin aw untsa" (baik laki-laki maupun perempuan) menunjukkan bahwa Islam memberikan kesempatan yang sama bagi semua orang untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat melalui amal saleh. Al-Alusi menegaskan bahwa Allah tidak membedakan gender dalam pemberian pahala.
Ketiga. Kehidupan yang baik (Hayatan Thayyibah). Al-Alusi menguraikan bahwa makna hayatan thayyibah (kehidupan yang baik) mengacu pada kehidupan yang penuh dengan ketentraman, keberkahan, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, hal ini dapat berupa kelapangan hati, ketenangan jiwa, dan keberkahan dalam rezeki. Di akhirat, itu berarti kebahagiaan abadi di surga.
Keempat. Balasan yang lebih baik. Dalam kalimat wala najziyannahum ajrahum bi ahsani ma kanu ya’malun, Al-Alusi menafsirkan bahwa Allah akan memberikan pahala yang lebih baik daripada amal yang mereka kerjakan. Ini menunjukkan kemurahan Allah dalam membalas kebaikan hamba-Nya. Pahala ini bisa berupa tambahan nikmat yang tidak mereka bayangkan sebelumnya.
Kelima. Keimanan sebagai syarat utama. Menurut Al-Alusi, syarat diterimanya amal adalah adanya keimanan. Keimanan menjadi dasar yang menjadikan amal saleh bernilai di sisi Allah. Amal tanpa iman tidak akan membawa keberkahan atau pahala di akhirat.
Dalam budaya bangsa, amal shaleh terwujud melalui berbagai bentuk kontribusi positif, seperti membangun pendidikan yang bermoral, mengembangkan ekonomi yang adil, melestarikan lingkungan, hingga memperkuat solidaritas sosial. Amal shaleh tidak hanya terbatas pada ritual ibadah, tetapi juga meliputi seluruh aktivitas yang mendatangkan manfaat bagi umat manusia.
Menurut Yusuf Qardhawi, amal shaleh tidak hanya terbatas pada ritual ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat, tetapi juga mencakup segala bentuk aktivitas yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia, baik secara individu maupun kolektif. Ia memandang amal shaleh sebagai upaya nyata untuk mewujudkan nilai-nilai keislaman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik.
Dalam pandangan Qardhawi, amal shaleh memiliki dimensi yang luas dan holistik, melibatkan hubungan manusia dengan Allah (habluminallah) dan hubungan manusia dengan sesama manusia serta lingkungannya (habluminannas). Segala tindakan yang dilakukan dengan niat ikhlas dan sesuai dengan syariat, selama itu mendatangkan kebaikan dan manfaat, dapat dikategorikan sebagai amal shaleh.
Misalnya, seorang pengusaha yang jujur dan memperlakukan karyawannya dengan adil sedang menjalankan amal shaleh. Begitu pula seorang guru yang mendidik generasi muda dengan penuh dedikasi dan nilai-nilai Islami. Semua ini menciptakan budaya kerja dan kehidupan yang Islami, yang pada akhirnya memperkuat peradaban bangsa.
Iman dan Amal Shaleh dalam Budaya Islami
Ketika iman dan amal shaleh bersatu, keduanya menjadi kekuatan transformasi sosial yang luar biasa. Dalam konteks bangsa, keduanya dapat membentuk karakter masyarakat yang berorientasi pada nilai-nilai kebaikan, kejujuran, dan keadilan. Masyarakat yang terbentuk dari individu-individu dengan iman dan amal shaleh juga cenderung memiliki kehidupan sosial yang harmonis, peduli terhadap sesama, dan berusaha menjauhkan diri dari perilaku yang merusak. Hal ini menjadi dasar penting dalam menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai serta diridhai Allah.
Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram; rezekinya datang melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (An-Nahl [16]: 112).
Ridha Allah tidak bergantung pada lokasi geografis atau nama suatu negara, tetapi pada sejauh mana penduduk suatu negara menegakkan ajaran Islam, bersyukur atas nikmat Allah, berlaku adil, mau beramal shaleh dan menjaga ketakwaan. Negara yang diridhai Allah adalah negara yang masyarakatnya hidup dalam keimanan, keadilan, dan kebajikan, sehingga keberkahannya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sejarah Islam telah membuktikan bagaimana kombinasi iman dan amal shaleh melahirkan peradaban yang maju, seperti era keemasan Islam di Baghdad, Andalusia, dan Ottoman. Masyarakat pada masa itu tidak hanya dikenal karena ilmu pengetahuan dan teknologinya, tetapi juga karena akhlaknya yang mulia.
Budaya bangsa yang Islami adalah budaya yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung tinggi keadilan, dan mendorong masyarakat untuk hidup dalam harmoni. Hal ini hanya dapat tercapai jika iman menjadi ruh, dan amal shaleh menjadi tindakan nyata yang terus-menerus dilakukan.
Iman sebagai ruh berfungsi sebagai sumber energi moral yang mengarahkan manusia untuk berperilaku sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Sementara itu, amal shaleh adalah bentuk konkret dari implementasi nilai-nilai iman, yang mencakup aktivitas sosial, ekonomi, dan politik yang memberikan manfaat bagi sesama.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (Al-Baqarah [2]: 277).
Dengan menjadikan iman dan amal shaleh sebagai dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, budaya Islami tidak hanya bersifat individual, tetapi juga kolektif. Hal ini mendorong terciptanya masyarakat yang saling membantu, menghormati perbedaan, dan bekerja sama untuk mencapai kebaikan bersama, sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.
Dalam menghadapi berbagai tantangan globalisasi, umat Islam di Indonesia memiliki tanggung jawab besar untuk menjadikan iman dan amal shaleh sebagai pilar budaya bangsa. Langkah-langkah praktis yang dapat dilakukan antara lain:
Pertama. Membangun pendidikan berbasis nilai-nilai Islami: Menanamkan iman dan amal shaleh sejak usia dini melalui pendidikan yang mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai agama.
Kedua. Memperkuat solidaritas sosial: Membantu sesama melalui zakat, sedekah, dan kerja-kerja sosial yang membawa manfaat bagi masyarakat luas.
Ketiga. Menghidupkan tradisi kejujuran dan profesionalisme: Menjadikan tempat kerja sebagai ladang amal shaleh dengan menerapkan etika Islami.
Iman dan amal shaleh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya membentuk identitas seorang Muslim sekaligus menjadi kekuatan yang mampu membangun budaya bangsa yang Islami. Dengan menjadikan keduanya sebagai pedoman hidup, umat Islam dapat menciptakan masyarakat yang tidak hanya maju secara material, tetapi juga berkarakter mulia dan berperadaban tinggi.
Inilah saatnya kita bersama-sama menjadikan iman dan amal shaleh sebagai pilar utama dalam membangun bangsa yang diridhai Allah dan membawa rahmat bagi seluruh alam.